Tomo adalah seorang anak yang penuh dengan imajinasi liar dan semangat tinggi. Setiap hari baginya adalah petualangan yang seru, dari sekadar menjalankan tugas sederhana seperti membeli susu hingga bersaing dalam lomba makan yang konyol bersama teman-temannya di sekolah. Tomo sering kali terjebak dalam situasi yang penuh komedi, namun dari setiap kekacauan yang ia alami, selalu ada pelajaran kehidupan yang berharga. Di sekolah, Tomo bersama teman-temannya seperti Sari, Arif, dan Lina, terlibat dalam berbagai aktivitas yang mengundang tawa. Mulai dari pelajaran matematika yang membosankan hingga pelajaran seni yang penuh warna, mereka selalu berhasil membuat suasana kelas menjadi hidup dengan kekonyolan dan kreativitas yang absurd. Meski sering kali terlihat ceroboh dan kekanak-kanakan, Tomo dan teman-temannya selalu menunjukkan bagaimana persahabatan dan kebahagiaan kecil bisa membuat hidup lebih berwarna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J18, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Matematika Kacau
Pagi di Kelas Tomo
Pagi itu, suasana di kelas Tomo agak tegang. Hari ini adalah hari ujian matematika—mata pelajaran yang membuat banyak anak-anak di kelas stres. Tomo duduk di bangkunya dengan tatapan kosong menghadap ke depan. Dia memutar-mutar pensil di tangannya sambil menggigit bibir bawahnya. Tidak seperti biasanya, hari ini dia tidak banyak bicara. Sari yang duduk di sebelahnya mengamati ekspresi seriusnya.
“Eh, Tomo,” kata Sari sambil menyikut pelan bahunya, “Kenapa kamu kayak orang linglung gitu? Biasanya kamu yang paling nggak peduli sama ujian.”
Tomo menoleh dengan tatapan lesu. “Aku mimpi buruk tadi malam, Sar. Aku mimpi dikejar-kejar sama angka-angka. Semuanya bercabang jadi rumus-rumus aneh. Terus... mereka berubah jadi monster matematika dan maksa aku buat nyelesain soal sambil dikejar.”
Sari tertawa kecil, menutupi mulutnya dengan tangan. “Aduh, Tomo. Sampai mimpi dikejar-kejar angka. Udah parah banget itu, mah. Tapi serius deh, kamu belajar nggak buat ujian ini?”
Tomo mengangkat bahu. “Belajar sih... yaaa... kemarin sempat buka buku, tapi kayaknya cuma sebentar. Terus aku ketiduran sambil pegang kalkulator."
Arif yang duduk di depan mereka mendengar percakapan itu dan menoleh. “Ketiduran sambil pegang kalkulator? Wah, hebat juga kamu, Tom. Aku kira kamu nggak bakal nyentuh buku sama sekali.”
Lina, yang baru saja masuk ke kelas dengan membawa tas penuh buku, ikut nimbrung. “Tomo ketiduran sambil belajar? Itu kayaknya lebih keajaiban daripada bisa nyelesain soal matematika.”
Tomo cemberut, pura-pura tersinggung. “Hei, jangan meremehkan kekuatan tidurku. Siapa tahu nanti aku dapet ilham soal pas ujian gara-gara mimpi.”
“Ilham dari mimpi angka?” tanya Arif sambil tertawa, “Kalau itu berhasil, aku mau ikut tidur juga aja sebelum ujian.”
Kedatangan Pak Harto
Tidak lama kemudian, pintu kelas terbuka lebar, dan masuklah Pak Harto, guru matematika mereka, dengan setumpuk kertas di tangan. Dia adalah guru yang dikenal dengan sikapnya yang tenang namun tegas. Wajahnya yang datar membuat para siswa selalu berpikir dua kali sebelum mencoba berbuat nakal di kelasnya. Tapi hari ini, Pak Harto tampak lebih semangat dari biasanya, matanya berkilau seolah-olah dia baru saja menemukan masalah matematika paling sulit di dunia.
“Selamat pagi, anak-anak!” kata Pak Harto sambil meletakkan tumpukan kertas ujian di atas meja. “Apakah kalian sudah siap untuk ujian matematika hari ini?”
Seluruh kelas langsung terdiam. Beberapa anak dengan lesu mengangguk, sementara yang lainnya mencoba menyembunyikan kecemasan di balik senyuman yang dipaksakan.
“Bagus!” kata Pak Harto dengan senyum lebar. “Ini kesempatan bagus untuk membuktikan seberapa baik kalian menguasai materi. Tidak perlu khawatir, selama kalian sudah belajar, ujian ini tidak akan sesulit yang kalian bayangkan.”
Tomo menunduk dan berbisik kepada Sari, “Udah pasti ujian ini bakal susah banget. Setiap kali Pak Harto bilang ‘nggak sesulit yang kalian bayangkan,’ itu berarti siap-siap aja buat pusing kepala.”
Sari menepuk bahunya dengan penuh simpati. “Yah, semoga aja kita nggak sampai mimpi buruk lagi gara-gara ujian ini.”
Ujian Dimulai
Pak Harto mulai membagikan lembar ujian ke setiap anak di kelas. Tomo menatap kertas ujiannya seolah-olah itu adalah monster besar yang baru saja melompat dari bukunya semalam. Dia mengambil napas dalam-dalam, berharap bisa fokus pada soal-soal yang ada.
Namun, begitu dia membaca soal pertama, pandangannya langsung kabur. “Apa ini?” bisik Tomo pada dirinya sendiri, sambil mengguncang kepalanya. “Soal pertama aja udah kayak teka-teki yang nggak ada jawabannya.”
Dia melirik ke arah Arif, yang duduk di depan. Arif tampak serius, matanya terfokus pada lembar ujiannya. Lina, di sisi lain, tampak menulis dengan cepat, seolah-olah soal-soal itu adalah hal yang mudah baginya. Sari di sebelahnya juga tampak tenang, meski sesekali dia menggigit bibirnya sambil berpikir keras.
“Bagaimana mungkin mereka bisa setenang itu?” pikir Tomo. “Padahal aku masih kebingungan sama soal pertama.”
Dia berusaha fokus lagi dan membaca ulang soalnya. Soal itu meminta siswa untuk menghitung luas segitiga dengan panjang sisi tertentu, tetapi Tomo merasa seolah-olah angka-angka di soal itu bergerak-gerak. Dalam keputusasaannya, dia mulai menggambar segitiga di kertasnya, berharap visualisasi bisa membantunya. Namun, entah bagaimana segitiga itu malah berubah jadi bentuk aneh yang lebih mirip gunung dengan matahari di puncaknya.
Tomo melirik lagi ke arah Sari dan berbisik pelan, “Eh, Sar, gimana soal pertama ini? Aku udah baca tiga kali tapi nggak ngerti-ngerti juga.”
Sari melirik ke arah Pak Harto yang berdiri di depan kelas, lalu berbisik balik, “Soal luas segitiga, Tom. Pake rumus setengah kali alas kali tinggi.”
Tomo berusaha mengingat-ingat rumus itu. “Ah iya, setengah kali alas kali tinggi. Tapi gimana kalau tingginya nggak ada?”
Sari menghela napas. “Tingginya ada, kok. Baca baik-baik soalnya.”
Tomo menatap lagi lembar ujiannya dan menemukan bahwa memang ada angka untuk tinggi segitiga itu. Dia merasa sedikit lega, tetapi masih bingung dengan angka lainnya. Sementara itu, Pak Harto berjalan perlahan di sekitar kelas, memperhatikan setiap siswa yang sedang bekerja keras dengan soal-soal mereka.
Pak Harto Meninggalkan Kelas
Tiba-tiba, Pak Harto menghentikan langkahnya di depan kelas dan berkata, “Baiklah, anak-anak. Saya harus keluar sebentar untuk mengambil sesuatu di ruang guru. Saya harap kalian tetap fokus pada ujian kalian. Jangan sampai ada yang mencoba menyontek, ya.”
Begitu Pak Harto meninggalkan kelas, suasana langsung berubah. Seolah-olah seluruh beban ketegangan yang memenuhi udara tadi tiba-tiba lenyap.
Arif menoleh ke belakang dan berbisik, “Tomo, gimana? Kamu udah bisa ngerjain?”
Tomo menggeleng lemah. “Masih pusing. Bahkan soal pertama aja belum kelar.”
Arif tertawa pelan. “Tenang aja, kita semua sama-sama bingung, kok. Lina juga kelihatan cepat banget ngerjainnya, tapi jangan salah, dia pasti cuma sok sibuk.”
Lina mendengar pembicaraan itu dan menyipitkan mata ke arah Arif. “Hei! Aku beneran ngerjain, tahu! Cuma kamu yang nggak serius!”
Sari tertawa kecil. “Wah, jadi kamu juga pura-pura, Lin? Aku kira kamu udah selesai setengah ujian.”
Lina menghela napas. “Yah, nggak juga sih. Tapi aku udah beres soal pertama.”
Tomo menatap Lina dengan kagum. “Hebat, Lin. Aku baru bisa gambar gunung di soal pertama.”
Mereka semua tertawa pelan, tetapi segera berhenti ketika mereka mendengar langkah kaki Pak Harto mendekati pintu kelas. Seperti petir menyambar, semua anak langsung duduk tegak dan pura-pura fokus pada lembar ujian mereka.
Kekacauan di Akhir Ujian
Ketika waktu ujian tinggal beberapa menit lagi, Tomo masih kebingungan dengan soal-soalnya. Dia melihat ke sekeliling kelas dan merasa panik. Semua orang tampaknya sudah berada di tahap akhir dari ujian mereka, sementara dia baru saja menyelesaikan dua soal dari total lima.
“Waktu tinggal lima menit lagi, anak-anak!” kata Pak Harto dengan tenang dari depan kelas.
Tomo merasa jantungnya berdetak semakin cepat. Lima menit? Dia baru menyelesaikan dua soal!
Arif masih dengan tenang melanjutkan menggambar monster angka di kertasnya, sementara Tomo panik. Dia merasa semakin tak punya waktu, tetapi saat melihat Arif yang tampak santai, sedikit kepercayaan diri muncul di dalam dirinya.
“Hei, kalau kamu bisa gambar monster angka, kenapa aku nggak bisa ngarang rumus?” pikir Tomo dalam hati.
Tanpa berpikir panjang, Tomo mulai menulis jawabannya di lembar jawaban. Dia tidak terlalu peduli apakah jawabannya benar atau tidak; yang penting dia menuliskan sesuatu. Kertasnya penuh dengan rumus-rumus aneh yang sepertinya baru saja dia ciptakan. Dia menggambar garis-garis dan segitiga di mana-mana, berharap Pak Harto setidaknya memberinya sedikit nilai karena usahanya.
Di sisi lain kelas, Lina sudah selesai dengan ujiannya dan sedang memeriksa ulang jawabannya. Sari terlihat masih memikirkan soal terakhir, sedangkan Arif sudah benar-benar larut dalam dunia "monster angka"-nya, menciptakan cerita kecil di lembar ujian tentang monster angka yang harus dihancurkan dengan rumus matematika yang jitu.
Waktu terus berjalan, dan Pak Harto mulai memberikan peringatan. “Waktu kalian tinggal satu menit lagi, anak-anak! Pastikan kalian sudah menuliskan nama di lembar jawaban kalian.”
Mendengar ini, Tomo makin panik. Dia mempercepat coretannya, seolah-olah menulis jawaban secepat kilat bisa menambah nilai ujiannya. Dalam situasi seperti ini, Tomo hanya bisa berharap keajaiban datang dan semua yang dia tulis entah bagaimana benar.
Ketika bel akhirnya berbunyi, semua anak meletakkan pensil mereka dengan perasaan lega—kecuali Tomo dan Arif, yang tampak seperti habis berperang.
Pak Harto mulai berjalan di antara meja-meja, mengumpulkan lembar jawaban dari setiap siswa. Ketika dia sampai di meja Tomo, dia melihat kertas yang penuh dengan coretan, rumus aneh, dan... gambar segitiga berbentuk gunung.
Pak Harto mengangkat alisnya, menatap Tomo dengan tatapan penasaran. "Tomo, ini maksudnya apa? Kamu menggambar gunung?"
Tomo tersenyum canggung. “Eh, Pak... itu cuma... gambaran visual dari konsep segitiga. Biar lebih mudah dipahami.”
Pak Harto hanya menggelengkan kepala sambil tertawa kecil. "Baiklah, Tomo. Setidaknya kamu mencoba."
Setelah Ujian
Begitu Pak Harto keluar dari kelas, suasana langsung berubah menjadi ramai. Anak-anak mulai mengobrol tentang betapa sulitnya ujian tadi, saling menanyakan jawaban, dan beberapa malah mengeluh bahwa mereka mungkin akan mendapatkan nilai buruk.
Tomo menghempaskan tubuhnya ke kursi dengan rasa lelah yang luar biasa. “Wah, itu barusan seperti bertarung di medan perang. Gila, soal-soalnya susah banget.”
Lina menatap Tomo sambil tertawa kecil. “Mungkin karena kamu nggak belajar cukup, Tom. Kalau kamu belajar sedikit lebih banyak, kamu nggak bakal bingung sama soal pertama.”
“Aku belajar, kok!” kata Tomo sambil berusaha membela diri. “Tapi yaaa... mungkin cuma nggak cukup fokus. Lagipula, menurutku segitiga yang aku gambar itu bagus banget, lho.”
Sari tertawa mendengar pembelaan Tomo. “Segitiga berbentuk gunung? Itu sih udah bukan matematika, tapi seni.”
“Yah, siapa tahu Pak Harto suka sama karya seni modern,” jawab Tomo dengan nada santai, yang membuat semua orang di sekitarnya tertawa.
Arif kemudian berbalik ke arah Tomo sambil menunjukkan gambar monster angka yang dia buat di kertas cadangan. “Nih, Tom, monster angka yang kamu mimpiin semalam. Aku gambarin buat kamu. Kayaknya ini makhluk paling jahat yang pernah ada di dunia matematika.”
Tomo melihat gambar Arif dan langsung tertawa terbahak-bahak. “Wah, monster itu kelihatan galak banget! Kayaknya dia bakalan muncul lagi di mimpi malam ini.”
Mereka semua tertawa bersama. Meski ujian hari ini sulit, mereka bisa menemukan cara untuk tetap bersenang-senang dan mengubah stres menjadi tawa.
Kekacauan di Kantin
Setelah ujian selesai, Tomo dan teman-temannya memutuskan untuk pergi ke kantin. Hari yang melelahkan ini sepertinya layak diakhiri dengan camilan favorit. Kantin sekolah, meski sederhana, selalu dipenuhi dengan anak-anak yang ingin melepaskan penat setelah belajar.
“Kayaknya aku butuh sesuatu yang manis setelah ujian tadi,” kata Tomo sambil melihat daftar makanan di papan kantin. “Es teh manis kayaknya enak.”
Arif menimpali, “Aku juga mau es teh, tapi kali ini mau coba tambah ekstra gula. Biar manis banget, seperti kemenangan setelah mengalahkan monster angka tadi.”
Lina tertawa kecil. “Jangan-jangan es teh-mu nanti jadi lebih mirip sirup gula daripada teh, Rif.”
Sari, yang biasanya tidak terlalu banyak komentar soal makanan, kali ini ikut tersenyum. “Aku cukup dengan roti bakar keju aja, deh. Yang penting nggak terlalu manis.”
Saat mereka berdiri di depan meja kantin, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari belakang mereka. Beberapa anak dari kelas sebelah tampak berlari terburu-buru, salah satunya tersandung dan menjatuhkan nampannya yang berisi semangkuk mie instan. Mie itu terlempar ke udara, dan dengan dramatisnya, mie itu jatuh tepat di kepala Arif.
Semua orang terdiam selama beberapa detik, sebelum akhirnya meledak dalam tawa keras.
“Wah, Rif! Kayaknya kamu butuh lebih dari sekadar es teh manis buat membersihkan itu!” kata Tomo sambil menahan tawanya.
Arif mencoba membersihkan mie dari kepalanya sambil tertawa getir. “Yah... setidaknya ini mie, bukan angka-angka. Kalau angka yang jatuh di kepala, mungkin aku langsung pingsan.”
Penutupan Hari yang Kacau
Setelah selesai makan dan setelah Arif berhasil membersihkan sisa-sisa mie dari rambutnya, mereka semua berjalan ke halaman sekolah untuk menikmati sisa hari dengan santai. Suasana sore yang tenang dan angin sepoi-sepoi membuat mereka merasa lebih rileks.
Tomo duduk di bangku panjang sambil melihat ke arah langit. “Hari ini benar-benar kacau, tapi seru juga, ya. Dari ujian yang bikin pusing sampai insiden mie instan.”
Lina mengangguk sambil tersenyum. “Iya, kadang kekacauan kecil kayak gini yang bikin hari kita lebih berwarna.”
Sari menatap Tomo dan berkata, “Kamu bilang tadi pagi mimpi buruk soal angka-angka. Sekarang gimana, masih takut sama angka-angka?”
Tomo menggelengkan kepala sambil tertawa. “Kayaknya sekarang nggak lagi, deh. Monster angka-nya malah lucu kalau dilihat dari gambar Arif. Mungkin nanti kalau mimpi lagi, aku bakal ngelawan mereka dengan segitiga gunungku!”
Mereka semua tertawa bersama, mengakhiri hari yang penuh dengan ujian, tawa, dan kekacauan kecil. Meskipun ada tekanan dari ujian, insiden-insiden konyol yang terjadi di sekolah justru membuat mereka semakin dekat dan terus mengenang masa-masa seru di sekolah dasar.