Rere jatuh cinta pada pria buta misterius yang dia temui di Sekolah luar biasa. Ketika mereka menjalin hubungan, Rere mendapati bahwa dirinya tengah mengandung. Saat hendak memberitahu itu pada sang kekasih. Dia justru dicampakkan, namun disitulah Rere mengetahui bahwa kekasihnya adalah Putra Mahkota Suin Serigala.
Sialnya... bayi dalam Kandungan Rere tidak akan bertahan jika jauh dari Ayahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Calon Putri Mahkota
Bab 17-
Areum berdiri di depan gerbang megah istana Ratu Liliana, matanya mengamati setiap detail ukiran dan kemegahan yang menjulang di hadapannya. Cahaya matahari siang menyinari halaman yang dipenuhi bunga-bunga mekar, menciptakan suasana yang tampak begitu tenang dan indah. Namun, di balik kecantikan istana ini, hati Areum penuh dengan keraguan dan kebingungan.
Sejak pagi, ibunya, Kenny De Estyor, sudah berbicara padanya tentang pentingnya mendekati Ratu. Menurutnya, dukungan Ratu Liliana sangatlah penting jika Areum ingin menduduki posisi Putri Mahkota. Itu adalah permainan politik yang disusun dengan cermat oleh keluarganya, terutama oleh ayahnya, Robin De Vorbest.
"Kau harus membuat Ratu Liliana mendukungmu," kata ibunya dengan tegas sebelum Areum pergi. "Tanpa dukungan Ratu, perjodohan ini tidak akan terjadi. Tunjukkan sisi terbaikmu. Tunjukkan bahwa kau adalah pilihan yang tepat."
Areum mengingat setiap kata ibunya, tapi rasa tidak nyaman menggelayut di dalam hatinya. Keluarganya-keluarga Vorbest-selalu dikenal dengan sikap licik mereka. Dulu, saat Ratu Liliana baru saja diangkat menjadi Ratu, keluarganya adalah yang paling vokal menentang, membicarakan keburukan Ratu di belakangnya. Mereka menganggap Liliana tidak pantas berada di tahta, bahkan bersekongkol dengan faksi-faksi yang ingin menjatuhkannya,
Namun sekarang, semuanya berubah. Keluarga Vorbest yang dulu mencibir Ratu Liliana, kini meminta Areum untuk menjilatnya, derni kedudukan politik. Itu membuat perut Areum mual. Dia tidak pernah mengerti permainan politik keluarganya, dan setiap langkah yang ia ambil terasa seperti menipu dirinya sendiri.
"Bagaimana mungkin aku harus mendekati seseorang yang keluargaku sendiri hina di belakangnya?" pikir Areum sambil melangkah ke dalam istana, "Ini terasa begitu munafik."
Tapi dia tidak punya pilihan. Tekanan dari ayahnya dan tuntutan keluarganya membuatnya terperangkap. Keluarga Vorbest selalu punya ambisi besar, dan kali ini ambisi itu dibebankan padanya.
Ketika seorang pelayan istana mengantarnya ke ruang tamu Ratu, perasaan canggung dan gelisah menghantam Areum semakin keras. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang membuatnya tetap tegar: Arion. Sejak pertemuan pertamanya dengan Putra Mahkota, hati Areum sudah tak bisa berpaling. Cinta pada pandangan pertama, itulah yang ia rasakan.
"Arion..." pikirnya sambil tersenyum kecil di dalam hatinya. Jika bukan karena perasaan yang tulus ini, mungkin dia sudah menyerah pada segala permainan politik keluarganya. Tapi cintanya pada Arion, meski belum terbalas, adalah satu-satunya hal yang membuatnya tetap bertahan.
"Aku harus berhasil," Areum membisikkan pada dirinya sendiri. "Jika aku menjadi Putri Mahkota, aku bisa berada di sisinya."
Sesaat kemudian, pintu ruang tamu terbuka, dan di sana berdiri Ratu Liliana, sosok yang anggun namun penuh wibawa. Dengan senyuman lembut di wajahnya, Ratu menyambut Areum.
"Areum, senang sekali kau bisa datang ke istanaku," ujar Ratu Liliana dengan nada ramah. Areurn membungkukkan badannya dengan sopan, meskipun ada rasa berat dalam hatinya. "Terima kasih telah menyambutku, Yang Mulia. Saya merasa terhormat bisa mengunjungi Anda."
Ratu Liliana mengisyaratkan Areum untuk duduk bersamanya di meja kecil yang dikelilingi oleh tanaman hijau dan bunga-bunga mekar. Suasana begitu indah dan hangat, tapi Areum tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa dia sedang memainkan peran yang tidak seharusnya.
"Apakah ada hal khusus yang ingin kau bicarakan?" tanya Ratu Liliana dengan penuh perhatian.
Areum tersenyum kecil, mencoba menata kata-katanya dengan hati-hati. "Sebenarnya, saya hanya ingin mengenal Anda lebih dekat, Yang Mulia. Saya mendengar begitu banyak hal baik tentang kepemimpinan Anda dari berbagai pihak di istana."
Mendengar kata-kata itu, Ratu Liliana mengangguk pelan, meski tatapannya tampak penuh pengamatan. "Aku menghargai usahamu, Areum. Aku tahu situasi di kerajaan saat ini penuh dengan ketidakpastian, dan setiap orang sedang berusaha menemukan pijakannya."
Areum merasakan jantungnya berdetak cepat, namun dia terus tersenyum, mengikuti permainan politik yang telah diajarkan oleh keluarganya. Namun, di balik senyumnya, ada suara kecil di dalam hatinya yang terus berteriak: "Ini bukan aku."
Meski begitu, setiap kali Areum memikirkan Arion, hatinya terasa sedikit lebih ringan. Cinta itu nyata, meskipun politik di sekitarnya penuh dengan kepalsuan. Namun, satu hal yang pasti-ia harus memenangkan hati Ratu Liliana jika ingin mendekati Arion dan mengamankan posisi Putri Mahkota.
Namun, dalam hatinya, dia bertanya-tanya: Apakah Arion akan benar-benar mencintaiku, jika semua ini hanyalah permainan kekuasaan?
Di halaman pelatihan istana, Arion dan Calix tengah terlibat dalam pertarungan sparring yang intens. Pedang mereka beradu dengan kekuatan dan kecepatan, menciptakan suara logam yang menggema di sekitar area latihan. Meski peluh membasahi tubuh mereka, tatapan Arion tetap fokus, setiap gerakannya penuh dengan ketegasan dan ketepatan.
Sementara Calix, sebagai kesatria pengawal yang terlatih, juga tidak menahan diri. Serangan demi serangan ia lancarkan, namun setiap kali Arion berhasil menghalau dan membalas dengan cepat Mereka berdua tampak terlatih dan siap menghadapi ancaman apa pun, meskipun dalam suasana santai sparring ini, ada kesadaran mendalam tentang sesuatu yang lebih besar yang sedang terjadi.
Dalam jeda pertarungan, saat keduanya menarik napas sejenak, pikiran Arion melayang. Retakan dunia bawah yang kini seolah lenyap membuatnya terus bertanya-tanya. Seolah-olah ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh kekuatan di balik dunia bawah, dan itu tidak memberi Arion sedikit pun ketenangan.
"Retakan dunia bawah ini..." gumam Arion pelan sambil menyeka keringat di dahinya. "Semakin hari, aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih besar sedang terjadi. Dulu, retakan itu begitu jelas, tapi sekarang... seolah-olah ia menghilang tanpa jejak."
Calix mengangguk pelan, ikut merasakan kegelisahan yang sama. "Benar, Yang Mulia. Kita tidak boleh menganggap enteng ini. Kehilangan jejak retakan dunia bawah mungkin berarti ancaman yang lebih besar sedang mengintai di balik bayangan."
Arion menatap tanah sejenak, berpikir. Retakan itu bukan masalah kecil, dan ketidaktahuan mengenai keberadaannya sekarang membuatnya merasa perlu memperkuat kekuatan dirinya dan kerajaannya. Dia tidak tahu kapan ancaman itu akan muncul kembali, tapi satu hal yang pasti: dia harus siap.
Namun, sebelum Arion bisa menyelami lebih jauh pikirannya, tawa riang terdengar dari belakang. Victor, ajudan setianya, datang dengan langkah ringan, senyum lebar menghiasi wajahnya.
"Ah, Arion," kata Victor dengan nada menggoda. "Aku dengar kabar menarik tadi."
Arion mengangkat alis, setengah menebak apa yang akan dikatakan Victor. "Oh? Kabar menarik apa yang begitu penting sampai kau ke sini dengan wajah seperti itu?"
Victor terkekeh, lalu mengayunkan pedangnya di udara seolah sedang bersiap bergabung dalam sparring. "Ternyata Putri Areum datang ke istana Ratu hari ini. Kudengar dia sedang berusaha mendekati calon mertuanya, Ratu Liliana."
Arion mendengus, memutar matanya dengan santai. "Oh, begitu. Ya, aku sudah mendengar itu."
Namun, Victor tidak berhenti di situ. Dengan wajah penuh semangat, dia melangkah lebih dekat ke Arion, seolah-olah akan membisikkan sesuatu yang sangat penting. "Mungkin saja, Arion.... dalam waktu dekat aku akan memanggilmu dengan sebutan baru."
Arion mengerutkan kening, sedikit bingung. "Sebutan baru? Apa maksudmu?"
Victor menyeringai lebar. "Paman. Mungkin aku harus memanggilmu Paman, mengingat kau akan menikahi Putri Areum dan memberikan kami keponakan-keponakan kecil yang lucu."
Arion tertawa pelan, tapi matanya penuh dengan ketidakpercayaan. "Victor, aku belum berpikir sejauh itu, dan kau tahu aku belum memutuskan apa pun soal perjodohan ini."
Victor mengangkat bahu dengan nada bercanda. "Siapa tahu? Kau mungkin akan berubah pikiran setelah bertemu keponakanmu di masa depan.
Calix, yang masih berdiri di samping mereka, hanya menggelengkan kepalanya sambil tertawa kecil. "Kau terlalu berlebihan, Victor."
Arion menepuk bahu Victor dengan ringan. "Kau sepertinya menikmati bermain-main dengan pikiranmu sendiri. Tapi, seperti yang sudah kukatakan, aku belum memikirkan hal semacam itu.. Dunia bawah masih menjadi masalah yang harus kutangani."
Meskipun Arion berbicara dengan tenang, di dalam hatinya dia tidak bisa mengabaikan fakta bahwa perjodohan dengan Areum terus menjadi topik di istana. Dia menghargai Areum sebagai putri yang baik dan pintar, tetapi cinta..... cinta adalah sesuatu yang lain. Dan di tengah semua masalah yang membebani pikirannya, termasuk retakan dunia bawah yang hilang, cinta terasa jauh dari jangkauan.
Namun, Victor tidak menyerah begitu saja. "Arion, kau terlalu serius! Tapi aku bisa mengerti. Bagaimanapun, menjadi Putra Mahkota memang penuh tekanan. Hanya saja, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Kau pantas mendapatkan kebahagiaan di luar urusan politik dan ancaman dunia bawah."
Arion mengangguk, menghargai niat baik Victor meski dalam bentuk candaan. "Aku tahu, Victor. Aku tahu." Sementara Victor tertawa dan Calix tersenyum kecil, Arion tidak bisa menghindari pertanyaan yang terus menghantui pikirannya.
Ancaman dari dunia bawah dan retakan yang tiba-tiba menghilang-apa yang sebenarnya terjadi di sana? Dan di saat yang sama, ia tahu bahwa keluarganya dan kerajaan terus menekannya untuk memikirkan masa depannya, termasuk perjodohan dengan Areum.
Tapi untuk saat ini, Arion hanya bisa fokus pada satu hal, kekuatan dan persiapan. Ancarnan yang tidak terlihat selalu lebih berbahaya, dan ia harus siap menghadapi apa pun yang akan datang.
Taman istana Taewon selalu tampak indah di pagi hari, saat embun masih menggantung di daun-daun dan sinar matahari menyentuh lembut setiap sudut. Di tengah keheningan itu, Rere duduk di sebuah bangku marmer, diam memandang bunga-bunga yang bermekaran di sekelilingnya. Kehadirannya di istana sebagai utusan peri telah berlangsung selama beberapa waktu, namun ia tahu dalam hatinya bahwa ada alasan lain yang lebih mendalam mengapa ia terus bertahan-Arion. Meski ingatan Arion tentang dirinya lenyap, ia tetap merasa perlu berada di sisi Putra Mahkota, walaupun hanya sebagai bayangan yang tak terlihat.
Namun, kehidupan di istana sering kali terasa sunyi. Rere lebih banyak menghabiskan waktu dalam diam, mengamati segala sesuatu di sekelilingnya tanpa bisa berbuat banyak. Undine, peri air yang setia menemaninya, biasanya menjadi satu-satunya teman yang bisa diajak berbicara. Tetapi hari ini, suasana berubah.
Saat Rere sedang duduk termenung, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang besar dan berat mendekat dari kejauhan. Suara itu begitu khas, dan sebelum Rere bisa berbalik, serigala putih besar muncul dari balik pepohonan. Frost-serigala kesayangan Putri Arliana-mendekat dengan langkah mantap, tatapannya tajam namun tidak mengancam.
Rere membeku sejenak, meski ia tahu Frost tak bermaksud jahat. Di sisi lain, Undine, yang biasanya akrab dengan hewan-hewan istana, tiba-tiba mundur ketakutan. Peri air itu tampak sangat tidak nyaman setiap kali melihat Frost, dan kali ini tidak berbeda.
"Frost... apa yang kau lakukan di sini?" Rere bergumam lembut, meski tahu serigala besar itu tidak akan menjawab.
Frost mendekatinya dengan langkah pelan, hidungnya mengendus sekeliling, seolah ingin memastikan bahwa Rere baik-baik saja. Mata serigala itu memancarkan ketenangan, meski ukurannya yang besar sering kali membuat orang lain gemetar ketakutan.
Undine, yang sudah bergerak jauh menjauh, bersembunyi di balik pohon, suaranya terdengar gemetar meski berusaha untuk tetap tenang. "Aku... aku tidak mengerti. Aku biasanya bisa akrab dengan Frost, tapi hari ini dia terasa... menakutkan."
Rere menatap Undine dengan simpati, lalu kembali memandang Frost yang kini berdiri sangat dekat dengannya. "Tidak apa-apa, Undine. Frost tidak bermaksud jahat."
Namun, sebelum Rere bisa menyentuh Frost, suara tawa riang terdengar dari belakangnya. "Frost! Kau benar-benar harus berhenti menakuti semua orang."
Rere menoleh dan melihat Putri Arliana muncul dari balik pepohonan, langkahnya ringan seperti biasanya. Dengan senyum hangat di wajahnya, Arliana mendekati Frost dan mengusap kepala serigala itu dengan lembut. "Kau tahu, Rere, Frost ini sangat akrab dengan orang-orang yang disukainya. Jadi, jika dia mendekatimu, itu pertanda baik." Rere tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa berat dengan beban yang tak ia ungkapkan. "Terima kasih, Putri Arliana. Aku hanya tidak ingin menakuti teman periku."
Arliana tertawa kecil, lalu duduk di samping Rere di bangku marmer. "Frost memang suka membuat kesan dramatis, tapi dia tidak pernah bermaksud jahat. Aku rasa dia hanya ingin memastikan semua orang baik-baik saja."
Rere mengangguk pelan, meski pikirannya masih melayang jauh. Kehidupan di istana ini, dengan segala intrik dan tekanan, terkadang membuatnya merasa terasing. Namun, kehadiran Arliana, dengan sifatnya yang ceria, membawa sedikit kecerahan dalam hari-harinya.
Setelah beberapa saat diam, Arliana memandang Rere dengan tatapan penasaran. "Kau terlihat sering sendirian, Rere. Apa kau tidak merasa bosan hanya tinggal di sini? Pasti banyak hal yang terjadi di luar sana, tapi kau terus berada di istana."
Rere tersenyum samar, menatap lurus ke depan. "Tugas sebagai utusan peri mengharuskanku tetap di sini, Putri Arliana. Meskipun terkadang terasa sepi, ini adalah tanggung jawabku."
Arliana memiringkan kepala, menatap Rere lebih dalam. "Benarkah hanya itu alasannya? Aku merasa seperti ada sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih dalam... yang mengikatmu di sini."
Rere terdiam sejenak, menyadari bahwa Arliana mungkin bisa merasakan kegelisahan yang selama ini ia simpan. "Mungkin," jawabnya pelan. "Namun, beberapa hal tidak bisa diungkapkan begitu saja.
Arliana tersenyum kecil, seolah mengerti bahwa Rere menyimpan sesuatu yang berat. "Aku tidak akan memaksamu bercerita, Rere. Tapi kau tahu, jika ada sesuatu yang ingin kau bicarakan, aku selalu ada."
Rere tersenyum tulus, merasa sedikit lebih lega meskipun beban hatinya tetap ada. "Terima kasih, Putri Arliana. Kebaikanmu sangat berarti bagiku."
Arliana mengangguk, lalu berdiri dan menepuk kepala Frost sekali lagi. "Baiklah, Frost, sudah waktunya kita kembali. Jangan menakuti peri lagi, ya."
Frost menggeram pelan, seolah mengerti perintah majikannya. Sebelum mereka pergi, Arliana melambaikan tangan ke arah Rere. "Jangan terlalu serius, Rere. Dunia ini tidak seberat yang kau pikirkan."
Saat Arliana dan Frost pergi, Rere duduk sendiri lagi, menyadari bahwa meskipun ia berusaha keras untuk bersikap kuat, kehadiran Arion dan masa lalu mereka terus menghantuinya. Meskipun cintanya kini terkikis oleh waktu dan peristiwa, setiap kali Arion berada di dekatnya, hatinya berbisik sebaliknya.
Bisakah aku benar-benar melupakannya? Atau takdir ini akan terus mengikatku padanya?
pliz jgn digantung ya ...
bikin penasaran kisah selanjutnya
apa yg dimaksud dgn setengah peri dan manusia? apakah rere?