Mengisahkan tentang perjalana kehidupan seorang anak bernama Leonel Alastair yang berasal dari keluarga Von Adler. Kecintaannya pada musik klasik begitu melekat saat dia masih kecil, demi nama keluarga dan citra keluarganya yang sebagai musisi.
Leonel menyukai biola seperti apa yang sering dia dengarkan melalui ponselnya. Alunan melodi biola selalu membawanya ke masa masa yang sangat kelam dalam hidupnya.
Namun perlahan seiringnya waktu berjalan, kehidupan dan minatnya berubah. Dengan bantuan seorang kakak angkat Raehan dia memiliki tujuan baru, dengan tujuan tersebut dia bertemu seseorang yang menempati hatinya.
Bromance!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5. "Nada-nada yang Terpendam"
Sudah sebulan sejak Leonel memulai pelajaran biolanya. Setiap hari, ia menghabiskan waktu di kamarnya, melatih jemarinya di atas senar biola yang masih terasa asing. Suara biolanya masih jauh dari sempurna, tetapi ada sesuatu yang tak bisa ia lupakan—getaran emosi yang ia rasakan setiap kali gesekannya mengenai senar dengan benar.
Sementara itu, suasana di rumah mulai berubah. Julian semakin sering duduk di ruang tamu bersama Leonel, mendengarkan suara biola yang terkadang masih fals, namun penuh semangat. Mereka mulai berbicara lebih sering, membicarakan musik dan bagaimana musik klasik bisa menggambarkan perasaan yang tak terucapkan.
Suatu sore, ketika langit mulai memerah, Leonel sedang berlatih di kamarnya. Ia tengah memainkan bagian pembuka dari Canon in D yang sederhana namun emosional, ketika suara pintu diketuk pelan.
"Leonel, bisa aku masuk?" Suara Arnold terdengar dari balik pintu.
Leonel terkejut. Ini jarang terjadi. Ayahnya tidak pernah datang untuk mendengarkannya berlatih. Ia segera membuka pintu dan mendapati Arnold berdiri di sana dengan wajah tenang.
"Tentu, Pa. Masuk saja," jawab Leonel, meski ada sedikit rasa gugup yang menyelinap di hatinya.
Arnold melangkah masuk, duduk di tepi tempat tidur Leonel, mengamati biola di tangan anak bungsunya. Ada jeda panjang sebelum Arnold berbicara.
"Bagaimana perasaanmu sejauh ini, belajar biola?" tanyanya.
Leonel terdiam sejenak, mencoba merangkai jawabannya. "Aku... aku suka, Pa. Meski sulit, tapi aku merasa ini... ya, seperti bagian dari diriku. Aku merasa nyaman saat memainkannya, meskipun belum sempurna."
Arnold mengangguk pelan. "Aku bisa lihat kamu berusaha keras. Itu bagus." Suaranya terdengar datar, tapi Leonel bisa merasakan ketulusan di baliknya. "Tapi ingat, Leonel. Musik itu bukan hanya soal memainkan nada yang benar. Kamu harus mengerti perasaan di balik setiap nada."
Leonel menatap ayahnya, sedikit terkejut dengan kata-kata itu. Ia selalu melihat Arnold sebagai figur yang tegas dan kaku, tapi kata-katanya kali ini terasa sangat dalam.
"Papa tahu, kan, aku bukan Julian... Aku tidak ingin bersaing dengannya. Aku hanya ingin menemukan tempatku sendiri dalam musik ini," Leonel akhirnya mengutarakan apa yang selama ini membebaninya.
Arnold menarik napas panjang, kemudian menatap Leonel dengan sorot mata yang jarang ia perlihatkan. "Kamu tidak perlu menjadi Julian. Kamu adalah Leonel, dan itu sudah cukup. Papa mungkin terlalu keras, tapi aku hanya ingin kalian berdua, baik kamu maupun Julian, menemukan apa yang membuat kalian bahagia. Dan kalau biola adalah kebahagiaanmu, Papa akan mendukung."
Leonel merasa matanya berkaca-kaca, tapi ia menahannya. Ini adalah momen yang telah lama ia tunggu—pengakuan dari ayahnya, meski tidak sempurna, tapi itu sudah cukup. Ia mengangguk, tak mampu berkata-kata.
Arnold berdiri, memberikan satu tepukan lembut di bahu Leonel sebelum pergi. "Lanjutkan latihanmu. Aku ingin mendengar lebih banyak."
Pada malam itu, setelah semua orang sudah beristirahat, Leonel duduk di tepi jendela kamarnya, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit. Biolanya tergeletak di sampingnya, senar-senarnya masih bergetar halus dari latihan yang ia lakukan sebelumnya. Ia merasa ringan, seolah beban di dadanya mulai terangkat perlahan.
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka lagi, kali ini tanpa ketukan.
Julian melongokkan kepala, dengan senyum jahil di wajahnya. "Hey, aku dengar Papa barusan datang ke kamarmu. Apa yang dia bilang?"
Leonel tersenyum kecil. "Dia... bilang kalau aku nggak perlu jadi kamu. Cukup jadi diriku sendiri."
Julian tertawa pelan, lalu berjalan mendekat, duduk di samping Leonel di tepi jendela. "Akhirnya dia bilang juga, ya? Lama juga untuk seorang pianis sekelas Papa."
"Dan aku tahu dia benar. Aku nggak akan pernah bisa jadi kamu, Julian. Tapi aku senang bisa main biola, meskipun masih banyak salahnya."
Julian menatap Leonel dengan serius kali ini. "Dengar, Leonel, kamu sudah jauh lebih baik dari yang kamu pikirkan. Aku tahu kamu merasa selalu ada di bayanganku atau Papa, tapi kamu punya sesuatu yang kami nggak punya—kamu punya keberanian untuk memulai dari nol, untuk belajar sesuatu yang sepenuhnya baru."
Leonel tersenyum canggung. "Mungkin… tapi itu nggak semudah yang kamu bilang."
"Tentu saja nggak. Tapi kalau kamu terus berlatih, suatu hari nanti, suara biolamu akan jadi sesuatu yang lebih indah dari sekadar permainan piano Papa atau aku. Kamu akan menemukan suara hatimu sendiri." Julian berdiri, mengusap rambut adiknya, lalu berkata, "Jangan pernah ragu dengan dirimu sendiri, Leonel. Kamu berhak berdiri di sini, dalam keluarga ini, seperti halnya aku."
Leonel menatap Julian yang meninggalkannya di kamar. Malam itu, meski rumah sudah sunyi, hatinya terasa penuh—penuh dengan harapan dan determinasi baru.
Beberapa minggu kemudian, Leonel menghadiri kelas biola pertamanya dengan seorang guru yang direkomendasikan oleh Arnold. Ia berlatih setiap hari, dengan bimbingan dari guru dan dukungan dari Julian. Meskipun awalnya sulit, Leonel perlahan-lahan mulai merasa lebih percaya diri dengan setiap nada yang ia mainkan.
Pada suatu sore, Julian mendapati Leonel sedang berlatih di ruang tamu. Julian duduk di sofa sambil memperhatikan, dan saat Leonel selesai memainkan satu lagu pendek, ia bertepuk tangan.
"Kamu makin bagus, Leonel. Aku bisa merasakan perasaan yang kamu tuangkan ke dalam permainanmu," puji Julian.
Leonel tersenyum, tapi kali ini senyumnya lebih penuh percaya diri. "Aku mulai merasa biola ini seperti bagian dari diriku, dan... rasanya menyenangkan."
"Kamu akhirnya menemukan suaramu," jawab Julian.
Leonel tahu bahwa perjalanan masih panjang, tetapi ia tidak lagi merasa harus bersaing dengan siapa pun. Ia akhirnya menyadari bahwa musik bukanlah tentang siapa yang lebih hebat—musik adalah tentang menemukan dirinya sendiri, dan sekarang, Leonel tahu bahwa ia sedang menuju ke sana.