Anggista Anggraini, yang lebih akrab di sapa dengan nama Gista, mencoba menghubungi sahabatnya Renata Setiawan untuk meminjam uang ketika rentenir datang ke rumahnya. Menagih hutang sang ayah sebesar 150 juta rupiah. Namun, ketika ia mengetahui sahabatnya sedang ada masalah rumah tangga, Gista mengurungkan niatnya. Ia terpaksa menemui sang atasan, Dirgantara Wijaya sebagai pilihan terakhirnya. Tidak ada pilihan lain. Gadis berusia 22 tahun itu pun terjebak dengan pria berstatus duda yang merupakan adik ipar dari sahabatnya itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Five Vee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Kekasih Pak Dirga?
Gista mengerutkan dahi ketika Bobby berhenti di hadapannya, saat gadis itu sedang menunggu ojek online.
“Dengan nona Anggista Anggraini?” Tanya pria itu, dan membuat dahi Gista semakin berkerut.
“Ini helmnya.” Bobby menyerahkan sebuah helm untuk gadis itu.
“Kamu ojek online yang aku pesan?” Tanya Gista sembari menerima alat pelindung kepala itu.
Bobby menganggukkan kepalanya. “Cepat naik. Aku masih ada orderan yang lain.”
Gista mendengus pelan. Bisa-bisanya ia tidak melihat dengan teliti wajah tukang ojek online di aplikasi. Jika tau itu Bobby, mungkin gadis itu akan membatalkannya.
“Bukannya kamu bekerja dengan pak Richard?” Tanya Gista saat motor yang mereka tumpangi mulai melaju.
“Libur sementara. Selain karena mereka sedang bulan madu, Renatta juga sudah tau tentang siapa aku. Jadi, entahlah. Apa kedepannya pak Richard masih akan mempekerjakan aku lagi atau tidak?.” Ucap Bobby sembari fokus pada jalanan.
Di balik punggung pemuda itu, Gista mengangguk pelan.
“Kamu sudah lama narik ojek online?” Tanya Gista kemudian.
Sepertinya, Bobby pemuda baik. Tidak ada salahnya jika sekedar bertukar cerita. Siapa tau juga, Gista mendapat informasi tentang ojek online untuk ia beritahukan pada sang bapak.
“Baru minggu ini. Semenjak Renatta kembali. Aku tidak memiliki pekerjaan. Jadi, iseng-iseng daftar ojek online.” Ucap Bobby.
Meski suara pemuda itu berlomba dengan bisingnya suara lalu lalang kendaraan, namun Gista masih bisa mendengarnya.
“Kenapa tidak bekerja di kantoran saja?” Tanya gadis itu. Dan Bobby menghentikan laju motornya karena terkena lampu merah.
“Aku tidak bisa bekerja terikat waktu, Gis. Ibuku sedang sakit keras, dan koma di rumah sakit. Sewaktu-waktu dokter memanggil, dan aku berada disana. Karena itu, aku memilih bekerja bebas seperti ini.” Pemuda itu menghela nafas kasar di akhir kalimatnya.
Mendengar cerita Bobby membuat Gista merasa iba. Pemuda itu sepertinya sangat menyayangi ibunya.
Gista merasa mereka memiliki nasib yang sama, meski dalam cerita yang berbeda.
“Semoga ibu kamu cepat sembuh, Bob.” Ucap Gista dengan tulus.
“Terima kasih, Gis.” Balas Bobby.
“Aku merasa aneh di panggil Gis. Kamu panggil Ta saja. Seperti teman-teman aku yang lain.” Ucap Gista kemudian.
Bobby mencebikkan bibirnya, kemudian kembali melaju.
“Apa itu artinya sekarang kita berteman?” Tanya pemuda itu.
“Ya. Bisa di katakan seperti itu.” Jawab Gista asal.
Tak lama kemudian motor yang mereka tumpangi pun tiba di depan kafe tempat Gista bekerja.
“Terima kasih, Bob.” Ucap Gista sembari mengembalikan helm yang ia pakai pada Bobby.
“Nanti malam atau besok kalau butuh tumpangan, hubungi aku lagi, ya.” Ucap pemuda itu.
“Dapat harga spesial?” Canda Gista.
“Nanti aku beri potongan sepuluh persen.” Balas Bobby.
Gista mencebikkan bibirnya.
“Aku serius, Ta. Mungkin karena aku baru gabung. Jadi jarang sekali dapat orderan.” Imbuh Bobby lagi.
“Ya sudah. Nanti malam kamu nongkrong saja di dekat sini. Siapa tau dapat banyak orderan.”
Bobby pun menganggukkan kepalanya. Gista kemudian menyudahi obrolan mereka. Berbalik badan, untuk masuk ke dalam kafe.
“Pak Dirga.” Gumam gadis itu saat sang atasan berdiri di depan pintu kafe, menatap ke arahnya dengan pandangan yang sulit di artikan.
Namun Gista berusaha untuk tidak perduli. Bukannya, di luar apartemen hubungan mereka hanya sebatas atasan dan bawahan?
Gadis itu menarik nafas dalam, kemudian menghembuskan dengan panjang. Ia pun melangkah ke arah pintu kafe.
“Selamat sore, pak.” Sapa Gista dengan sopan.
Namun pria itu tidak membalas, hanya menatap Gista dengan lekat.
“Dirga. Ayo, aku sudah selesai.”
Tiba-tiba wanita yang bersama Dirga di dalam lift apartemen tadi, muncul lagi dari dalam kafe.
“Hai. Kita bertemu lagi.” Ucap wanita itu ketika menyadari keberadaan Gista.
“Selamat sore, Bu.” Sapa Gista kemudian.
Wanita dewasa itu membulatkan matanya. “Jangan panggil aku ibu. Aku masih lajang, dan baru berusia tiga puluh dua tahun.”
“Sudah, Dianna. Kita pergi sekarang.” Dirga bersuara, kemudian berlalu begitu saja.
“Ingat kalau bertemu lagi, jangan panggil ibu. Okay?” Wanita bernama Dianna itu pun menyusul langkah Dirga.
“Dirga, tunggu. Kamu memang tidak sabaran.”
Gista menghela nafas pelan. Ia kemudian melanjutkan langkahnya.
‘Jadi kekasih pak Dirga bernama Dianna? Serasi sekali. Tetapi, sepertinya aku tidak asing dengan wajah wanita itu. Sepertinya dia sering lewat di media sosial. Apa mungkin dia seorang artis?’
Gadis itu mengedikan bahunya.
\~\~\~
“Selamat malam, mas Dirga.” Sapa salah satu asisten rumah tangga di kediaman orang tua pria itu.
“Malam, bi. Dimana papa dan mama?” Tanya Dirga dengan sopan. Seperti minggu minggu sebelumnya, kedua orang tua Dirga akan pulang ke rumah setelah lima hari berada di Penang, Malaysia.
Maka Dirga juga akan pulang untuk berkumpul bersama papa dan mamanya.
“Tuan dan nyonya ada di ruang keluarga, mas. Sedang menunggu kedatangan mas Dirga.” Ucap wanita paruh baya itu.
Dirga mengangguk paham. Ia kemudian pergi ke ruang keluarga untuk menemui papa dan mamanya.
“Pa, ma.” Ucap pria berusia tiga puluh lima tahun itu, dan membuat kedua orang tuanya menoleh.
“Sayang.” Mama Dirga— nyonya Shopia merentangkan kedua tangannya.
Dirga pun mendekat ke arah wanita yang tengah duduk di atas kursi roda itu.
“Bagaimana kabar mama?” Tanya Dirga sembari membungkuk untuk memeluk sang mama.
“Mama akan cepat sehat, jika sudah menimang cucu dari kamu.” Ucap mama Shopia.
Dirga berdecak pelan. Tak memperdulikan ucapan sang mama, karena sudah merasa bosan mendengarnya. Ia kemudian beralih pada papa Jordan.
“Bagaimana kabar di kantor?” Tanya papa Jordan. Pria paruh baya itu lebih tertarik membahas urusan perusahaan, di bandingkan dengan masalah asmara sang putra.
“Seperti biasa, pa. Aku selalu mendapat limpahan pekerjaan dari kak Rich. Apalagi, besok dia mau berangkat bulan madu.” Dirga mengedikan bahu di akhir kalimatnya.
Ia kemudian duduk di samping sang papa.
“Makanya, kamu juga segera menikah lagi. Biar bisa bebas seperti Richard.” Mama Shopia menjawab ucapan sang putra.
Semenjak Dirga bercerai, wanita paruh baya itu selalu menyuruh sang putra untuk cepat -cepat membina rumah tangga kembali. Atau, setidaknya memiliki kekasih baru.
Bukannya tidak takut akan kegagalan lagi, mama Shopia hanya ingin melihat Dirga kembali ceria. Dan menikmati hidupnya.
“Jika aku juga menikah, siapa yang akan mengurus kantor, ma? Biarkan dulu kakak yang menikmati hidupnya. Aku sudah pernah. Tidak tertarik untuk mengulang dalam waktu dekat ini.” Ucap Dirga kemudian.
“Mau sampai kapan, Ga? Apa kamu tidak kasihan melihat kondisi mama?” Wanita paruh baya itu berucap sendu.
“Ma. Tolong jangan berpikir yang aneh - aneh. Mama akan tetap sehat dan berumur panjang.” Tukas Dirga.
“Ya kalau setiap hari duduk di kursi roda, dan memikirkan penyakit ini, siapa yang bisa berumur panjang, Dirga? Kalau ada cucu yang menemani, setidaknya mama bisa sedikit melupakan sakit mama ‘kan?”
Dirga menghela nafas kasar. Selalu saja seperti ini. Sang mama akan menjadikan penyakitnya alasan untuk mendesak agar Dirga cepat menikah lagi.
“Oh ya. Papa dengar Dianna sudah pulang dari London. Apa kalian sudah sempat bertemu?” Papa Jordan menyela. Mengalihkan pembicaraan istri dan juga anaknya.
“Dianna sudah kembali? Kenapa dia tidak memberitahu mama?” Tanya mama Shopia kemudian.
“Ya. Aku sudah bertemu dengannya.”
...****************...
semoga kamu bisa cepet bayar utang ke Dirga
pergi dan carilah kebahagiaan kamu sendiri
syukur2 Dirga merana di tinggal kamu
tetap semangat ya gistaaaa💪😊