Gus Zidan, anak pemilik pesantren, hidup dalam bayang-bayang harapan orang tuanya untuk menikah dengan Maya, wanita yang sudah dijodohkan sejak lama. Namun, hatinya mulai terpaut pada Zahra, seorang santriwati cantik dan pintar yang baru saja bergabung di pesantren. Meskipun Zidan merasa terikat oleh tradisi dan kewajiban, perasaan yang tumbuh untuk Zahra sulit dibendung. Di tengah situasi yang rumit, Zidan harus memilih antara mengikuti takdir yang sudah digariskan atau mengejar cinta yang datang dengan cara tak terduga.
Yuk ikuti cerita selanjutnya!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Musim_Salju, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Langkah Baru
Ketegangan di pesantren semakin terasa seperti awan gelap yang menutupi langit. Keputusan Zidan untuk menolak perjodohan dengan Ning Maya, lalu menyatakan cintanya kepada Zahra, telah mengguncang tatanan kehidupan pesantren yang biasanya tenang dan teratur. Para santri, pengurus, bahkan masyarakat sekitar mulai berspekulasi tentang apa yang sebenarnya terjadi.
Zahra, yang selama ini hanya ingin belajar dan menjadi santriwati biasa, kini merasa seolah berada di tengah badai yang tidak ia buat. Setiap langkahnya selalu diawasi, setiap geraknya menjadi bahan perbincangan. Hati Zahra berkecamuk. Ia tidak pernah meminta untuk menjadi pusat perhatian, apalagi menjadi alasan pertikaian antar-keluarga.
Malam itu, Zahra duduk sendirian di serambi asrama. Lampu-lampu pesantren memancarkan cahaya redup, menciptakan suasana yang sunyi tetapi tidak nyaman. Ia memeluk lututnya, menatap langit malam yang penuh bintang, berharap menemukan jawaban dari kegelisahan hatinya.
“Apa yang harus aku lakukan, ya Allah?” bisiknya lirih.
Dari kejauhan, suara langkah mendekat. Zahra menoleh dan mendapati Zidan berdiri beberapa meter darinya. Raut wajahnya serius, tetapi ada kelembutan yang terpancar dari matanya.
“Zahra,” panggil Zidan pelan.
Zahra segera berdiri, memberikan salam dengan sopan. “Assalamu’alaikum, Gus.”
“Wa’alaikumsalam,” jawab Zidan. Ia mendekat, menjaga jarak yang pantas. “Aku tahu kamu pasti merasa sangat tertekan dengan semua ini.”
Zahra menunduk, tak berani menatap mata Zidan. “Gus, saya hanya santriwati biasa. Saya tidak pernah menginginkan semua ini terjadi.”
“Aku tahu,” ujar Zidan dengan nada penuh penyesalan. “Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan perasaanku. Zahra, aku mencintaimu.”
Kata-kata itu membuat Zahra tercekat. Hatinya berdebar kencang, tetapi ia tahu tidak boleh larut dalam perasaan. Ia harus berpikir jernih.
“Gus,” Zahra berkata dengan suara gemetar. “Cinta saja tidak cukup. Ada begitu banyak orang yang terluka karena ini. Ning Maya, keluargamu, pesantren… Saya tidak ingin menjadi penyebab kehancuran mereka.”
Zidan menarik napas panjang, lalu mengangguk. “Aku mengerti. Tapi aku juga tahu bahwa aku harus jujur pada diriku sendiri. Zahra, aku siap menghadapi semua risiko demi kita.”
Zahra menggeleng pelan, air matanya mulai mengalir. “Gus, saya mohon, jangan hanya pikirkan perasaan sendiri. Ada tanggung jawab besar yang harus Gus emban.”
Zidan terdiam. Ia tahu Zahra benar, tetapi hatinya sulit menerima kenyataan itu. Ia tidak ingin kehilangan Zahra, tetapi juga tidak ingin membuat hidup Zahra semakin sulit.
Keesokan harinya, Abi Idris memanggil Zidan ke ruangannya. Suasana ruangan itu terasa berat, seperti ada beban yang tidak terlihat tetapi jelas terasa.
“Zidan,” ujar Abi Idris tegas, “aku ingin kamu mempertimbangkan ulang keputusanmu. Bukan karena aku tidak menghormati pilihanmu, tetapi karena aku tidak ingin pesantren ini hancur karena masalah pribadi.”
Zidan menatap ayahnya dengan penuh keyakinan. “Abi, aku tahu ini sulit. Tapi aku tidak bisa hidup dalam kebohongan. Aku mencintai Zahra, dan aku yakin dia adalah pilihan yang tepat untukku.”
Abi Idris menghela napas panjang. “Zidan, cinta itu penting, tapi tanggung jawab lebih penting. Kamu harus ingat, hidupmu bukan hanya milikmu sendiri. Ada keluarga, pesantren, dan para santri yang bergantung padamu.”
“Aku mengerti, Abi,” jawab Zidan pelan. “Tapi apakah adil jika aku mengorbankan kebahagiaanku demi memenuhi ekspektasi orang lain?”
“Adil atau tidak, itulah hidup,” jawab Abi Idris. “Terkadang kita harus memilih jalan yang sulit demi kebaikan bersama.”
Zidan terdiam, merenungkan kata-kata ayahnya. Ia tahu keputusan ini tidak mudah, tetapi hatinya tetap kokoh pada pilihannya.
Di sisi lain, Ning Maya juga tidak tinggal diam. Setelah percakapan pedasnya dengan Zahra, ia merasa bahwa ia harus melakukan sesuatu untuk merebut kembali posisi yang menurutnya adalah haknya.
Ia menemui Bu Nyai Siti di ruang keluarga. “Ummi, aku tidak bisa membiarkan Zahra merebut Zidan dariku,” katanya tegas.
Bu Nyai Siti menatap putrinya dengan tatapan penuh kasih tetapi juga kekhawatiran. “Maya, kamu harus ingat bahwa tidak ada yang bisa dipaksa dalam masalah hati.”
“Tapi ini bukan hanya tentang hati, Ummi,” ujar Ning Maya. “Ini tentang janji keluarga kita. Tentang masa depan pesantren.”
Bu Nyai Siti menghela napas panjang. Ia tahu betapa besar harapan putrinya pada Zidan, tetapi ia juga tidak ingin membuat situasi semakin buruk.
“Apa yang ingin kamu lakukan, Maya?” tanya Bu Nyai akhirnya.
“Aku akan berbicara dengan Zahra lagi,” jawab Ning Maya. “Aku akan membuatnya mengerti bahwa dia tidak punya tempat di sini.”
“Maya,” Bu Nyai memperingatkan, “jangan sampai perbuatanmu melukai perasaan orang lain. Kita harus tetap menjaga akhlak.”
Ning Maya hanya mengangguk pelan, meski dalam hatinya ia sudah bertekad untuk bertindak.
Sementara itu, Zahra semakin merasa terpojok. Ia tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Ia hanya bisa berserah kepada Allah, berharap diberikan petunjuk.
Malam itu, Zahra menulis surat kepada Ummi Zidan. Ia mencurahkan isi hatinya, mengatakan bahwa ia tidak pernah bermaksud untuk menjadi penghalang antara Zidan dan Ning Maya. Ia juga menegaskan bahwa ia bersedia meninggalkan pesantren jika itu adalah yang terbaik untuk semua pihak.
Setelah menyelesaikan suratnya, Zahra membawa surat itu ke rumah keluarga Zidan. Ia menyerahkannya kepada salah seorang pembantu, lalu segera kembali ke asrama tanpa menunggu jawaban.
Keesokan paginya, Ummi membaca surat itu dengan air mata mengalir di pipinya. Ia merasa terharu sekaligus sedih melihat betapa tulusnya hati Zahra.
“Abi,” ujar Ummi kepada suaminya, “Zahra benar-benar anak yang baik. Dia bahkan bersedia mengorbankan dirinya demi kebaikan kita semua.”
Abi Idris membaca surat itu dengan hati-hati. Setelah selesai, ia mengangguk pelan. “Aku sudah tahu Zahra adalah anak yang luar biasa. Tapi keputusan ini tetap ada di tangan Zidan.”
Pertemuan keluarga besar akhirnya diadakan untuk membahas masalah ini. Di ruang tamu yang luas, Abi Idris dan Ummi duduk berdampingan dengan Zidan, sementara di sisi lain ada Pak Kyai Mahfud, Bu Nyai Siti, dan Ning Maya.
“Zidan,” ujar Pak Kyai Mahfud dengan suara tenang tetapi tegas, sekali lagi ia ingin meyakinkan bahwa Gus Zidan tak pernah main-main dengan ucapannya sebelumnya. “Aku ingin mendengar langsung darimu. Apa alasanmu menolak perjodohan ini?”
Zidan menatap Pak Kyai dengan penuh hormat. “Maafkan saya, Kyai. Tapi saya tidak bisa menerima perjodohan ini karena saya tidak memiliki perasaan kepada Ning Maya. Saya tidak ingin memulai hidup baru dengan kebohongan.”
Ning Maya mengepalkan tangannya, mencoba menahan emosi. Bu Nyai Siti menepuk pundaknya, memberikan dukungan.
“Lalu bagaimana dengan Zahra?” tanya Pak Kyai lagi.
“Saya mencintai Zahra,” jawab Zidan tegas. “Dan saya yakin dia adalah pilihan yang tepat untuk saya.”
Pak Kyai mengangguk pelan, lalu menatap Abi Idris. “Bagaimana menurutmu, Idris?”
Abi Idris terdiam sejenak sebelum menjawab. “Saya tidak ingin memaksakan kehendak saya kepada Zidan. Tapi saya juga tidak ingin hubungan keluarga kita hancur karena masalah ini.”
Suasana menjadi hening. Semua orang menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Aku butuh waktu untuk berpikir,” ujar Pak Kyai akhirnya. “Keputusan ini terlalu besar untuk diambil secara tergesa-gesa.”
Pertemuan itu berakhir tanpa kesimpulan yang jelas. Namun satu hal yang pasti, perjuangan Zidan dan Zahra masih jauh dari selesai. Mereka harus menghadapi banyak rintangan sebelum bisa bersama. Di tengah perjalanan ini, mereka hanya bisa berharap bahwa cinta mereka cukup kuat untuk mengatasi segalanya.
To be continued...
kirain kemarin" tu Kyai Mahfud ortu Ning Maya 🤭
ingat Maya, Adab lebih tinggi dari ilmu. sebagai putri kyai pemilik pondok ilmumu tidak diragukan lagi. tapi adabmu ??