Entah dari mana harus kumulai cerita ini. semuanya berlangsung begitu cepat. hanya dalam kurun waktu satu tahun, keluargaku sudah hancur berantakan.
Nama aku Novita, anak pertama dari seorang pengusaha Mabel di timur pulau Jawa. sejak kecil hidupku selalu berkecukupan. walaupun ada satu yang kurang, yaitu kasih sayang seorang ibu.
ibu meninggal sesaat setelah aku dilahirkan. selang dua tahun kemudian, ayah menikah dengan seorang wanita. wanita yang kini ku sebut bunda.
walaupun aku bukan anak kandungnya, bunda tetap menguruku dengan sangat baik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Alin26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 23
Mataku mulai berembun, ketika mendengar kepergian ayah. Sejahat apapun dia tetap orang tua kandungku.
"Sekarang kamu di mana, Novita?" tanya Om Pras.
"Novita udah pulang ke Jerman," balasku berbohong.
"Jangan bohong, Novita."
"Enggak, Om. Novita emang udah pulang ke Jerman." Aku mencoba meyakinkannya.
"Tadi pagi, ayah kamu sempet nelpon. Dia nanya apa kamu ada di rumah Om. Berarti kamu masih ada di Indonesia."
Aku terdiam, tak bisa membalas ucapannya.
"Sebenernya kamu ada masalah apa sama ayahmu?" tanya Om Pras.
"Enggak ada masalah apa-apa."
"Tuh, bohong lagi. Om udah tau masalahnya Novita," ucap Om Pras.
Apa Om Pras tau kalau ayah melakukan pesugihan dan telah menumbalkan dua anaknya? Namun aku tidak yakin ayah akan bercerita padanya.
"Masalah apa?" selidikku.
"Kamu kabur dari rumah, Kan?"
Benar dugaanku, om Pras tidak tau apa-apa. Rasanya percuma bila kujelaskan sekarang. Dia belum tentu percaya. Apalagi kakak kandungnya baru saja meninggal.
Kuambil nafas panjang.
"Iya ... Novita kabur rumah," balasku.
"Sekarang kamu di mana? Biar Om jemput buat urus pemakaman ayahmu. Soalnya kamu ahli waris satu-satunya."
"Novita serahin semua sama Om aja. Novita minta maaf, gak bisa datang ke sana."
"Kamu ini kenapa!" Om Pras terdengar marah.
"Intinya Novita gak bisa ceritain sekarang, Om. Mungkin nanti om juga bakal tau. Atau kalau ada kesempatan, Novita bakal cerita."
"Kenapa gak cerita sekarang aja."
"Gak bisa, Om. Maaf. Udah dulu ya, Novita mau istirahat."
"Novita ...." Kumatikan teleponnya, lalu menonaktifkan ponsel.
Aku sudah tidak peduli dengan penilaian keluarga ayah. Sebelumnya saat pemakaman Kevin pun mereka tidak henti-hentinya menyindirku, karena tidak hadir di pemakaman leon. Padahal ayah lah yang melarangku pulang.
*
Aku duduk di atas tempat tidur, dengan dua lutut menopang kepala. Dada ini terasa sesak. Tak lama air mata pun mengalir.
Kenapa harus aku yang mengalami hal seperti ini? Kini keluargaku sudah benar-benar hancur berantakan. Tersisa aku dan bunda.
Keputusan ayah melakukan pesugihan malah berakhir sia-sia. Baru sebentar merasakan hasilnya. Dia sudah meninggal.
Kriet!
Pintu kamar terbuka. Tante Maria masuk ke dalam kamar.
"Telepon siapa?" tanyanya. Seperti dia tau tadi aku sempat menerima telepon.
"Ayah?" sambungnya.
Aku menggelengkan kepala.
"Terus siapa?"
"Om Pras. Dia ngabarin kalau ayah kecelakaan," balasku.
"Gimana kondisi?"
"Meninggal."
"Kamu mau pulang ke rumah?"
"Enggak. Novita enggak mau pulang ke sana lagi."
"Gara-gara perempuan setengah ular itu?"
Pertanyaan Tante Maria sangat mengejutkanku. Bagaimana dia tau tentang di Wanita Ular.
"Kok. Tante bisa tau?"
Tante Maria duduk di dekatku. Kemudian menceritakan tentang semua yang terjadi semalam. Dari saat dia membereskan gelas yang kupecahkan sampai alasannya tidak bisa tidur.
Saat sedang membersihkan pecahan gelas. Sekilas dia melihat seorang Wanita Berkebaya Hitam berdiri di dapur. Terlihat dari pantulan kaca rak piring.
Awalnya dia mengira itu hanya halusinasi saja. Namun ketika tidur di kamar, dia merasakan ada hawa yang beda. Panas, pengap dan tidak tenang.
Baru beberapa saat memejamkan mata. Dia sudah bermimpi buruk. Seorang Wanita setengah ular marah dan mengancamnya untuk tidak ikut campur.
"Ya, Tan. Semalam Novita juga bermimpi tentang dia," ucapku.
"Nanti, kamu ikut ke rumah Mbah Promo. Semoga dia bisa ngasih titik terang tentang semua yang kamu alami."
"Mbah Promo?"
"Dia seorang paranormal kenalan kakekmu. Semoga bisa ngasih titik terang dari semua keanehan ini."
"Oke, Tan."
"Sekarang kamu istirahat dulu."
Tante Maria pergi ke luar kamar
*
Beberapa jam kemudian, Rio dan Tante Maria mengajakku ke suatu desa di pinggiran kota. Desa yang asri dengan latar belakang pegunungan. Hanya saja, jalannya yang berbatu membuatku sedikit mual.
Mobil terus melaju, melewati jalan di pinggir sawah. Hingga akhirnya tiba di depan sebuah rumah sederhana dengan halaman yang luas.
"Ayo," ajak Tante Maria, turun dari mobil.
Aku pun turun dari mobil. Sementara itu Rio tetap di bangku kemudi, tidak ikut turun.
"Lu gak ikut, Yo?" tanyaku.
"Kagak. Gw gak mau denger masalah begituan."
Jujur, ini pertama kalinya aku datang ke seorang paranormal. Tante Maria bilang, Mbah Promo ini bukan paranormal biasa.
"Masuk," ujar seorang pria dari dalam rumah, saat Tante Maria akan mengetuk pintu. Sepertinya dia sudah tau kedatangan kami.
"Dari tadi, Mbah sudah tunggu-tunggu," ucap Seorang pria paruh baya yang sedang duduk di kursi kayu. Aku sampai dibuat heran, bagaimana dia bisa mengetahui kedatangan kami.
"Tidak perlu bingung, Nak Novita. Silahkan duduk dulu," ucapnya padaku. Bahkan dia tau juga namaku. Aku hanya bisa tersenyum tipis, lalu duduk di kursi.
"Mbah, maksud kedatangan kami ke sini ...," ucap Tante Maria.
"Pesugihan," potong Mba Promo.
"Kasian anak ini, terus diincar Jin Pesugihan," sambungnya.
"Siluman Ular itu masih ngikutin kamu," sambungnya lagi sambil menatap wajahku.
"Iya," balasku singkat.
"Dia sangat kuat, apalagi semalam baru mendapatkan tumbalnya. Seorang pria."
Jangan-jangan maksud Mbah Promo itu ayahku. Aku dan Tante Maria saling beradu pandangan.
"Maksud Mbah, ayahnya anak ini?" tanya Tante Maria.
"Iya. Dia berusaha mengelabuhi Siluman Ular itu, tapi ketahuan dan harus berakhir seperti itu."
"Apa ketika ayahnya meninggal, maka pesugihan itu berakhir?"
"Belum. Siluman Ular itu masih membutuhkan satu tumbal lagi."
"Satu tumbal lagi?"
"Ya. Seseorang sudah berhasil mengagalkan target pertamanya. Sehingga dia murka dan meminta tiga tumbal lagi."
"leon, Kevin dan ayah, sudah tiga tumbal. Kenapa dia masih mengejar saya?" tanyaku.
"Dia masih mengejar tumbal pertamanya. Jika sampai waktunya tiba belum juga berhasil. Maka akan mengincar yang lain."
"Berarti bunda masih dalam bahaya," pikirku.
"Mbah, ada yang mau saya tanyakan," ucapku.
"Silahkan, Nak."
"Kenapa Siluman Ular itu tidak bisa masuk ke kamar saya?"
Mbah Promo menatapku tajam, lalu menutup matanya. Beberapa saat kemudian membuka matanya.
"Orang yang sama," ucapnya pelan.
"Orang yang sama?"
"Dia yang menggagalkan tumbal pertama. Dia juga yang menyimpan sesuatu di kamarmu. Agar Siluman Ular itu tidak bisa masuk ke dalam."
"Mbok Wati," gumamku.
"Dia juga menyimpannya di kamar ibumu."
"Apa yang Mbok Wati simpan?"
"Sejenis rajah."
"Rajah?" tanyaku bingung.
"Rajah itu seperti jimat," balas Tante Maria.
"Benda kecil yang dibungkus kain hitam. Tergantung di pintu dan jendel kamar," jelas Mbah Promo.
"Mbah, apakah bisa membebaskan kedua adik saya dari tempat Siluman Ular itu?"
"Kamu sudah pernah ke sana?"
"Ya, saya lihat adik sedang disiksa di sana."
"Sangat sulit melepaskan tumbal pesugihan. Resiko sangat besar, bahkan bisa mengancam nyawa."
Percakapan kami pun berlanjut. Mbah Promo mulai memberikan penjelasan tentang keanehan di rumahku. Terutama tentang suara benda terjatuh yang sering terdengar dari dalam kamar leon.
Mbah Promo bilang, kalau Siluman Ular itu sudah lama tinggal di kamar leon. Setelah adikku itu meninggal dunia. Mungkin itulah alasannya Mbok Wati selalu mengunci kamar itu.
Di tengah percakapan, Mbah Promo tiba-tiba terdiam. Kerutan di dahinya menebal, menandakan dia sedang memikirkan sesuatu.
"Ada satu orang lagi," ucapnya.
"Dia ikut campur dalam kematian tumbal kedua," sambungnya.
"Tumbal kedua, berarti ... Kevin," pikirku.
"Orang ini pula yang mengirim ilmu hitam dengan bantuan Genderuwo."
"Siapa Mbah?" tanyaku.
"Laki-laki dan kerja di rumahmu."
"Ahmad! Supir ayah," ucapku. Berarti dugaan Mbok Wati selama ini benar.
"Genderuwo ini berhasil membunuh salah satu penghuni rumahmu. Dan hampir mengincarmu juga."
Jadi ... itulah alasannya Mbok Wati tidak ada di tempat Siluman Ular itu. Dia tewas dibunuh oleh Genderuwo kiriman Ahmad. Genderuwo itu pula yang menyamar sebagai Mbok Wati, dan berusaha masuk ke dalam kamarku.
"Kamu beruntung, ada penjaga rumah yang menghalangi. Walaupun akhirnya dia ditangkap oleh Siluman Ular itu."
"Penjaga Rumah?"
"Wanita bergaun putih dengan rambut panjang."
"Lastri," gumamku.
Mbah Promo kembali terdiam. Ada kecemasan yang tergambar jelas di wajahnya.
"Ada awan hitam di atas rumah sakit. Mbah juga melihat seseorang sedang berdiri di sana, dengan aura gelap," ucap Mbah Promo.
"Bunda," ucapku.
"Sebaiknya, kamu segera ke sana. Mbah khawatir akan ada melakukan hal yang buruk pada ibumu."
"Tante ...." Aku menatap wajah Tante Maria yang juga khawatir.
"Mbah, kami pamit dulu, Ya," ucap Tante Maria.
"Sebaiknya cepat, perasaan Mbah sudah tidak enak."
"Iya, Mbah." Tante Maria bangkit dari duduknya, begitu pula aku. Kami pun berpamitan dengan Mbah Promo.
"Tunggu ...," ucap Mbah Promo saat kami baru saja melangkah ke luar rumahnya.
Aku pun menghentikan langkah. Kemudian Mbah Promo berjalan mendekat.
"Bawa ini." Mbah Promo memberiku sebuah keris kecil.
"Apa ini, Mbah?" tanyaku bingung.
"Bawa saja, supaya perjalanan kalian lancar."
Aku pun menurutinya, lalu memasukan keris itu ke dalam tas kecil yang kubawa. Setelah itu, berjalan menuju mobil.
*
"Tumben cepet bener," ucap Rio menyambut kedatangan kami.
"Ayo buruan, pergi!" pinta Tante Maria.
"Pergi ke mana, Bu?"
"Ke Surabaya."
"Ibu gak becanda, Kan?"
"Beneran, Yo. Buruan!" selaku.
Dengan wajah kebingungan, Rio pun menghidupkan mobil. Lalu, pergi meninggalkan rumah Mbah Promo.
"Ada apa sih sebenernya?" tanya Rio dengan mata tetap fokus ke depan.
"Intinya Tante kamu dalam bahaya," balas Tante Maria.
Tidak ada pertanyaan lagi dari Rio. Dia benar-benar sedang konsentrasi melihat jalan raya.
Sekitar 40 menit kemudian, mobil sudah memasuki ruas tol. Beruntung jalanan tidak begitu ramai. Beberapa kali Tante Maria memberi peringatan saat Rio memacu mobilnya terlalu kencang.
Setelah menempuh perjalanan kurang dari 6 jam, kami pun tiba di Surabaya. Aku langsung mengarahkan Rio menunju ke rumah sakit.
Hari sudah menjelang malam. Jalanan kota Surabaya sudah ramai dengan kendaraan. Beberapa kali mobil kami terjebak macet. Aku mulai cemas. Dalam situasi seperti ini, satu detik pun sangat berarti.
Sekitar pukul 7 malam, kami sampai juga di rumah sakit. Mobil memasuki lobi. Bergegas kuturun duluan, sedikit berlari. Saat itulah, sepintas kulihat Pak Ahmad berjalan ke luar dari dalam rumah sakit, dengan langkah cepat.
Ingin sekali mengejarnya, tapi lebih khawatir dengan kondisi bunda. Aku pun mempercepat langkah, berjalan ke kamar bunda.
Kriet!
Dengan cepat kubuka pintu kamarnya.
"Bunda!" panggilku panik.