Istri mana yang tidak bahagia bila suaminya naik jabatan. Yang semula hidup pas-pasan, tiba-tiba memiliki segalanya. Namun, itu semua tidak berarti bagi Jihan. Kerja keras Fahmi, yang akhirnya mengangkat derajat keluarga nyatanya justru melenyapkan kebahagiaan Jihan.
Suami yang setia akhirnya mendua, ibu mertua yang penyayang pun berubah kasar dan selalu mencacinya. Lelah dengan keadaan yang tiada henti menusuk hatinya dari berbagai arah, Jihan akhirnya memilih mundur dari pernikahan yang telah ia bangun selama lebih 6 tahun bersama Fahmi.
Menjadi janda beranak satu tak menyurutkan semangat Jihan menjalani hidup, apapun dia lakukan demi membahagiakan putra semata wayangnya.
Kehadiran Aidan, seorang dokter anak, kembali menyinari ruang di hati Jihan yang telah lama redup. Namun, saat itu pula Fahmi hadir kembali bersamaan dengan wanita masa lalu Aidan.
Lantas, apakah tujuan Fahmi hadir kembali dalam kehidupan Jihan? Dan siapakah wanita masa lalu Aidan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 5~ APA INI BALASAN ATAS PENGABDIAN KU?
"Bunda, kenapa Ayah belum datang juga?"
Pertanyaan Dafa membuyarkan lamunan Jihan, sejak tadi ia juga bertanya-tanya dalam hati dimanakah suaminya sekarang.
Fahmi sudah berjanji akan memenuhi permintaannya, tapi waktu sudah mendekati pukul delapan malam belum juga tampak tanda-tanda kedatangan suaminya itu. Bahkan ibu mertuanya pun belum juga keluar dari kamar.
"Sebentar ya, Nak. Bunda telepon Ayah dulu."
Ketika Jihan hendak ke kamar mengambil ponselnya, terdengar suara bel berbunyi. Ia pun segera menuju pintu, sangat yakin jika itu suaminya yang pulang.
Tebakan Jihan benar, Fahmi muncul di hadapannya saat ia membuka pintu. Namun, ekspresi wajahnya seketika berubah kala tatapannya tertuju pada wanita asing yang merangkul lengan suaminya.
"Mas, dia siapa?" Tanya Jihan, bibirnya nampak bergetar. Dadanya tiba-tiba saja serasa dihimpit bongkahan batu besar yang membuatnya kesulitan meraup udara, melihat seorang wanita bergelayut manja di lengan suaminya.
"Jihan, perkenalkan ini Windi, istriku. Kami menikah dua bulan yang lalu dan sekarang Windi sedang mengandung." Ucap Fahmi dengan santainya. Pria itu seakan tak memikirkan perasaan wanita yang telah mendampinginya selama lebih enam tahun, dari mulai dia bukan siapa-siapa.
"Apa?" Tubuh Jihan seketika lemas bak tak bertenaga, hampir saja ia terhuyung jika tak segera berpegangan pada pintu. Dan Fahmi tanpa perasaan hanya menatap tanpa berniat untuk membantu, pria itu hanya mematung dengan membiarkan wanita yang diakuinya sebagai istri baru semakin merangkul erat lengannya.
"Mas, itu tidak benar, kan? Mas hanya bercanda, kan?" Jihan menggelengkan kepalanya, ia berharap apa yang diucapkan suaminya hanyalah candaan.
"Kamu harus bisa menerima kenyataan ini, Jihan. Sekarang Windi juga istriku yang sekarang sedang mengandung, jadi kamu harus rela berbagi suami."
Dan lagi, dada Jihan bagaikan disayat ribuan belati yang tajam. Rasanya benar-benar sakit. Ia berharap malam ini akan menjadi momen yang spesial untuk keluarga kecilnya, namun justru yang terjadi, ia harus mendapatkan kenyataan yang pahit
"Kenapa kamu tega melakukan ini padaku, Mas? Apa salahku!?" Jihan tak dapat lagi menahan air matanya, cairan bening itu kini telah membasahi pipinya.
"Sudahlah, Jihan. Gak usah kebanyakan drama. Air matamu itu tak akan bisa merubah kenyataan bahwa sekarang Windi juga istriku, walaupun pernikahan kami cuma sirih tapi dia lebih dari kamu. Dan mulai malam ini, Windi akan tinggal bersama kita di sini."
Dada Jihan benar-benar terasa sesak melihat pemandangan di depannya. Sekuat tenaga ia mencoba menguatkan diri demi putranya.
"Ini balasan kamu atas pengabdian ku selama ini, Mas? Kamu benar-benar tega menduakan aku dan menikah tanpa izin ku."
"Kamu tahu kan dalam agama kita, laki-laki diperbolehkan menikahi lebih dari satu istri. Dan aku akan tetap menikahi Windi mesti itu tanpa izin dari kamu. Aku akan bersikap adil selagi kamu tidak berulah!" Tukas Fahmi.
Air mata Jihan kian deras mendengar ucapan suaminya. Apakah dirinya tidak ada harganya lagi di mata suaminya itu. Padahal selama ini ia dengan setia mendampingi tanpa pernah mengeluh sedikitpun meski mereka pernah hidup dalam kesederhanaan.
"Mbak, tolong terima pernikahan kami. Aku dan Mas Fahmi bekerja di tempat yang sama dan kami sering bersama. Daripada kami melakukan zina, bukankah sebaiknya kami berdua menikah saja." Ucap Windi yang langsung dibenarkan oleh Fahmi.
Jihan segera menghapus air matanya, benar kata Fahmi bahwa air matanya itu tidak akan bisa merubah apapun. Ia menatap wanita yang merupakan madunya itu dengan tajam, "Kamu juga seorang perempuan, apa tidak ada sedikit saja rasa iba di hati kamu. Coba bayangkan, bagaimana kalau kamu yang ada di posisi ku? Apa diluar sana tidak ada laki-laki lajang sehingga kamu mendekati laki-laki beristri, huh?"
"Ada apa ini ribut-ribut?"
Mendengar suara ibu mertuanya, Jihan segera menghampiri. "Bu, Mas Fahmi, Bu." Ucapannya terbata, mencoba mengadukan perbuatan suaminya. Sebagai sesama perempuan ia yakin ibu mertuanya akan membelanya.
"Fahmi kenapa?"
"Rupanya, Mas Fahmi telah menikah lagi di belakangku. Dan bahkan Mas Fahmi membawa perempuan itu untuk tinggal di sini." Ucap Jihan seraya menunjuk ke ambang pintu, dimana suami dan madunya berdiri.
Bu Neny pun menoleh, hal yang tidak diduga oleh Jihan, ibu mertuanya itu justru tersenyum menatap Fahmi dan Windi. Bahkan langsung menghampiri dan memeluk Windi dengan penuh kelembutan.
Jihan terperangah, benar-benar tidak menyangka atas apa yang sedang ia saksikan sekarang. Ia pikir akan mendapatkan pembelaan, tapi ternyata ia salah besar.
"Bu, Ibu sudah tahu semuanya?" Tanya Jihan, rasanya masih antara percaya dan tidak melihat kedekatan ibu mertuanya dan madunya itu.
"Memangnya kenapa? Ibu yang memberikan restu pada mereka berdua." Jawab bu Neny tanpa rasa bersalah sedikitpun.
Jihan terdiam, rasa sesak di dadanya tak mampu lagi membuatnya berkata-kata. Ia benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan pengkhianat besar seperti ini dari suami dan ibu mertuanya.
Perlahan, ia melangkahkan kakinya meninggalkan tempat itu. Menahan agar air matanya tidak jatuh kembali, ia tidak mau sampai Dafa melihatnya menangis.
"Bu, Windi sekarang lagi hamil."
"Serius? Ibu senang sekali mendengarnya."
"Mulai sekarang Windi akan tinggal di sini, Bu."
"Sebaiknya memang begitu. Ibu juga khawatir kalau Windi sering-sering kamu tinggal, apalagi sekarang lagi dalam keadaan hamil."
"Iya, Bu. Maka itu aku membawa Windi tinggal di sini. Apalagi besok pagi aku harus berangkat ke luar kota selama beberapa hari."
"Kamu fokus saja dengan pekerjaanmu dan tidak perlu khawatir, Ibu akan menjadi istri dan calon anak kamu dengan baik."
"Terima kasih, Bu."
Pembicaraan mereka masih dapat di dengar oleh Jihan. Merasa tak tahan mendengar momen kebahagiaan mereka yang justru bagaikan neraka baginya ia segera mempercepat langkahnya menuju ruangan dimana putranya berada.
"Bu, apa Ayah sudah datang?" Tanya Dafa begitu melihat kedatangan bundanya.
Jihan mengangguk, "Sudah, Nak. Tapi Ayah kelihatannya capek banget, gak apa-apa kan kalau Dafa potong kuenya berdua sama Bunda aja?"
Dafa menunduk, ekspresi wajahnya terlihat murung. "Terus, Nenek dimana, Bunda?" Tanyanya kemudian.
Jihan terdiam sebentar, memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan pada putranya. "Nenek ada di kamarnya, tadi Bunda lihat Nenek lagi kurang enak badan." Dengan sangat terpaksa ia berbohong. Mana mungkin ia katakan bahwa ibu mertua dan suaminya kini tengah berbahagia diatas penderitaannya.
"Gak apa-apa, kan, Dafa potong kue nya berdua sama Bunda aja?" Tanya Jihan sekali lagi.
Dafa akhirnya mengangguk, namun dapat Jihan lihat kekecewaan di raut wajah putranya itu.
Setelah memotong kue, Dafa memberikan potongan pertama pada bundanya. Dan sudah jelas tidak akan ada potongan kedua sebab mereka hanya merayakannya berdua saja.
Kedua mata Jihan berkaca-kaca ketika Dafa menyuapinya. Sebisanya ia menahan agar air matanya tidak jatuh. Malam ulang tahun putranya yang diharapkan akan menjadi momen yang spesial, lagi dan lagi ia harus menelan kekecewaan. Belum lagi ditambah pengkhianatan suami dan ibu mertuanya, kian menambah luka dalam hatinya.
'Ya Allah ... kenapa doa yang setiap hari kupanjatkan setinggi langit, hanya memantul dan kembali tanpa jawaban?'
hadech mama Kiara jangan galak2 dong bisa jantungan itu si Jihan papa Denis berasa Dejavu g tu anaknya mau mepet janda 🤭🤭🤭
ayo om dokter Pepet terus jangan kasih kendor dah pasti dibantuin nyomblangin kok ama bang Rian n Nayra 🤭🤭🤭