Cerita ini hanya fiktif belaka, hasil kehaluan yang hakiki dari Author gabut. Silahkan tinggalkan jejak jempol setelah membaca dan kasih bintang lima biar karya ini melesat pesat. Percayalah Author tanpa Readers hanyalah butiran debu.
Siti dan Gandhi tetiba menjadi pasangan nikah dadakan, karena Siti menghindar perjodohan dari sang ayah yang akan di pindah tugas keluar Pulau.
Sebelumnya Siti sudah punya kekasih, tetapi belum siap untuk menikahinya. Jadilah Gandhi yang bersedia di bayar untuk menjadi suami pura-pura hingga Arka siap meminang Siti.
Isi rumah tangga Siti dan Gandhi tentu saja random, isi obrolan mereka hanya tentang kapan cerai di setiap harinya.
Mari kita simak bagaimana akhir rumah tangga Siti dan Gandhi yang sejak awal berniat bercerai. Apakah sungguh berpisah atau malah bucin akut?
Happy Reading All
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EmeLBy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 : SEBATANG KARA
Orang sering bilang bahwa orang yang paling berpotensi bikin hancur hidup seseorang itu adalah orang yang paling dekat dengan kita. Tak terkecuali nasib Siti Haurah. Entah semesta harus menyatakan apalagi untuknya, jika ia tetap berkeras mencintai seorang Arka yang bahkan sudah membuat sahabatnya hamil. Kalau Siti masih berkoar-koar cinta pada Arka, fix cinta emang buta. Udah masuk kategori cacat mental pulak.
"Ka, makasih untuk tiga tahun lebih kebersamaan kita. Kamu juga Nira. Bagaimanapun kalian pernah jadi prioritas dalam hati gua. Maafin kalo gue atau orang tua gue pernah nyakitin kalian. Selamat berbahagia untuk kalian berdua." Siti sudah tidak bersungut dalam posisi terduduk lagi. Ia segera bangkit dan meninggalkan kost Arka. Bahkan sudah tidak mau mendengar apapun suara, atau kata-kata yang keluar dari Arka dan Nira untuk membela diri atau apapun, Siti sudah tidak perduli.
Kelemahan Siti adalah mudah percaya dengan apapun yang ia lihat dan dengar. Tanpa memberi waktu untuk membuktikan apapun. Bagaimana kalau Arka dan Nira hanya akting saja? Tidak, Siti tidak punya banyak otak untuk berpikir jangka panjang atau pendek. Ia bukan tipe orang yang bertele-tela untuk mengambil keputusan. Sama dengan keputusannya membuat perjanjian dengan Gandhi yang tidak ia cari tau dahulu asal usulnya. Itu kelemahan Siti manusia si malas mikir itu.
Siti melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata, tidak tentu arah dengan beraneka praduga masih tentang Arka dan Nira. Sehingga, ia pun melanggar lampu merah. Sempurna, kecelakaan pun tak terhindarkan.
Gelap.
Dunia Siti tiba-tiba gelap bahkan ia tak dapat merasakan apapun dalam beberapa jam kemudian.
Mobil Siti cukup hancur di bagian kanan, sebab ia di hantam oleh mobil lain yang berjalan lurus, sebab bagian jalan itu sedang lampu hijau. Mobil itu sudah memberikan tanda klakson, tapi Siti tidak mendengar ia tetap melaju. Pun mobil lurus itu tidak sempat memperlambat jalannya. Bisa di bayangkan betapa hebohnya jalan raya itu, Ulah Siti. Lalu lintas sempat macet olehnya, namun ia dengan cepat di larikan ke rumah sakit terdekat.
Siti mengerjabkan matanya, tertegun melihat botol cairan infus yang mengalir ke tubuhnya, lewat selang yang ujung jarumnya sudah tertancap di lengan kanannya.
Cuplikan kecelakaan itu, berulang-ulang dalam pikirannya. Siti ingat semua dan mengakui kesalahannya.
"Permisi." Ada satu polisi, dokter dan beberapa perawat datang untuk memeriksa keadaanya juga minta keterangan darinya.
Siti mengakui semua kesalahannya merupakan suatu kelalaian yang menjadi penyebab kecelakaan. Siti cukup koperatif sebagai pelaku tindak kejahatan tersbeut dan bersedia bertanggung jawab ata semua kerugian yang berasal darinya, asal tidak di penjara atau di jatuhi hukuman. Siti pun di minta untuk memberikan data dirinya untuk kepentingan proses damai dan keterangan yang di anggap perlu.
"Baik terimakasih untuk pengakuan dan tanggung jawabnya. Semoga lekas pulih." Ujar polisi itu dengan nada tegas juga ramah.
"Bagaimana keadaan saya dokter?" tanya Siti merasa semua tubuhnya agak ngilu.
"Ada sedkit luka terbuka, lecet saja. Mungkin di laser juga akan hilang. Luka memar juga sekitar 30 % tapi yang pasti tidak ada retak dan patah tulang yang serius. Hanya memang perlu menginap 1 malam di sini." Terang dokter perempuan itu dengan jelas memberikan keterangan.
"Dokter saja yang tidak tau, yang patah itu bukan tulang. Tapi hati gua." Monolog Siti dalam hati.
"Hum... Alhamdulilah." Jawab Siti merespon keterangan dokter itu.
"Mbak, kami antar ke ruang rawat inap yak. Sebab observasinya sudah selesai dan ruangan sudah kami siapkan. Apakah ada keluarga yang bisa kami hubungi untuk menjaga atau menjenguk?" tanya Perawat pada Siti.
"Hah ...?"
"Tidak Suster, saya sebatang kara di kota ini." Jawab Siti merasa sudah tidak punya siapa-siapa lagi di kota itu.
Kekasih vangsat, sahabat vrengsek, suami juga cuma palsu. Terus, Siti ngarep siapa dong nemenin dia malam ini.
"Baiklah." Jawab perawat itu kemudian memanggil beberapa teman untuk mengantarkan Siti keruangan kelas 1. Dalam ruangan itu sudah ada 2 pasien lain. Cukup riuh di dalam, sebab dua pasien terdahulu cukup banyak memiliki kolega yang membersamai di dalam sana. Suasana sebentar sepi, saat Siti masuk. Setelah melempar senyum dan mengangguk, perawat yang mengantar Siti keluar. Ruangan itu kembali gaduh oleh canda tawa para penunggu pasien di dalam ruang Mawar itu. Iya, Rumah sakit itu menggunakan nama-nama bunga untuk semua nama ruang rawat inapnya.
"Sakit apa mbak?" tanya pasien di sebalah Siti, saat para tamu mereka sudah kehabisan jam besuk.
"Luka lecet saja setelah kecelakaan tadi." Jawab Siti yang memang bisa duduk sendiri.
"Mana keluarga yang mengantar?" tanyanya lagi.
"Orang tua saya jauh, bekerja di Kalimantan." Jawab Siti yang sesungguhnya kesepian sejak tadi. Ponselnya juga kehabisan daya. Hanya ada tas berisi dompet di lokernya, pun tidak ada alat untuk men charger ponselnya.
"Oh. Saudara?" tanya pasien itu lagi.
"Saya anak tunggal." Jawab Siti lagi.
"Teman?" Siti menggeleng.
"Juga tidak punya." Ujarnya kemudian memilih berdiri lalu berjalan keluar ruang Mawar itu. Mencari tempat yang cukup nyaman untuknya duduk di kursi panjang, beratap langit kelam dengan beberapa bintang di angkasa raya.
"Mobilku rusak parah, Arka sudah pasti tidak akan menikahiku. Lalu, untuk apa aku meneruskan pernikahan palsuku dengan Gandhi? hanya buat aku makin miskin saja." Monolog Siti saat ia sedang dalam kesendiriannya.
"Kenapa kamu gak kasih kabar seharian ini?"
BERSAMBUNG ...
Jeng-jeng-jeng siapa yang bicara kek gitu sama Siti.
Apakah setelah kecelakaan ini Siti dan Gandhi akan segera bercerai?
Ayook, komen n likenya yang banyak
Biar nyak makin sering updatenya.
Oh, iya jujur juga kalo udah mulai bosan sama alurnya yak
Makasih semua
Lop Lop
ujan ujan gitu, mknya cakit/Grin//Grin/
🏃🏃🏃🏃🏃🏃
Keren kok alurnya