NovelToon NovelToon
Cinta Terlarang

Cinta Terlarang

Status: sedang berlangsung
Genre:Single Mom / Anak Genius / Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Cancer i

Menceritakan tentang seorang gadis cantik yang bernama Lala, harus mengandung karena hubungan terlarang dengan seorang jin muda yang sejak kecil menyukainya.

Berawal dari kebiasaan jorok Lala, hingga sosok jin muda yang menyukainya dan merubah wujudnya menjadi tampan saat setiap bertemu Lala meskipun warna matanya merah dan memiliki tanduk di kepalanya.

Bagaimana kisah selanjutnya?ikuti kisah selanjutnya ya🙏

PERHATIAN!!

Jika ada bab atau paragraf yang berulang, mohon maaf sedang dalam proses perbaikan.mohon pengertiannya 🙏🙏

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cancer i, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kenangan Indah

"Lala sekarang aku akan menunjukkan air terjun kristal dan kita bisa berenang bersama Lala"kata Pangeran Firr

"Wah menakjubkan sekali pangeran,aku mau"ucap Lala dengan mata berbinar

Pangeran Firr tersenyum, matanya berbinar seperti buih di air terjun yang akan mereka kunjungi. Ia menggenggam tangan Lala, tangan mungil yang terasa hangat di genggamannya. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dipenuhi dedaunan hijau dan bunga-bunga berwarna-warni. Suara kicau burung dan gemericik air menambah keindahan perjalanan mereka.

Semakin dekat mereka mendekati air terjun, suara gemuruh air semakin terdengar jelas. Akhirnya, mereka sampai di sebuah lembah yang tersembunyi. Di tengah lembah itu, air terjun kristal yang menakjubkan menampakkan diri. Airnya yang jernih mengalir deras dari tebing tinggi, membentuk kolam yang luas di bawahnya. Sinar matahari membiaskan cahaya di air, menciptakan kilauan warna pelangi yang memukau.

"Benar-benar seperti surga tersembunyi," ucap Lala, matanya terbelalak takjub. Ia melepaskan genggaman tangan Pangeran Firr dan berlari kecil ke tepi kolam. Airnya terasa begitu dingin dan menyegarkan saat ia mencelupkan tangannya.

Pangeran Firr menyusul Lala. Ia melepas bajunya dan melompat ke dalam kolam, air yang dingin membuat tubuhnya bergetar sejenak. Lala pun ikut melompat, tawa riang mereka bergema di lembah yang sunyi. Mereka berenang bersama, bermain air, dan menikmati keindahan air terjun kristal yang luar biasa.

Pangeran Firr dan Lala berenang bersama, tawa mereka bergema di lembah yang sunyi. Pangeran Firr, dengan tubuhnya yang atletis, berenang dengan lincah, sesekali menyemprotkan air ke arah Lala. Lala, dengan cekalnya, tertawa terbahak-bahak sambil menghindar, menyemprotkan air kembali ke arah Pangeran Firr. Percikan air yang saling beradu menciptakan suasana ceria dan penuh keceriaan.

Mereka bermain air seperti anak-anak, berlomba-lomba berenang ke seberang kolam, terkadang saling berpegangan tangan, terkadang berlomba untuk melihat siapa yang bisa menyelam paling dalam. Pangeran Firr, dengan sedikit iseng, mengangkat Lala dan memutarnya di dalam air, membuat Lala tertawa lepas dan terkesiap karena terkejut. Lala, tak mau kalah, menarik rambut Pangeran Firr yang basah, membuat Pangeran Firr tertawa geli.

Di sela-sela permainan mereka, mereka beristirahat di tepi kolam, menikmati kesejukan air yang membasahi kulit mereka. Mereka saling bercerita, berbagi rahasia, dan berbagi mimpi-mimpi mereka untuk masa depan. Suasana di sekitar mereka begitu tenang dan damai, hanya suara gemericik air dan kicau burung yang menemani kebersamaan mereka. Air terjun kristal yang indah menjadi saksi bisu akan keceriaan dan kebahagiaan mereka. Mereka menghabiskan waktu berjam-jam bermain air, hingga matahari mulai terbenam dan langit berubah warna menjadi jingga dan ungu. Meskipun tubuh mereka basah kuyup dan lelah, hati mereka dipenuhi dengan kebahagiaan dan kenangan indah yang tak terlupakan.

Hari itu menjadi hari yang tak terlupakan bagi Lala dan Pangeran Firr, sebuah kenangan indah yang akan selalu mereka simpan di hati.

Matahari mulai tenggelam, langit terlukis dengan warna jingga dan ungu yang memukau, menandakan waktu bermain mereka telah berakhir. Lala dan Pangeran Firr, meskipun enggan, akhirnya keluar dari kolam. Tubuh mereka basah kuyup, dingin menusuk kulit, tetapi hati mereka dipenuhi kehangatan dan kenangan indah.

Mereka duduk di tepi kolam, menikmati pemandangan matahari terbenam yang spektakuler. Pangeran Firr mengambil handuk yang telah mereka bawa dan mengeringkan rambut Lala dengan lembut. Lala tersenyum, merasakan sentuhan lembut Pangeran Firr. Suasana di antara mereka begitu tenang dan romantis.

Setelah mengeringkan tubuh mereka, Pangeran Firr membantu Lala mengenakan pakaiannya. Mereka berjalan bergandengan tangan, meninggalkan lembah tersembunyi itu. Sepanjang perjalanan pulang, mereka masih bercerita dan tertawa, mengenang keseruan permainan air mereka.Mereka berjanji akan kembali lagi ke tempat yang menakjubkan ini.

Sesampainya di istana, Pangeran Firr mengantar Lala kembali ke kamarnya. Sebelum berpisah, Pangeran Firr memberikan Lala sebuah bunga lili putih yang ia petik di dekat air terjun. "Sebagai kenang-kenangan hari ini," kata Pangeran Firr sambil tersenyum. Lala menerimanya dengan hati yang penuh rasa syukur. Ia menyimpan bunga lili itu dengan hati-hati, sebagai simbol dari hari yang tak terlupakan bersama Pangeran Firr di air terjun kristal. Senyum masih terukir di wajah mereka berdua, mengingat betapa indahnya hari itu, hari di mana mereka bermain air dan berbagi kebahagiaan di surga tersembunyi mereka.

"Pangeran Firr," kata Lala tiba-tiba, suaranya sedikit terbata-bata. Kenangan akan Mak Dira, nenek satu-satunya yang sangat ia sayangi, menghantui pikirannya. "Aku... aku harus kembali ke kamarku. Aku ingin melihat Mak Dira."

Pangeran Firr mengerutkan kening, wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Ia tahu betapa Lala menyayangi neneknya. "Tentu saja, Lala," jawabnya lembut. "Aku akan mengantarmu."

Mereka berjalan kembali ke tempat Lala terakhir kali berada, suasana hati mereka berubah menjadi lebih khusyuk. Perjalanan yang tadinya dipenuhi tawa dan keceriaan, kini terasa lebih hening. Pangeran Firr menggenggam tangan Lala dengan erat, memberikan dukungan dan kenyamanan.

Sesampainya di kamar Lala, mereka mendapati kamar itu kosong. Hanya aroma bunga melati yang samar-samar tercium di udara. Seketika, rasa cemas dan ketakutan mencengkeram hati Lala. "Mak Dira?" lirih Lala, suaranya bergetar.

Pangeran Firr mencoba menenangkan Lala. "Tenanglah, Lala. Kita akan mencari Mak Dira bersama-sama." Ia memeluk Lala, memberikan kekuatan dan semangat. Mereka berdua kemudian memulai pencarian, mencari Mak Dira di seluruh penjuru rumahnya Lala,dengan harapan dapat menemukan nenek Lala dengan selamat. Kecemasan dan kekhawatiran mengiringi langkah mereka, tetapi tekad mereka untuk menemukan Mak Dira tetap teguh. Petualangan mereka yang tadinya penuh keceriaan kini berubah menjadi sebuah pencarian yang menegangkan.

Lala dan Pangeran Firr menemukan Mak Dira sedang sujud dalam sholat, air matanya membasahi sajadah. Tangisnya bukan tangis sedih biasa, melainkan tangis kelelahan setelah seharian mencari Lala yang hilang. Melihat Mak Dira seperti itu, hati Lala langsung hancur. Ia berlari menghampiri neneknya, memeluk Mak Dira dengan erat.

"Mak Dira..." isaknya, suaranya bercampur haru dan penyesalan. "Maafkan Lala, Lala sudah membuat Mak Dira khawatir."

Mak Dira mengangkat wajahnya, matanya yang sembab menatap Lala dengan penuh kelegaan dan kasih sayang. Ia memeluk Lala lebih erat, mengucapkan syukur karena cucunya telah kembali. Dalam pelukan hangat neneknya, Lala melupakan semua kejadian yang telah dialaminya bersama Pangeran Firr.

Namun, saat Lala tenggelam dalam pelukan Mak Dira, Pangeran Firr menghilang. Seakan-akan ia hanyalah sebuah bayangan, sebuah mimpi yang indah. Satu detik ia masih ada di sana, menyaksikan kebahagiaan Lala dan Mak Dira, detik berikutnya ia telah lenyap tanpa jejak. Lala dan Mak Dira tidak menyadari kepergiannya.

Matahari pagi menyinari wajah Lala yang masih tampak sedikit pucat. Mak Dira, dengan tatapan penuh perhatian, duduk di sampingnya, sebuah cangkir teh hangat di tangannya. "Lala, Nak," mulai Mak Dira, suaranya lembut namun terdengar sedikit khawatir, "kemarin kau menghilang. Nenek sangat khawatir. Ceritakan pada nenek, kemana saja kau pergi?"

Lala menunduk, jari-jarinya memainkan ujung kain bajunya. Kebohongan yang telah ia putuskan untuk diucapkan terasa berat di dadanya. Ia takut jika Mak Dira mengetahui tentang Pangeran Firr, tentang air terjun kristal, dan tentang dunia ajaib yang telah ia kunjungi. Ia takut neneknya tidak akan percaya.

"Mak," mulai Lala, suaranya sedikit gemetar, "kemarin Lala tersesat waktu pulang sekolah. Jalannya begitu ramai, Lala sampai bingung dan tidak tahu harus ke mana." Ia berbohong, menciptakan cerita yang aman untuk diceritakan pada neneknya.

"Lalu?" tanya Mak Dira, tatapannya masih penuh perhatian.

"Untungnya," lanjut Lala, "Lala bertemu dengan orang baik. Dia mengajak Lala bermain. Kami bermain di tempat yang sangat indah, ada sungai yang jernih, banyak bunga-bunga yang cantik. Kami bermain sampai sore hari." Lala menggambarkan tempat itu seindah mungkin, namun tanpa menyebutkan detail-detail yang akan membocorkan rahasia tentang Pangeran Firr.

"Orang baik itu baik sekali, Mak," Lala melanjutkan, suaranya sedikit bergetar menahan air mata. "Dia membuat Lala sangat bahagia. Lala punya banyak kenangan indah tentangnya. Tapi, Lala tidak tahu namanya. Dan... Lala tidak tahu bagaimana cara kembali ke tempat itu lagi." Ia menambahkan detail ini agar ceritanya terdengar lebih meyakinkan. Ia berharap Mak Dira akan percaya padanya, dan tidak akan menanyakan lebih jauh lagi. Kebohongan itu terasa berat, namun Lala merasa itu adalah satu-satunya cara untuk melindungi rahasia ajaibnya.

Mak Dira hanya tersenyum misterius. "Lala, ingatlah selalu keindahan hari ini. Simpanlah kenangan itu dalam hatimu. Kadang-kadang, keindahan hanya datang sesaat, seperti mimpi yang indah."

Lala mengangguk mengerti"Iya Mak ku sayang"kata Lala.

Ia menyadari bahwa pertemuannya dengan Pangeran Firr mungkin hanya sebuah mimpi, atau mungkin lebih dari itu, sebuah keajaiban yang hanya terjadi sekali seumur hidup. Ia menyimpan kenangan indah itu di dalam hatinya, bersama dengan kasih sayang neneknya, Mak Dira. Air terjun kristal, permainan air yang penuh tawa, dan bunga lili putih menjadi kenangan abadi yang akan selalu ia ingat. Ia tahu, meskipun Pangeran Firr telah kembali ke alam asalnya, kesan pertemuan mereka akan selalu terukir di hatinya.

Mak Dira tersenyum, mengusap lembut rambut Lala. Ia tahu Lala sedang menyembunyikan sesuatu, namun ia memutuskan untuk tidak memaksa. "Baiklah, Nak," kata Mak Dira. "Sekarang lebih baik kamu siap-siap untuk berangkat sekolah. Nanti kamu telat."

Lala mengangguk patuh. Ia bangkit dari tempat duduknya, rasa bersalah masih sedikit menghantui hatinya. Ia bergegas ke kamarnya, mengambil seragam sekolah dan buku-bukunya. Di dalam tasnya, ia menyimpan bunga lili putih kering yang telah ia simpan semalaman. Bunga itu menjadi pengingat akan petualangannya yang ajaib, sebuah rahasia yang hanya ia sendiri yang tahu.

Sepanjang perjalanan ke sekolah, Lala terus memikirkan Pangeran Firr. Ia bertanya-tanya apakah Pangeran Firr juga mengingat pertemuan mereka. Apakah Pangeran Firr juga merasakan hal yang sama seperti dirinya? Rasa rindu dan sedikit kesedihan memenuhi hatinya. Namun, ia berusaha untuk tetap fokus pada pelajaran di sekolah.

Di sekolah, Lala berusaha untuk bersikap seperti biasa. Ia bercanda dengan teman-temannya, mendengarkan penjelasan guru, dan mengerjakan tugas-tugasnya. Namun, di balik senyumnya yang ceria, tersimpan sebuah rahasia yang hanya ia sendiri yang tahu. Rahasia tentang Pangeran Firr, tentang air terjun kristal, dan tentang dunia ajaib yang telah ia kunjungi. Rahasia itu menjadi beban sekaligus harta berharga yang akan selalu ia simpan di dalam hatinya. Ia berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu mengingat pelajaran berharga yang telah ia dapatkan dari petualangannya yang tak terlupakan itu. Dan, ia berharap suatu hari nanti, ia akan kembali bertemu dengan Pangeran Firr.

"Eh tau nggak La,Tik semalam tuh gue kaya mimpi sosok cowok misterius yang sama kaya waktu itu.serem banget dah pokoknya,tapi untungnya gue bisa ngusir rasa takut itu dengan berdoa.akhirnya sosok cowok misterius itu menghilang deh dari rumah gue, entah kemana"ucap Riris seraya menceritakan mimpinya tersebut saat berkunjung ke rumah Lala

Lala mendengarkan cerita Riris dengan seksama, rambutnya tergerai menutupi wajahnya, seakan-akan ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu. Tatapan matanya beralih dari Riris ke lantai, kemudian kembali ke wajah Riris, seperti sedang mengamati dan mencerna setiap detail cerita yang Riris sampaikan.Ia teringat akan Pangeran Firr, sosok misterius yang telah menghilang dari hidupnya begitu cepat.

Kisah Riris tentang mimpi sosok cowok misterius itu, mengingatkannya pada pertemuannya dengan Pangeran Firr. Ada kesamaan yang terasa, walaupun detailnya berbeda.

Ketika Riris selesai bercerita, Lala terdiam sejenak. Ia merasakan campuran rasa takut dan penasaran di dalam dirinya. Rasa takut muncul karena ia sendiri pernah mengalami hal serupa, hanya saja dalam bentuk yang lebih nyata. Ia takut jika Riris mengetahui rahasianya, ia akan dianggap gila atau berbohong.

Namun, Lala juga merasakan rasa penasaran yang kuat. Ia ingin tahu apa yang dialami Riris, apakah sosok misterius yang dilihat Riris itu sama dengan Pangeran Firr yang ia temui? Apakah ada hubungan antara mimpi Riris dan pertemuannya dengan Pangeran Firr?

Lala berusaha untuk menyembunyikan rasa takut dan penasarannya. Ia tersenyum tipis kepada Riris, mencoba untuk bersikap biasa. "Serem banget, ya?" kata Lala, suaranya sedikit bergetar. Ia berusaha untuk menjaga agar suaranya terdengar tenang, namun sedikit ketakutan masih terasa dalam suaranya

"Iya, beneran serem banget," jawab Riris, matanya masih tampak sedikit ketakutan. "Untungnya aku langsung berdoa, terus sosok itu langsung hilang. Aku nggak tahu dia siapa, tapi rasanya nggak enak banget."

"Mungkin itu hanya mimpi biasa, Ris," kata Lala mencoba menenangkan Riris. "Kadang-kadang, kita bermimpi hal-hal yang aneh dan menakutkan. Tapi, selama kita berdoa dan selalu meminta perlindungan kepada Tuhan, kita akan selalu aman."

Riris mengangguk, perlahan-lahan rasa takutnya mulai mereda. "Iya, mungkin kamu benar, La. Aku juga mikir gitu. Tapi, tetap aja rasanya aneh banget."

Lala ingin bertanya lebih lanjut tentang mimpi Riris, namun ia takut jika pertanyaan itu akan membuka tabir rahasianya. Ia memutuskan untuk menunda rasa penasarannya, menunggu waktu yang tepat untuk bertanya atau mungkin, menunggu kesempatan untuk menceritakan rahasianya sendiri kepada Riris.Untuk saat ini, ia hanya bisa menyimpan kenangan itu sebagai sebuah misteri yang indah.

Belum selesai Lala mencerna cerita Riris, Tika langsung menyambar, "Gue juga pernah mimpi yang hampir sama, Ris! Dua kali! Sosok cowok misterius yang serem banget, tapi bedanya, dia nggak cuma muncul di rumah, tapi juga di sekolah!" Tika menambahkan detail yang membuat bulu kuduk Lala sedikit merinding.

Lala mendengarkan cerita Tika dengan jantung yang berdebar-debar. Dua temannya mengalami mimpi yang hampir sama, tentang sosok cowok misterius yang menakutkan. Namun, pengalaman Lala sendiri jauh berbeda. Ia bertemu dengan Pangeran Firr, bukan dalam mimpi, melainkan di dunia nyata. Pertemuannya dengan Pangeran Firr adalah sebuah petualangan yang penuh keajaiban, bukan mimpi buruk yang menakutkan.

Perbedaan pengalaman itu membuat Lala merasa semakin aneh. Mengapa hanya ia yang mengalami hal yang berbeda? Apakah pertemuannya dengan Pangeran Firr benar-benar nyata, atau hanya sebuah mimpi yang sangat hidup? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya. Ia merasa seperti ada sebuah misteri yang belum terpecahkan, sebuah teka-teki yang hanya ia sendiri yang tahu jawabannya.

Lala memutuskan untuk tidak menceritakan pengalamannya kepada Tika dan Riris. Ia takut mereka tidak akan percaya, atau bahkan menganggapnya sebagai orang yang aneh. Ia menyimpan rahasianya dalam hati, menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya, jika memang ada waktu yang tepat. Untuk saat ini, ia hanya bisa mengamati dan mendengarkan cerita teman-temannya, mencari petunjuk atau kesamaan yang mungkin dapat menjelaskan perbedaan pengalaman mereka. Ketiga gadis itu sama-sama mengalami hal yang tidak biasa, tapi dengan cara yang sangat berbeda. Misteri itu semakin menarik, dan Lala semakin penasaran untuk mengungkapnya.

Ponsel Lala berdering nyaring, memotong percakapan seru tentang mimpi-mimpi aneh. Nama "Bara" terpampang di layar, membuat Lala menghela napas panjang. Ia sedang asyik mendengarkan cerita Riris dan Tika, dan panggilan dari Bara terasa sangat mengganggu di saat seperti ini. Ia memilih untuk mengabaikan panggilan tersebut, membiarkannya berdering hingga akhirnya mati.

"Ih, siapa sih yang nelpon?" tanya Riris, penasaran.

"Bara," jawab Lala singkat, wajahnya menunjukkan ekspresi malas.

"Kok nggak diangkat? Mungkin dia lagi butuh banget, La," kata Tika, mencoba membujuk Lala.

"Biarin aja," balas Lala, tetap bersikeras. "Nggak penting kok." Ia berusaha untuk mengalihkan pembicaraan, kembali fokus pada cerita mimpi Riris dan Tika. Namun, perhatiannya masih terpecah. Ia penasaran apa yang akan dikatakan Bara, namun ia juga tidak ingin mengalah dan mengangkat teleponnya.

Riris dan Tika mulai menggoda Lala. "Cie... yang lagi pdkt an sama Bara, kok nggak mau angkat teleponnya sih?" ledek Riris.

"Ih, apaan sih, Ris!" Lala membela diri, wajahnya memerah. Ia berusaha untuk terlihat tenang, namun sebenarnya ia merasa sedikit risih dan gugup. Ia tidak ingin terlihat terlalu peduli dengan Bara, namun ia juga tidak bisa sepenuhnya mengabaikan panggilan telepon darinya.

Tika menambahkan, "Mungkin Bara lagi minta maaf, La. Angkat aja, kali aja dia mau traktir kita makan!"

Lala tetap menolak, mengatakan bahwa ia tidak lapar dan lebih tertarik untuk mendengarkan cerita mimpi mereka. Namun, di dalam hatinya, ia merasa sedikit penasaran dan ragu. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya ingin dikatakan Bara, namun ia juga tidak ingin terlihat terlalu lemah dan mudah terpengaruh olehnya. Pergulatan batin itu terjadi di tengah-tengah cerita mimpi yang semakin menegangkan.

Setelah menolak telepon Bara, Lala merasakan campuran emosi yang rumit. Pertama, ada rasa lega karena ia berhasil menghindari percakapan yang mungkin akan mengganggu konsentrasinya mendengarkan cerita Riris dan Tika. Ia merasa lebih nyaman dan fokus pada pembicaraan tentang mimpi-mimpi aneh tersebut, sebuah misteri yang lebih menarik baginya saat itu.

Namun, di balik rasa lega itu, ada sedikit rasa bersalah. Ia tahu bahwa ia seharusnya mengangkat telepon Bara, apalagi jika Bara memang sedang membutuhkan bantuan atau ingin menyampaikan sesuatu yang penting. Ia merasa sedikit tidak sopan dan kurang menghargai Bara dengan menolak panggilan teleponnya.

Selain itu, Lala juga merasakan sedikit rasa penasaran. Ia bertanya-tanya apa yang sebenarnya ingin dikatakan Bara. Apakah ada hal penting yang ingin disampaikan? Apakah Bara marah karena panggilan teleponnya diabaikan? Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar di benaknya, membuatnya sedikit gelisah.

Rasa penasaran itu bercampur dengan sedikit rasa ragu. Lala tidak yakin apakah ia harus menghubungi Bara kembali atau membiarkannya begitu saja. Ia takut jika ia menghubungi Bara, percakapan mereka akan kembali mengganggu konsentrasinya. Namun, ia juga tidak ingin membuat Bara merasa tersinggung atau kecewa.

Singkatnya, Lala merasa sedikit bersalah, penasaran, dan ragu setelah menolak telepon Bara. Ia berusaha untuk mengabaikan perasaan-perasaan itu dan kembali fokus pada cerita Riris dan Tika, namun bayang-bayang panggilan telepon yang terabaikan itu masih sedikit mengganggu pikirannya. Ia berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan ia tidak perlu menyesali keputusannya untuk menolak telepon Bara.

Riris, dengan nada khawatir, mengucapkan, "La, emang nanti Bara nggak marah ya kalau lo tolak teleponnya begitu? Yang ada nanti Bara ilfeel lagi sama lo." Kekhawatiran Riris memang beralasan, mengingat hubungan Lala dan Bara yang terkadang naik-turun.

Lala, dengan sikap cuek yang dibuat-buat, menjawab, "Bodo amat, emang gue pikirin. Jadian aja belum!" Kalimat itu keluar dengan lantang, namun getaran sedikit gugup masih terasa dalam suaranya. Faktanya, Lala dan Bara memang sudah berpacaran, namun Lala masih enggan mengakui hubungan mereka secara terbuka kepada teman-temannya. Ia lebih nyaman menyembunyikan hubungannya dengan Bara, mungkin karena ia masih ragu atau belum siap untuk sepenuhnya menerima Bara sebagai pacarnya.

Tika, yang selama ini diam mengamati, menambahkan, "Eh, tapi seriusan deh, La. Kalo Bara sampe ilfeel beneran, nanti lo nyesel lho. Dia kan baik banget sama lo." Tika mencoba memberikan sudut pandang yang lebih bijak, mengingatkan Lala akan kebaikan Bara.

Lala menghela napas panjang. Ia sebenarnya menyadari bahwa Riris dan Tika benar. Ia khawatir Bara akan marah atau kecewa, namun ia juga tidak ingin terlihat terlalu lemah dan mudah terpengaruh oleh Bara. Ia merasa berada di tengah-tengah persimpangan jalan, terjebak di antara rasa penasaran dan rasa takutnya sendiri. Ia ingin bersikap cuek dan tidak peduli, namun di lubuk hatinya yang terdalam, ia sebenarnya sangat peduli dengan Bara. Perasaan campur aduk itu membuatnya semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa. Percakapan tentang mimpi-mimpi aneh itu pun terhenti sejenak, digantikan oleh keheningan yang dipenuhi oleh keraguan dan kerisauan Lala. Ia harus segera menemukan cara untuk menyelesaikan masalahnya dengan Bara, sebelum semuanya menjadi semakin rumit.

1
♞ ;3
Gak nyesel baca cerita ini, recommended banget!
Cancer04: Jangan lupa mampir setiap hari ya kak🙏🙏
total 1 replies
Emitt Chan
Menegangkan tapi juga romantis, pertahankan kualitasnya!
Cancer04: Thankyou dukungannya, jangan lupa mampir terus ya🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!