"Ada rahasia yang lebih dalam dari kegelapan malam, dan ada kisah yang lebih tua dari waktu itu sendiri."
Jejak Naga Langit adalah kisah tentang pencarian identitas yang dijalin dengan benang-benang mistisisme Tiongkok kuno, di mana batas antara mimpi dan kenyataan menjadi sehalus embun pagi. Sebuah cerita yang mengundang pembaca untuk menyesap setiap detail dengan perlahan, seperti secangkir teh yang kompleks - pahit di awal, manis di akhir, dengan lapisan-lapisan rasa di antaranya yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang cukup sabar untuk menikmatinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HaiiStory, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bisikan Para Pengembara
Dalam momen ketika kedua Cermin beresonansi, waktu seolah memelan hingga nyaris berhenti. Kabut yang berputar di sekeliling mereka membeku dalam spiral yang rumit, seperti ukiran halus di permukaan cangkir keramik Master Song. Para Pengembara yang tadinya bergerak dengan cara yang menyakitkan mata kini melayang diam, wajah mereka yang terus berubah terhenti dalam ekspresi yang sulit dibaca—antara harapan dan ketakutan.
Liu Xian, yang paling dekat dengan Mei, tampak paling solid di antara semua bayangan. Matanya yang terlalu tua untuk wajahnya yang muda kini memancarkan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kesedihan atau kemarahan—sebuah pengertian yang hanya bisa datang dari berabad-abad terjebak di antara detik-detik yang sama.
"Kau melihatnya juga, bukan?" Liu Xian berbisik, dan kali ini, alih-alih suara retakan es, yang keluar adalah suara seorang gadis muda—meski ada gema asing di dalamnya, seperti banyak suara yang berbicara bersamaan. "Dalam teh yang kau seduh, dalam kenangan yang mengambang di permukaannya?"
Mei mengangguk perlahan, masih mempertahankan posisi kedua Cermin. "Apa yang kulihat?"
"Kebenaran di balik kebohongan," Liu Xian menjawab, matanya beralih pada ketiga Penjaga yang masih berdiri diam seperti patung. "Ritual yang mereka lakukan lima ratus tahun lalu... bukan hanya tentang mengikat kekuatan Naga."
Wei An bergerak tiba-tiba, matanya yang retak memancarkan kecemasan. "Liu Xian—"
"Diam!" Liu Xian memotong dengan suara yang membuat retakan di lantai pagoda melebar. "Lima ratus tahun aku menunggu momen ini. Lima ratus tahun aku menyaksikan kebohongan kalian dimainkan berulang kali dalam putaran waktu yang tak berujung."
Madam Lian melangkah maju, wajahnya yang biasanya tenang kini menunjukkan kegelisahan. "Ada hal-hal yang lebih baik tetap tersembunyi, Liu Xian. Kebenaran tidak selalu membebaskan—terkadang ia justru membelenggu lebih kuat."
"Seperti kalian membelenggu kami?" Suara lain bergabung dalam percakapan—seorang Pengembara lain yang tampak seperti cendekiawan tua, meski usianya terus berubah seperti yang lain. "Seperti kalian menggunakan kami sebagai umpan untuk para Naga?"
Mei merasakan getaran aneh dari kedua Cermin di tangannya. "Umpan?"
Master Song, yang sejak tadi diam, kini menghela napas berat. Sisik-sisik di kulitnya berkilau redup, seperti bara yang hampir padam. "Kami tidak pernah bermaksud—"
"Bohong!" Liu Xian memotong lagi. "Kalian tahu persis apa yang kalian lakukan. Kalian tahu bahwa untuk menangkap Naga, kalian membutuhkan jiwa-jiwa yang bisa mereka konsumsi terlebih dahulu."
Dingin yang menusuk tulang kembali merambat di punggung Mei. "Konsumsi?"
"Para Naga," Liu Xian melanjutkan, matanya tak lepas dari para Penjaga, "tidak bisa langsung terikat ke dalam Cermin atau ke dalam tubuh manusia. Mereka membutuhkan... jembatan. Jiwa-jiwa yang bisa mereka gunakan untuk beradaptasi dengan dunia manusia terlebih dahulu."
"Dan kalian memilih kami," cendekiawan tua itu menambahkan. "Orang-orang yang tidak akan dicari, yang tidak akan ditanyakan keberadaannya. Anak-anak yatim piatu, pelarian, orang-orang yang sudah kehilangan semua harapan..."
"Yang dengan mudah percaya pada janji-janji manis tentang kekuatan dan keabadian," Liu Xian menyelesaikan dengan nada pahit.
Mei menatap para Penjaga, mencari tanda bantahan atau setidaknya penyesalan di wajah mereka. Tapi yang dia temukan hanyalah ekspresi keras yang sulit dibaca—seperti topeng yang terlalu lama dipakai hingga melekat permanen.
"Benarkah itu?" Mei bertanya, suaranya bergetar. "Kalian menggunakan mereka sebagai... umpan?"
Wei An yang pertama kali bicara, matanya yang retak kini memantulkan bayangan-bayangan yang berbeda di setiap pecahan—seolah masing-masing menyimpan versi berbeda dari kebenaran. "Kami melakukan apa yang harus dilakukan. Para Naga... mereka terlalu berbahaya untuk dibiarkan bebas. Terlalu kuat untuk ditangkap dengan cara biasa."
"Tapi mereka adalah manusia!" Mei memprotes.
"Dan kami adalah Penjaga," Madam Lian menjawab dengan nada final. "Tugaskami adalah menjaga keseimbangan dunia, apapun harganya."
"Bahkan jika harganya adalah jiwa-jiwa tak berdosa?" Liu Xian tertawa pahit. "Bahkan jika harganya adalah lima ratus tahun terjebak dalam waktu yang membeku?"
Master Song mengangkat tangannya, dan untuk pertama kalinya, Mei melihat bahwa sisik-sisik di kulitnya bukan hanya hiasan—mereka bergerak seperti makhluk hidup, berkilau dengan cahaya yang sama seperti di mata para Naga dalam lukisan. "Kami membuat kesalahan," dia mengakui. "Tapi niat kami—"
"Niat kalian tidak penting lagi," Liu Xian memotong. Dia berpaling pada Mei. "Yang penting sekarang adalah apa yang akan kau lakukan dengan kekuatan yang kau miliki."
Mei merasakan kedua Cermin di tangannya bergetar lebih kuat, resonansi di antara keduanya menciptakan nada yang semakin tinggi—seperti dengung lebah yang marah. Retakan-retakan di lantai dan dinding pagoda mulai memancarkan cahaya yang lebih terang, dan di luar kabut yang membeku, dia bisa mendengar suara-suara asing—seperti deru napas makhluk raksasa yang mulai terbangun.
"Para Naga," Master Song berbisik. "Mereka merasakan celah waktu yang mulai terbuka."
"Bagus," Liu Xian tersenyum, dan untuk sesaat, senyumnya tampak terlalu lebar untuk wajah manusia. "Biarkan mereka bangun. Biarkan mereka membalas dendam pada mereka yang telah mengurung mereka selama berabad-abad."
"Kau tidak mengerti," Wei An menggeleng, kecemasannya kini jelas terlihat. "Jika para Naga bebas, dunia yang kau kenal akan—"
"Dunia yang kukenal?" Liu Xian mendengus. "Dunia yang kukenal sudah mati lima ratus tahun yang lalu, bersamaan dengan tubuh asliku yang kalian korbankan dalam ritual kalian."
Mei merasakan perubahan dalam aliran energi dari kedua Cermin. Getaran mereka kini berirama dengan detak jantungnya sendiri, dan dalam pantulan mereka, dia bisa melihat sesuatu yang berbeda—bukan lagi versi-versi dirinya dari berbagai waktu, tapi sosok-sosok besar yang bergerak dalam kegelapan, sisik mereka berkilau seperti bintang yang sekarat.
"Ada yang tidak beres," dia bergumam, lebih kepada dirinya sendiri. Tapi Liu Xian mendengarnya.
"Tentu saja ada yang tidak beres," gadis itu berkata, suaranya kini mengandung nada asing yang semakin kuat. "Seluruh eksistensi ini tidak beres. Waktu yang membeku, jiwa-jiwa yang terjebak, kekuatan yang disegel dalam kebohongan..." Dia mengulurkan tangannya yang transparan ke arah Cermin Kedua. "Tapi kau bisa memperbaiki semuanya. Kau bisa membebaskan kami."
"Jangan!" Madam Lian berteriak, untuk pertama kalinya kehilangan keanggunan yang selalu dia jaga. "Mei, kau harus mendengarkan kami. Ada alasan kenapa—"
"Kenapa apa?" Liu Xian memotong. "Kenapa kalian mengurung kami? Kenapa kalian berbohong? Kenapa kalian membiarkan kami menderita selama berabad-abad?" Dia berpaling pada Mei lagi. "Atau mungkin kau ingin tahu kenapa mereka begitu tertarik padamu sejak awal?"
Mei merasakan jantungnya berhenti sejenak. "Apa maksudmu?"
"Tidakkah kau merasa aneh?" Liu Xian melanjutkan. "Bagaimana Madam Lian selalu ada untuk memberimu pekerjaan tepat saat kau membutuhkannya? Bagaimana Wei An selalu muncul dengan gulungan-gulungan yang berisi petunjuk yang kau perlukan? Bagaimana Master Song selalu punya vas dengan ukiran yang menuntunmu ke langkah berikutnya?"
"Kami melakukannya untuk melindunginya," Wei An membantah, tapi ada keraguan dalam suaranya.
"Melindungi?" Liu Xian tertawa, dan kali ini tawanya bergema dengan suara-suara lain—suara yang tidak manusiawi. "Atau mempersiapkan? Seperti kalian 'mempersiapkan' kami lima ratus tahun yang lalu?"
Lantai pagoda bergetar lebih keras, dan dari retakan-retakan cahaya, kabut keperakan mulai berubah warna—menjadi hitam pekat seperti tinta, dengan kilatan-kilatan emas yang menari di dalamnya seperti sisik Naga.
"Waktu kita hampir habis," Master Song berkata, nadanya mendesak. "Mei, kau harus membuat keputusan sekarang. Tapi kau harus tahu bahwa—"
"Bahwa apa?" Liu Xian memotong lagi. "Bahwa mereka telah merencanakan ini sejak kau lahir? Bahwa tanda di pergelangan tanganmu bukan takdir atau kebetulan, tapi hasil dari ritual yang mereka lakukan saat kau masih dalam kandungan?"
Mei hampir menjatuhkan kedua Cermin. "Apa?"
"Liu Xian, cukup!" Madam Lian berteriak, tapi suaranya tenggelam dalam gemuruh yang semakin keras dari luar kabut.
"Tidak," Liu Xian menggeleng, senyum lebarnya kini menampakkan gigi yang terlalu tajam untuk manusia. "Sudah waktunya dia tahu kebenaran. Sudah waktunya semua tahu bahwa para Penjaga yang agung tidak lebih dari pembohong dan pengkhianat yang akan mengorbankan siapapun—bahkan bayi yang belum lahir—demi tujuan mereka."
Mei merasakan dunia di sekelilingnya berputar. Kenangan-kenangan berkelebat dalam benaknya: Madam Lian yang selalu ada di setiap titik balik hidupnya, Wei An yang muncul dengan petunjuk-petunjuk yang terlalu tepat waktu, Master Song yang ukiran naganya selalu mengingatkan Mei pada tanda di pergelangan tangannya sendiri...
"Kalian..." dia menatap para Penjaga dengan mata yang mulai berkaca-kaca, "kalian merencanakan semua ini? Sejak sebelum aku lahir?"
"Mei," Wei An melangkah maju, tangannya terulur. "Kami bisa menjelaskan—"
"BOHONG!" Liu Xian berteriak, dan kali ini, suaranya adalah raungan Naga. Sosoknya berkedip, dan untuk sepersekian detik, Mei melihat sesuatu yang lain di balik bayangan gadis muda itu—sesuatu yang bersisik dan berkeriap, dengan mata yang berkilau seperti api abadi.
Kedua Cermin di tangan Mei beresonansi lebih kuat, getaran mereka kini menciptakan melodi yang terdengar seperti nyanyian kuno dalam bahasa yang telah lama dilupakan. Retakan-retakan cahaya di pagoda mulai merambat ke langit-langit, dan di luar kabut yang semakin gelap, suara-suara para Naga semakin jelas terdengar.
Mei Zhang berdiri di tengah semuanya, dengan dua Cermin di tangannya dan ribuan tahun sejarah yang berputar di sekelilingnya. Di hadapannya, kebenaran dan kebohongan berbaur seperti teh dan air, menciptakan rasa yang terlalu kompleks untuk diuraikan.
Dan sementara dunia di sekitarnya mulai runtuh dalam retakan cahaya dan bayangan, dia menyadari satu hal dengan pasti, tidak semua pilihan adalah antara benar dan salah. Terkadang, pilihan tersulit adalah antara dua kebenaran yang sama-sama menyakitkan.