NovelToon NovelToon
Cahaya Terakhir Senja

Cahaya Terakhir Senja

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Playboy / Bad Boy / Idola sekolah
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Allamanda Cathartica

Berawal dari hujan yang hadir membalut kisah cinta mereka. Tiga orang remaja yang mulai mencari apa arti cinta bagi mereka. Takdir terus mempertemukan mereka. Dari pertemuan tidak disengaja sampai menempati sekolah yang sama.

Aletta diam-diam menyimpan rasa cintanya untuk Alfariel. Namun, tanpa Aletta sadari Abyan telah mengutarakan perasaannya lewat hal-hal konyol yang tidak pernah Aletta pahami. Di sisi lain, Alfariel sama sekali tidak peduli dengan apa itu cinta. Alfariel dan Abyan selalu mengisi masa putih abu-abu Aletta dengan canda maupun tangis. Kebahagiaan Aletta terasa lengkap dengan kehadiran keduanya. Sayangnya, kisah mereka harus berakhir saat senja tiba.

#A Series

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Allamanda Cathartica, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 22: Peringatan Tanpa Nama

Pagi itu suasana sekolah tampak seperti hari-hari biasanya, ramai dengan aktivitas siswa dan hiruk-pikuk obrolan. Namun, bagi geng Black Secret, hari itu bukan sekadar pagi yang biasa. Hari ini menandai awal dari sebuah operasi besar yang telah mereka rencanakan dengan matang. Mereka telah sepakat menjalankan tugas yang telah dibagi.

Gibran dan Zidan berjalan santai menuju ruang guru. Zidan membawa amplop kecil berisi proposal kegiatan ekskul tari. Dia mengetuk pintu ruang guru sebelum masuk dengan senyuman penuh percaya diri. Terlihat beberapa guru sedang sibuk mempersiapkan segala kebutuhan untuk memulai jam pertama pelajaran.

"Selamat pagi, Pak, Bu. Bu Tya ada?" tanya Gibran sambil melirik sekeliling, mencari sosok pembina ekskul tari.

Salah satu guru mengangguk. "Bu Tya lagi di ruang administrasi. Kamu ada perlu apa, Gibran?"

"Oh, cuma mau nitip ini," jawabnya sambil menyerahkan amplop ke salah satu guru. "Saya disuruh ngecek apakah proposal ini sudah disetujui."

Ketika Gibran menyerahkan amplop itu, Zidan pura-pura memeriksa dinding papan informasi yang terpasang di ruang guru. Sesekali dia mengalihkan pandangannya ke meja Bu Tya yang penuh dengan dokumen penting. Di sana, matanya menangkap sebuah catatan kecil yang mencantumkan nama-nama anggota ekskul tari, termasuk Difa.

Setelah mereka keluar dari ruang guru, Zidan dan Gibran berjalan perlahan di koridor sekolah. Gibran memiringkan kepalanya, menatap Zidan dengan penuh rasa ingin tahu. Wajahnya menunjukkan kegelisahan seperti ingin mengetahui apa yang sebenarnya Zidan lihat di dalam ruang guru tadi.

“Lo ngelihat apa tadi? Kok lo jadi diem gitu?” tanya Gibran.

Zidan menyipitkan matanya, memastikan mereka cukup jauh dari ruang guru sebelum menjawab. “Di meja Bu Tya ada catatan kecil. Ada daftar nama anggota ekskul tari, termasuk Difa. Gue yakin itu bisa jadi petunjuk.”

Gibran mengangguk. “Oke, kita catat itu nanti. Lo beneran enggak ngambil apa pun, kan?”

“Enggak, Bro,” jawab Zidan sambil tersenyum kecil. “Kita cuma mantau, inget?”

Mereka berdua memutuskan menuju kantin untuk bertemu Abyan dan Alfariel yang sedang duduk di meja paling belakang. Abyan duduk santai. Tidak terlihat ada yang mencurigakan darinya. Namun, matanya terus mengawasi sekeliling, terutama anggota ekskul tari yang sedang berkumpul di salah satu meja.

Saat Zidan dan Gibran mendekat, Abyan menutup bukunya. “Lama banget. Lo dapet apa?” tanyanya pelan.

Zidan menjawab sambil duduk. “Di ruang guru tadi, gue lihat ada daftar nama anggota ekskul tari di meja Bu Tya. Ada yang aneh di situ.”

“Aneh gimana?” Abyan menaikkan alis.

“Nama Difa ditulis pakai tinta merah. Gue enggak tahu maksudnya apa, tapi itu jelas mencurigakan.” Zidan menjelaskan sambil melirik anggota ekskul tari yang masih tertawa-tawa di meja lain.

Abyan mengangguk kecil. “Gue juga dapet sesuatu. Tadi gue denger Mita dan beberapa temennya ngomong soal Difa. Nada mereka sinis banget. Gue yakin mereka ngomongin soal kejadian sebelum Difa berhenti dateng ke ekskul.”

“Lo inget apa yang mereka bilang?” tanya Gibran yang mencondongkan tubuhnya.

“Enggak banyak, cuma sepotong. Tapi Mita bilang, ‘Udah bener dia keluar. Enggak ada tempat buat orang lemah kayak dia di sini.’ Lo ngerti maksudnya, kan?” Abyan menatap serius.

Zidan mengangguk. “Itu cukup buat buktiin mereka memang ada niat buat bikin Difa tertekan. Tapi kita masih butuh bukti lebih banyak.”

Saat mereka sedang berdiskusi, Fariz datang tergesa-gesa ke arah mereka. Dia langsung duduk tanpa banyak bicara. Wajahnya menunjukkan campuran antara rasa bingung dan cemas.

“Lo kenapa?” tanya Gibran.

Fariz menghela napas panjang. “Kemarin gue ngobrol sama Difa. Dia akhirnya cerita kalau dia pernah diancam sama Mita. Katanya, kalau dia lapor ke guru soal apa yang terjadi di ekskul, dia bakal lebih di-bully lagi di depan semua anggota ekskul.”

“Serius?” Zidan menatap Fariz dengan mata membelalak.

Fariz mengangguk. “Iya. Dia bilang itu yang bikin dia takut ngomong sama siapa pun, bahkan sama Bu Tya.”

Alfariel mengetuk meja pelan dengan ujung jarinya. “Oke, jadi kita punya dua petunjuk besar. Pertama, Mita emang sering ngejek Difa, bahkan ngancem dia. Kedua, Bu Tya kayaknya tahu sesuatu tapi enggak mau ambil tindakan.”

Zidan menatap mereka satu per satu. “Langkah kita selanjutnya apa? Kita udah punya arah, tapi belum cukup bukti buat ngelaporin ini ke kepala sekolah atau siapa pun.”

Fariz menyandarkan punggungnya ke kursi, berpikir sejenak. “Gimana kalau kita coba bikin Mita ngomong langsung? Kayak yang Alfariel bilang, bikin dia panik.”

Abyan mengangkat bahu. “Bisa sih. Tapi caranya gimana?”

Alfariel tiba-tiba menyeringai. “Gue punya ide. Kita kasih dia peringatan kecil. Kita tulis pesan anonim dan taruh di loker dia, bikin dia merasa diawasi.”

Zidan terkekeh. “Ide bagus. Kalau dia panik, dia pasti bakal ngomong sesuatu sama temen-temennya. Kita ada kesempatan buat dapet info lebih.”

Fariz menepuk meja. “Oke, gue setuju. Tapi kita pastiin enggak ada yang tahu kalau ini kerjaan kita.”

“Setuju,” jawab Abyan sambil tersenyum tipis. “Kita bikin pesan itu sekarang dan taruh di loker Mita nanti waktu istirahat pertama.”

Mereka semua mengangguk, merasa optimis dengan rencana baru ini.

***

Istirahat pertama, di sudut koridor sekolah.

Lorong sekolah kembali ramai dengan siswa yang berlalu-lalang. Geng Black Secret sudah bersiap sejak beberapa menit sebelum bel istirahat berbunyi. Zidan menggenggam amplop kecil berisi pesan anonim yang telah mereka siapkan bersama. Dia menunggu momen yang tepat untuk bergerak.

“Lo yakin ini aman?” tanya Abyan pelan sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding, tampak santai meskipun matanya terus mengawasi situasi.

“Selama kita enggak kelihatan, enggak ada yang bakal curiga,” jawab Alfariel dengan tenang. “Zidan, ini momen lo.”

Zidan mengangguk dan berjalan ke arah loker Mita. Dia bergerak cepat dan hati-hati, memastikan tidak ada yang memperhatikan. Dengan satu gerakan mulus, dia menyelipkan amplop itu ke dalam celah loker Mita. Setelah selesai, dia kembali ke tempat geng Black Secret yang sedang menunggu di sudut koridor sekolah.

“Beres,” kata Zidan sambil tersenyum kecil.

“Bagus,” sahut Gibran. “Sekarang kita tunggu reaksinya.”

Beberapa menit kemudian.

Mita datang bersama Dinda. Mereka tertawa kecil sambil berbincang, tampak santai seperti biasa. Mita membuka lokernya dan amplop cokelat itu jatuh ke lantai.

“Apa tuh?” tanya Dinda sambil menunjuk amplop itu.

Mita membungkuk untuk mengambilnya. Alisnya berkerut melihat amplop tanpa nama pengirim. Dia membukanya perlahan dan membaca isi pesan di dalamnya:

Kami tahu apa yang terjadi. Berhenti sekarang atau semuanya akan terbongkar.

Wajah Mita seketika berubah pucat. Dinda mencoba melihat isi amplop itu.

“Apa itu, Mit?” tanya Dinda bingung melihat perubahan ekspresi temannya.

Mita memperlihatkan isi pesan itu kepada Dinda, sehingga membuat Dinda terkejut setelah membacanya. Mereka saling bertukar pandang, penuh kecurigaan dan ketegangan.

Dari kejauhan, geng Black Secret memperhatikan semuanya.

“Lihat tuh,” kata Abyan sambil menyenggol Alfariel. “Dia jelas panik.”

Alfariel mengangguk kecil. “Ini baru awal. Kita lihat dia bakal ngelakuin apa selanjutnya.”

“Mereka lagi ngomongin sesuatu,” bisik Zidan.

Gibran mengangguk, memperhatikan bagaimana Dinda tampak melirik Mita dengan ekspresi cemas.

“Dia pasti cerita soal surat itu,” kata Gibran pelan.

“Lo pikir kita bisa dengar apa yang mereka bicarain?” tanya Fariz.

“Susah kalau dari sini. Kita harus cari cara lain,” ucap Abyan.

Gibran memutar otak lalu melihat pintu auditorium yang sedikit terbuka. “Gue punya ide. Lo pura-pura lewat depan mereka, bikin mereka pindah tempat. Gue bakal nyelinap ke auditorium buat mantau dari situ.”

Abyan menyeringai. “Pinter juga lo. Oke, gue siap.”

Abyan berjalan santai ke arah Mita dan Dinda. Dia berpura-pura menjatuhkan buku lalu membungkuk untuk mengambilnya tepat di depan mereka.

“Eh, sorry ganggu,” kata Abyan dengan senyum canggung.

Mita menatapnya tajam, tetapi Abyan sudah berjalan menjauh sebelum dia sempat berkata apa-apa.

Seperti yang diperkirakan, Mita mengajak teman-temannya pindah tempat ke area yang lebih sepi, tidak jauh dari auditorium. Abyan yang sudah masuk ke dalam auditorium, mendekati jendela kecil di pintu dan menguping percakapan mereka.

“Gue enggak ngerti siapa yang ngirim surat itu,” kata Mira. Suaranya terdengar jelas dari tempat Abyan berdiri. “Tapi ini jelas orang yang tahu soal Difa.”

“Lo yakin ini bukan kerjaan dia?” tanya Dinda. “Mungkin dia mau balas dendam?”

“Mana mungkin. Anak itu enggak punya nyali,” balas Mita tajam. “Gue yakin ini orang lain. Tapi siapa?”

“Lo pikir ini guru?” tanya Dinda dengan nada takut.

“Enggak mungkin. Kalau guru tahu, mereka langsung bertindak. Ini pasti siswa,” jawab Mita. “Kita harus hati-hati. Kalau ini bocor, nama kita bisa hancur.”

Abyan menahan napas. Percakapan itu menguatkan kecurigaannya bahwa Mita memang punya andil besar dalam masalah yang dihadapi Difa.

***

Sore harinya, di base camp geng Black Secret.

Geng Black Secret berkumpul untuk mengevaluasi hasil langkah mereka.

“Mita panik banget tadi,” kata Abyan membuka diskusi. “Gue yakin dia bakal ngerespons. Pertanyaannya, gimana kita bisa tahu apa yang dia lakuin?”

“Gue udah mikirin itu,” jawab Alfariel sambil menatap serius ke arah teman-temannya. “Kita harus terus ngawasin dia. Besok, Zidan dan Gibran bakal gantian mantau Mita, terutama waktu dia ngobrol sama Dinda.”

“Apa enggak terlalu mencolok kalau kita terus mantau dia?” tanya Gibran.

“Enggak kalau lo hati-hati,” balas Alfariel. “Fariz, lo lanjut ngobrol sama Difa. Siapa tahu dia ingat detail lain yang bisa kita gunakan.”

Fariz mengangguk. “Siap. Gue bakal coba bikin dia lebih terbuka soal yang terjadi.”

“Bagus,” kata Alfariel. “Abyan, lo bantu gue nyari info soal Bu Tya. Gue curiga dia sebenarnya tahu lebih banyak dari yang dia tunjukkan.”

Abyan menyipitkan matanya. “Gimana kalau dia malah bagian dari masalah ini?”

“Itu kemungkinan yang harus kita pertimbangkan,” jawab Alfariel dengan nada serius. “Tapi untuk sekarang, fokus kita adalah Mita. Kalau kita bisa bikin dia ngomong atau bikin kesalahan, kita bisa dapat bukti yang cukup buat melangkah ke tahap berikutnya.”

Mereka semua mengangguk setuju. Meski mereka sadar risiko semakin besar, tekad mereka untuk membantu Difa tidak goyah.

“Baik,” kata Alfariel akhirnya. “Kita tahu tugas masing-masing. Sampai besok.”

Mereka meninggalkan gudang satu per satu, membawa harapan bahwa kebenaran akan segera terungkap.

***

Bersambung .....

1
Oryza
/Speechless/
Hindia
nah kan bener ada backingannya
Hindia
pantes aja ya ternyata dia punya backingan
Hindia
sok sok an banget
Hindia
parah banget mita
Hindia
sumpah bu tya ini sangat mencurigakan
Hindia
lah berarti selama ini alfariel ngode gak sihh kalau emang ekskul tari itu ada sesuatu
Hindia
Alurnya ringan, sejauh ini bagusss
Hindia
Walahhh alfariel mah denial mulu kerjaannya
Hindia
Gass terus abyan
Hindia
Tumben banget nih si Fariz agak bener otaknya
Gisala Rina
🤣🤣
Gisala Rina
udah lupa ajah nih anak 🤣🤣
Gisala Rina
mungkin ada alasan yang bikin papa lu ga bicara jujur.
Gisala Rina
jangan gitu. begitu juga itu papa lu alfariel 🤬
Gisala Rina
mang eak mang eak mang eak sipaling manusia tampan 1 sekolah 😭
Gisala Rina
cowok bisa ngambek juga yaa ternyata hahaha
Gisala Rina
Kwkwkwkwk kalian kok lucu
Gea nila
mending kamu fokus ajah alfariel. emang sih bakal susah. tapi ya gimana lagi 😭
Gea nila
wkkwkwk sabar ya nasib jadi tampan ya gitu
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!