Demi menjaga kehormatan keluarga, Chandra terpaksa mengambil keputusan yang tidak pernah terbayangkan: menikahi Shabiya, wanita yang seharusnya dijodohkan dengan kakaknya, Awan.
Perjodohan ini terpaksa batal setelah Awan ketahuan berselingkuh dengan Erika, kekasih Chandra sendiri, dan menghamili wanita itu.
Kehancuran hati Chandra membuatnya menerima pernikahan dengan Shabiya, meski awalnya ia tidak memiliki perasaan apapun padanya.
Namun, perlahan-lahan, di balik keheningan dan ketenangan Shabiya, Chandra menemukan pesona yang berbeda. Shabiya bukan hanya wanita cantik, tetapi juga mandiri dan tenang, kualitas yang membuat Chandra semakin jatuh cinta.
Saat perasaan itu tumbuh, Chandra berubah—ia menjadi pria yang protektif dan posesif, bertekad untuk tidak kehilangan wanita yang kini menguasai hatinya.
Namun, di antara cinta yang mulai bersemi, bayang-bayang masa lalu masih menghantui. Bisakah Chandra benar-benar melindungi cintanya kali ini, atau akankah luka-luka lama kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kyurincho, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ciuman yang Mengubah Permainan
Malam tiba dengan udara dingin yang menyapu langit kota. Di balik jendela besar yang membentang di aula gedung mewah itu, kota terlihat berkilau dengan lampu-lampu gedung pencakar langit. Di dalam, suasana sangat berbeda—pesta pribadi penuh kilauan dan tawa menyelimuti setiap sudut ruangan. Di antara gemerlap lampu gantung dan meja-meja yang dihiasi kristal, para tamu bersantai dengan gelas anggur, terlibat dalam percakapan yang akrab.
Suara gelas anggur beradu, tawa ringan, dan musik jazz yang lembut mengalun di udara. Pesta itu memang lebih intim, dihadiri pasangan muda yang memancarkan energi penuh gairah dan kebebasan.
Chandra berdiri di dekat bar, dengan segelas whisky di tangannya, sementara tangan lainnya berada di punggung Shabiya. Penampilannya tak bercela, mengenakan setelan hitam dengan kemeja yang dibuka sedikit di bagian leher. Shabiya di sisinya mengenakan gaun panjang satin berwarna emerald yang memeluk tubuhnya dengan sempurna, memberikan aura dingin namun elegan. Keduanya tampak seperti pasangan sempurna yang tak tergoyahkan. Namun, di balik senyuman Chandra, ada badai kecil yang terus bergejolak.
Matanya sesekali melirik ke arah sekelompok pasangan muda yang berkumpul di tengah ruangan, tertawa dan mengobrol. Di antara mereka, Awan dan Erika. Mereka tampak seperti pasangan sempurna di mata siapa pun yang tidak tahu cerita di balik layar—Awan tampak percaya diri dengan senyum lebarnya, dan Erika, terlihat anggun di sisinya. Mereka saling bercanda, berbisik, tertawa, dan tidak melewatkan satu kesempatan pun untuk pamer kemesraan. Awan bahkan membungkukkan tubuhnya ke arah Erika, mencium pelipisnya, membuat beberapa tamu tersenyum iri.
Erika tampak menonjol dengan gaun merah mencolok yang terlalu berani untuk acara santai seperti ini. Senyumnya lebar, tapi matanya selalu tertuju pada Chandra, mencari-cari celah untuk menyulut api di antara mereka. Di sampingnya, Awan terlihat santai, tapi ada ketegangan samar di rahangnya setiap kali matanya bertemu dengan tatapan dingin Chandra.
Chandra mencengkeram gelasnya lebih erat. Pemandangan itu seperti menyaksikan luka lama yang terbuka kembali, berdarah tanpa henti. Sakitnya masih ada, meski ia sudah berusaha keras menutupinya dengan lapisan sikap dingin dan ketenangan. Erika adalah masa lalunya yang berantakan, tapi tetap saja, melihat mereka berdua bersama membuat dadanya terasa sesak. Di dalam hatinya, ada pergolakan emosi yang tak bisa ia redam—kekecewaan, kemarahan, dan rasa dikhianati yang terus membara.
Namun, Chandra bukan pria yang mudah memperlihatkan kelemahannya. Ia sudah melalui terlalu banyak hal untuk membiarkan Awan dan Erika mendapatkan kemenangan lain dengan memperlihatkan betapa terganggunya ia. Ia harus melakukan sesuatu. Tapi malam ini, ia bertekad untuk membalik keadaan.
“Ada apa?” bisik Shabiya, cukup pelan sehingga hanya Chandra yang bisa mendengarnya.
Chandra tersenyum kecil, senyum yang sarat dengan arti. “Kita harus menunjukkan sesuatu pada mereka,” jawabnya dengan nada penuh arti, sambil melirik sekilas ke arah Awan dan Erika yang masih pamer kemesraan. “Jangan biarkan mereka berpikir mereka menang.”
Sebelum Shabiya sempat merespons, Chandra menunduk dan tanpa ragu mencium lembut dahi istrinya. Sentuhan itu singkat tapi penuh makna. Di sekitar mereka, obrolan perlahan terhenti, beberapa tamu mulai memperhatikan. Shabiya sedikit tersentak oleh gerakan tiba-tiba itu, tapi ia tidak menolak. Justru, ia mengikuti permainan Chandra dengan anggun. Meski ia tidak benar-benar mengerti semua detail di balik ini, ia tahu bahwa mereka sedang memainkan peran di depan dunia—dan kali ini, ia akan ikut serta.
Chandra meraih pinggang Shabiya, menariknya lebih dekat. Matanya tertuju pada wajah Shabiya, tetapi pikirannya berfokus pada Awan dan Erika, yang kini menoleh, memperhatikan dengan mata yang sedikit terpicing. Wajah Erika jelas menampakkan keterkejutan, bahkan sedikit ketidaknyamanan melihat Chandra bersikap begitu mesra pada istrinya. Senyum Awan juga mulai memudar, dan ekspresi percaya diri yang biasa menghiasi wajahnya berubah menjadi kebingungan.
“Bagaimana?” bisik Chandra dengan nada hampir nakal di telinga Shabiya. “Apakah mereka memperhatikan?”
Shabiya tersenyum kecil, matanya menari dengan kilatan canda yang tersembunyi. “Ya, mereka sangat memperhatikan.”
Chandra menahan tawa kecil yang hampir keluar. Ada kepuasan aneh yang dirasakannya melihat wajah Erika memucat, seolah tidak pernah menyangka Chandra bisa bertindak begitu di depannya. Ciuman itu, meski kecil, adalah pernyataan yang jelas—bahwa hidup Chandra tidak lagi dikendalikan oleh kenangan buruk dari masa lalu. Meski hati Chandra masih dirundung amarah dan rasa kecewa, malam ini ia menunjukkan bahwa ia bukan korban.
Shabiya, yang biasanya tenang dan penuh kontrol, mulai merasakan ada dinamika yang berbeda di antara mereka. Sentuhan tangan Chandra di pinggangnya terasa lebih nyata daripada sebelumnya, dan meskipun mereka sedang berpura-pura, ada sesuatu yang tak bisa diabaikan. Untuk sesaat, ia membiarkan dirinya terbawa oleh suasana, melupakan bahwa ini hanyalah permainan.
“Chandra,” Erika memulai, berjalan mendekat dengan gelas anggur di tangannya diikuti dengan Awan yang menyusul di belakangnya. Langkahnya penuh percaya diri, seperti seseorang yang tahu bahwa kehadirannya bisa menciptakan keributan kecil. “Pestanya luar biasa. Kau benar-benar tahu bagaimana membuat semua orang terkesan.”
Chandra hanya melirik sekilas ke arahnya, lalu mengangguk tipis. “Tentu saja,” jawabnya datar, tanpa sedikit pun nada yang mengundang percakapan lebih lanjut. Tapi Erika tidak menyerah.
“Shabiya, kau terlihat luar biasa malam ini.” lanjut Erika, pandangannya bergeser ke arah Shabiya, yang masih berdiri dengan tenang di samping Chandra.
Shabiya tersenyum kecil, tapi ada kekuatan dalam senyuman itu. “Terima kasih,” jawabnya singkat. Matanya menatap langsung ke Erika, seperti pisau tajam yang menusuk tanpa perlu banyak kata.
“Oh, jangan salah paham,” Erika melanjutkan, nadanya manis tapi penuh racun. “Aku hanya penasaran. Chandra dan aku… kami punya sejarah panjang. Aku tahu betul siapa dia. Jadi, aku hanya ingin tahu… apa kau merasa yakin bahwa cintanya padamu adalah sesuatu yang nyata? Maksudku, dia punya kebiasaan menyembunyikan apa yang sebenarnya dia rasakan.”
Shabiya merasakan kemarahan kecil muncul, tapi ia tetap tenang. Sebelum ia bisa menjawab, Chandra bergerak. Ia memutar tubuh, membiarkan wajahnya hanya beberapa inci dari Erika. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi matanya dingin seperti es.
“Erika,” Chandra berkata dengan suara rendah yang cukup untuk membuat Erika terdiam. “Aku tahu kau selalu suka mencoba merusak malam orang lain. Tapi mari kita luruskan sesuatu.” Ia berbalik sedikit ke arah Shabiya, lalu kembali menatap Erika. “Shabiya adalah istriku. Aku menikahinya, dan aku tidak menyesalinya. Kau, di sisi lain, adalah bagian dari masa lalu. Masa lalu yang tidak lagi penting bagiku.”
Erika tertawa kecil, meskipun jelas ada rasa sakit di balik tawanya. “Oh, Chandra, kau bisa berbicara seolah kau benar-benar bahagia. Tapi aku tahu bagaimana dirimu. Kau tidak bisa membohongiku.”
“Kau benar,” jawab Chandra dengan nada tajam. “Kau mengenal siapa aku di masa lalu. Tapi yang ada di hadapanmu sekarang adalah pria yang telah belajar untuk memilih dengan bijak. Dan aku memilih Shabiya.”
“Erika, sudahlah,” Awan mendesis pelan, jelas tak ingin memperpanjang keributan. Namun, Erika melambai santai ke arahnya, menolak permintaannya.
“Tidak, Awan,” Erika terus berbicara, nada suaranya semakin sinis. “Aku hanya ingin memastikan. Karena sejujurnya, aku tidak yakin Chandra sudah melupakan perasaannya padaku. Dan aku juga tidak yakin bahwa dia benar-benar mencintai Shabiya.” Matanya berpaling ke arah Shabiya dengan senyum tipis yang penuh ejekan. “Apa kau yakin, Shabiya? Bahwa suamimu ini bukan hanya berakting?”
Kata-kata Erika menusuk seperti belati, dan untuk sesaat, Shabiya merasa seolah jantungnya berhenti berdetak. Meskipun mereka tahu pernikahan ini tidak dimulai dari cinta, sindiran itu terlalu kejam. Namun sebelum Shabiya sempat menjawab, Chandra mengambil langkah maju, menghadapi Erika dengan tatapan dingin yang membuat wanita itu terdiam sesaat.
“Aku tahu kau senang bermain dengan kata-kata, Erika,” Chandra mulai berbicara dengan nada yang tenang, namun ada kekuatan di balik kata-katanya. “Tapi malam ini, aku tidak akan membiarkanmu menang. Aku sudah melepaskan perasaan itu, dan kau bukan bagian dari hidupku lagi.”
Erika tertawa kecil, meskipun tawa itu terdengar lebih kaku daripada sebelumnya. “Oh? Kau benar-benar ingin aku percaya itu? Chandra, aku mengenalmu lebih dari siapa pun.”
Chandra tersenyum tipis, tapi senyum itu penuh dengan rasa puas yang tersembunyi. Ia merasakan gelombang ide muncul di kepalanya. "Kalau begitu, biar aku tunjukkan sesuatu yang akan membuatmu yakin."
Tanpa peringatan, Chandra berbalik ke arah Shabiya. Tanpa ragu, ia menangkup wajah istrinya dengan kedua tangan, menariknya lebih dekat hingga wajah mereka hanya terpisah oleh napas. Shabiya, yang terkejut dengan gerakan tiba-tiba itu, hanya bisa menatap Chandra dengan mata membesar. Namun, sebelum ia bisa bereaksi lebih jauh, Chandra menundukkan kepalanya dan mencium bibirnya—ciuman yang dalam, penuh perasaan, dan tanpa keraguan.
Shabiya sempat membeku, tidak menyangka tindakan ini akan datang begitu cepat dan begitu terbuka. Tapi perlahan, ia mulai membalas ciuman itu. Suara gemuruh tamu di sekitar mereka tampak memudar, seolah hanya ada mereka berdua di tengah ruangan itu. Ciuman itu terasa seperti pernyataan, bukan hanya untuk Erika, tapi untuk dunia. Bahwa mereka adalah pasangan, terlepas dari bagaimana pernikahan ini dimulai.
Erika berdiri mematung, wajahnya yang semula percaya diri berubah menjadi kaku. Matanya membelalak, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi di depannya. Awan, yang berdiri di sebelahnya, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Diam-diam, ia menggeser tubuhnya sedikit menjauh dari Erika, merasa suasana semakin tidak nyaman.
Chandra perlahan melepaskan ciumannya, namun masih menatap Shabiya dengan intens. Di balik semua sandiwara ini, ia mulai merasakan sesuatu yang baru—sebuah kehangatan yang perlahan tumbuh dari dalam dirinya. Shabiya, yang biasanya tampak tenang dan tidak terlibat dalam konflik, kini menunjukkan sisi dirinya yang berbeda. Mungkin, pikir Chandra, ini bukan hanya permainan belaka. Mungkin, ada sesuatu yang lebih di antara mereka, meski ia belum sepenuhnya menyadarinya.
Chandra kemudian menoleh kembali ke Erika, yang kini tampak terdiam. "Masih belum yakin?" tanyanya dengan nada datar, meski ada sedikit kelegaan di matanya.
Erika tak bisa berkata-kata. Senyum tipis di bibirnya pudar, digantikan oleh ekspresi penuh kebingungan dan rasa kalah. Ia ingin membalas, tapi tak ada kata-kata yang keluar. Sementara itu, Awan hanya menatap dengan pandangan kosong, tidak tahu bagaimana harus menanggapi situasi yang tak terduga ini.
“Kau tahu, Erika,” lanjut Chandra dengan nada lebih tenang. “Ada hal-hal yang sudah lewat dan tidak bisa kembali. Kau mungkin tidak percaya bahwa aku bisa melupakanmu, tapi kenyataannya adalah… aku sudah mulai menerima kenyataan baru dalam hidupku. Dan Shabiya adalah bagian dari kenyataan itu. Jadi, jika kau masih ingin bermain dengan masa lalu, silakan. Tapi aku… sudah berada di masa depan.”
Erika menelan ludah, jelas merasa dirinya kalah dalam konfrontasi ini. Rasa malu merayapi wajahnya, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa tidak ada lagi yang bisa ia katakan. Di belakangnya, Awan hanya diam, merasa percuma untuk menambah bahan bakar pada api yang sudah hampir padam.
Erika berdiri terpaku, wajahnya kehilangan warna, sementara Awan berusaha menghindari tatapan semua orang. Dengan ketenangan yang baru ditemukan, Chandra berbalik kembali ke Erika, memberikan senyum kemenangan yang kecil namun menusuk.
“Kau lihat, Erika,” katanya. “Tidak perlu ada keraguan lagi.”
Erika, yang tidak tahu harus berkata apa, akhirnya hanya mengangguk dan mundur. Awan mengikutinya tanpa suara, meninggalkan pasangan itu di tengah ruangan yang kini terasa lebih hangat.
Namun, di tengah kehangatan itu, Shabiya merasa ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka. Ciuman itu terasa nyata, tapi apakah itu benar-benar untuknya, atau hanya untuk membungkam Erika?
***