Zeona Ancala berusaha membebaskan Kakaknya dari jeratan dunia hina. Sekuat tenaga dia melakukan segala cara, namun tidak semudah membalikan telapak tangan.
Karena si pemilik tempat bordir bukanlah wanita sembarangan. Dia punya bekingan yang kuat. Yang akhirnya membuat Zeona putus asa.
Di tengah rasa putus asanya, Zeona tak sengaja bertemu dengan CEO kaya raya dan punya kekuasaan yang tidak disangka.
"Saya bersedia membantumu membebaskan Kakakmu dari rumah bordir milik Miss Helena, tapi bantuan saya tidaklah gratis, Zeona Ancala. Ada harga yang harus kamu bayar," ujar Anjelo Raizel Holand seraya melemparkan smirk pada Zeona.
Zeona menelan ludah kasar, " M-maksud T-Tuan ... Saya harus membayarnya?"
"No!" Anjelo menggelengkan kepalanya. "Saya tidak butuh uang kamu!" Anjelo merunduk. Mensejajarkan kepalanya tepat di telinga Zeona.
Seketika tubuh Zeona menegang, mendengar apa yang dibisikan Anjelo kepadanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 26
Sepanjang melakukan penyatuan, Zeona terus saja memikirkan tentang perkataan Anjelo tadi.
"Alden mencintaimu, Zeona ..."
Wanita yang kini sedang berada di bawah naungan Anjelo itu terus membatin lirih. "Maafkan aku Al. Semoga kamu segera melupakanku. Karena aku tidak pantas untukmu!"
"Zeona ..." Suara berat Anjelo berkumandang.
"Ahh .. i-ya T-tuan?"
"Kenapa kamu diam saja? Keluarkan suara merdumu!" titah Anjelo sembari merunduk dan menggigit puncak gunung. Mengakibatkan suara syahdu Zeona pun lolos. "Good girl." Anjelo menyeringai. Melanjutkan kembali kegiatannya, memompa tv bvh Zeona.
*****
Eric tertegun di ruangannya. Tadinya selepas makan siang, ia ingin menjenguk Zalina. Tapi sayangnya, dia tidak tahu pasti di kamar berapa dan bangsal perawatan mana Zalina dirawat. Yang ia tahu hanya rumah sakitnya saja.
"Ah, seharusnya malam itu, aku menanyakan kepada Zeona, di kamar berapa Zalina dirawat," monolog Eric penuh sesal.
Dia mendesah. Mengambil ponsel untuk melihat notifikasi. Takut jika Anjelo menghubunginya. Tapi ternyata tidak ada panggilan ataupun pesan sama sekali.
"Tuan Anjel pergi ke mana ya?" Eric bertanya pada dirinya sendiri. "Sudah hampir jam dua dan beliau belum kembali ke kantor," lanjutnya agak sedikit cemas.
"Apa ak--" Saat akan bermonolog lagi, ponsel canggihnya berdering. Jadilah Eric tak melanjutkan ucapannya. "Bu Vivian?" Sedikit terbelalak Eric melihat istri dari Tuannya menelepon.
Menempelkan ponsel ke telinga lalu menarik napas dan membuangnya secara perlahan.
[Eric!] Suara nyaring Vivian menyapa gendang telinga Eric.
[Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?]
[Suami saya ke mana? Kenapa nomornya tidak bisa dihubungi? Apakah dia ada di ruangannya?]
Eric memijit batang hidungnya. Agak pusing dia harus menjawab apa. Takut salah menjawab dan akibatnya pasti akan runyam. Secara dia tahu tabiat Vivian yang arogan dan suka marah-marah.
[Eric!] Laungan Vivian terdengar lagi.
[Ah ya, Bu. Bapak sedang tidak ada di kantor. Tadi beliau pergi ke luar untuk menemui klien. Mungkin ponselnya lowbat, Bu.] Eric menggigit ujung lidahnya karena takut Vivian tidak percaya.
[Kalau dia sedang keluar, kenapa kamu tidak ikut pergi bersamanya?]
Inilah yang Eric takutkan. Vivian selalu saja bertanya kritis. [Saya tidak ikut bersama Bapak, karena banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan, Bu.]
[Hm, yasudah. Nanti kalau suami saya sudah kembali, tolong katakan padanya untuk menghubungi saya!]
[Baik Bu.] Legalah hati Eric karena Vivian langsung mematikan sambungan teleponnya.
"Tuan Anjelo pergi ke mana ya, sampai ponselnya tidak diaktifkan?" Dalam monolog itu, secercah ingatan terbit. "Ah, pastinya beliau sedang bersama Zeona." Eric menggelengkan kepala. "Pusing juga ya jika punya dua istri!" Dia terkekeh pelan. Kemudian kembali melanjutkan pekerjaannya.
Anjelo sendiri baru selesai memadu kasih dengan Zeona. Dia baru selesai membersihkan diri. Keluar dari kamar mandi, disusul oleh Zeona yang mengenakan bathrobe sewarna dengan yang dipakai Anjelo. Biru tua.
"Zeona, kapan kakakmu keluar dari rumah sakit?"
Zeona yang sedang memakai pakaian dalam menoleh pada Anjelo. "Besok, Tuan. Tapi kakak harus berobat jalan." Zeona menjawab apa adanya. Lalu kembali melanjutkan aktivitasnya, memakai baju dan juga celana.
"Hm, berarti malam ini, kamu tidak akan bisa menginap di sini?"
"Tidak bisa, T-tuan. Maaf?" Zeona menundukkan kepala.
"Hm, padahal saya ingin menghabiskan malam bersamamu!" Wajah Anjelo ditekuk dan itu membuat Zeona menjadi tak enak hati.
Teringat akan kesepakatan bahwa dirinya harus selalu siap siaga jika Anjelo membutuhkan dirinya.
"Maaf Tuan?" Zeona mundur ke belakang karena Anjelo mendadak menghimpit tubuhnya.
"Tapi keinginan saya ini tidak bisa ditolak Zeona Ancala. Malam nanti, kamu harus tetap menemani saya di sini," ujar Anjelo penuh penekanan dan pemaksaan.
Sontak saja hal itu mengundang protes dari Zeona. "Tapi Tuan, bagaimana dengan kakak saya? Dia sen--" Gerakan Anjelo sangat cepat. Dia menutup bibir Zeona dengan tangannya.
"Saya akan menyuruh Eric untuk menemaninya!" Tak ada lagi alasan untuk menolak. Zeona hanya bisa menganggukkan kepala. Setidaknya kecemasannya bisa tersamarkan karena ada Eric yang akan menemani kakaknya.
"Baiklah Tuan. Tapi saya harus pergi ke club dulu untuk memberikan surat pengunduran diri saya."
"Its okay! Saya akan mengantarmu." Anjelo menarik diri menjauh dari tubuh Zeona. Dia berbalik memakai pakaiannya.
Mereka berdua keluar dari kamar. Anjelo pergi duluan dari apartemen, barulah setelah sepuluh menit berlalu, Zeona menyusul pergi.
Berdiri di pinggir jalan sembari mengutak-atik hape untuk memesan ojol. Fokus mata Zeona tertuju pada layar hape.
Suara klakson mobil mengalihkan fokusnya dari menatap layar hape ke arah mobil sport berwarna merah menyala yang mulai menepi mendekatinya. Zeona agak mundur ke belakang. Keningnya mengernyit karena mobil tersebut benar-benar berhenti di sampingnya.
Kaca mobil terbuka dan menyembullah kepala seorang lelaki berbaju hitam. "Zeo!"
Mengangalah Zeona. Dia hampir saja terkena serangan jantung. "Alden." Seketika perkataan Anjelo bermunculan lagi.
"Alden mencintaimu, Zeona ..."
Rasa gugup menghampiri Zeona. Wajahnya mendadak panas. Diam membatu dengan melempar senyum kaku.
Sejurus kemudian, Alden keluar dari dalam mobil. Menghampiri Zeona. "Kamu ngapain di sini?"
Menenggak saliva sebanyak dua kali guna menyembunyikan kegugupannya. "Ak-akuu ... aku habis nyari kerja, Al." Zeona menjawab sesuai apa yang melintas di dalam otaknya yang mendadak buntu. Untung saja Anjelo sudah tidak ada. Kalau mereka masih bersama, pasti Alden akan curiga.
"Ooh nyari kerja. Terus gimana, dapet nggak?" Alden bertanya dengan antusias. Dirinya sudah berdiri di samping Zeona.
"Nggak. Lowongannya udah ada yang ngisi." Zeona pura-pura memasang wajah sedih. Padahal dalam hatinya deg-degan karena takut ketahuan berkata bohong.
"Hm, udah jauh-jauh datang ke sini, tapi hasilnya zonk. Zeona! Zeona, kasihan banget sih kamu!" Tanpa diduga, Alden mencubit hidung lancip Zeona. Membuat gadis itu menahan napasnya. "Daripada nyari kerja nggak dapet yang cocok, mending kamu jadi pacar aku aja!" Cengiran lucu tergambar di wajah tampan Michael Alden Prawira.
Jika Zeona belum mengetahui perasaan Alden yang sebenarnya, mungkin dia akan biasa saja. Tapi sekarang beda cerita. Suasana berubah menjadi sedikit canggung dan itu hanya berlaku untuk Zeona, tidak untuk Alden. Karena lelaki berkaos hitam itu sedang cengengesan sambil memainkan rambut panjang Zeona yang diikat bagai ekor kuda.
"Emang kamu suka gitu sama aku?" Seketika gerakan tangan Alden berhenti. Pemuda itu menjauhkan tangannya dari rambut Zeona. Kegugupan terpampang jelas di wajahnya. Ditandai dengan wajah memerah sampai ke telinga.
"Ah Zeo, kayaknya gerimis deh! Yuk masuk ke dalam mobil! Aku antar kamu pulang." Zeona menipiskan bibir. Dia tahu jika Alden mengalihkan pembicaraan.
Dalam hatinya Zeona mengulum senyum. Ternyata Alden tidak punya nyali untuk mengatakan perasaannya. Zeona tak ingin ambil pusing, dia juga sama sekali tidak berminat untuk menjalin hubungan lebih jauh dengan Alden. Karena dirinya sudah menjadi milik Anjelo untuk selamanya. Dan itu mutlak. Begitulah yang Anjelo katakan.
Dia pun masuk ke dalam mobil Alden sebab lelaki itu terus memaksanya.
Dari kejauhan, ada sepasang mata yang memperhatikan kejadian itu. "Kamu mengabaikan perintahku, Zeona. Oleh karena itu, aku akan menghukummu!" Smirk mengerikan muncul menghiasi bibir merah delimanya.
Makasih udah baca😊