DASAR MANDUL!
6 tahun sudah, Hanabi Lyxia harus mendengarkan kalimat tak menyenangkan itu dikarenakan ia belum bisa memberikan keturunan.
Kalimat sumbang sudah menjadi makanannya sehari-hari. Meskipun begitu, Hana merasa beruntung karena ia memiliki suami yang selalu dapat menenangkan hatinya. Setia, lembut bertutur kata dan siap membela saat ia di bully mertuanya.
Namun, siapa sangka? Ombak besar tiba-tiba menerjang biduk rumah tangga nya. Membuat Hana harus melewati seluruh tekanan dengan air mata.
Hana berusaha bangkit untuk mengembalikan harga dirinya yang kerap dikatai mandul.
Dapatkah wanita itu membuktikan bahwa ia bukanlah seorang wanita mandul?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dae_Hwa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ATM20
"Lo ngeliatin apaan sih, Han? Cekakak cekikik sendirian." Tatapan Monica menyelidik.
Hana menoleh, menatap Monica yang duduk di samping nya.
"Nih, lo liat aja sendiri." Hana menyodorkan ponselnya.
Monica menyambar ponsel yang disodorkan Hana, bola mata indah itu mulai fokus.
"Ini ibu mertua lo kan, Han?"
Hana mengangguk, membenarkan.
"Sama siapa ini namanya? Dinar ya? Kakak ipar lo kan?" tanya Monica lagi.
Hana kembali mengangguk.
"Mau ngapain mereka?" kening Monica berkerut dalam.
Hana mengedikkan kedua bahu, sembari menggelengkan kepalanya.
"Gue gak tau apa tujuan mereka datang ke rumah jam segini, yang pasti ... mereka ngincer gue. Karena mereka tau, Mas Damar dan Tuti lagi pada kerja," jelas Hana.
"Lo mau pulang sekarang?" tanya Monica.
Sekali lagi, Hana menggeleng. "Ntar aja, biarin dulu mereka pada karatan nunggu di teras panas-panasan begini."
"Dzholim lo?" Monica terkekeh.
"Tujuan mereka juga udah pasti mau dzholimin gue, Cuyyyy!"
Monica kembali terkekeh, sembari sesekali menatap lekat wajah sahabatnya.
"By the way, lo sakit ya bestoy? Pucat amat muka lo," Monica menelisik dengan tatapan.
Pertanyaan sang sahabat membuat Hana tersentak. "Keliatan ya?"
Monica membenarkan posisi duduknya. "Banget, rada pucat. But, ketutupan make-up sih."
"Dari semalam kondisi gue kurang fit emang, Mon. Asam lambung gue kumat kayaknya nih. Mual banget perut gue, gak selera makan juga," keluh Hana.
"Udah ke dokter?" Monica tampak khawatir.
Hana menggeleng lemah. "Liat besok deh, kalau belum mendingan, gue pergi berobat."
Manik coklat terang milik Monica tampak tak puas dan kembali menelisik. "Emmh, Han, lo udah dateng bulan kan?"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di lokasi syuting, Damar merenung seorang diri. Hari ini ia habis-habisan di maki oleh sutradara, karena banyak melakukan kesalahan dalam berakting. Padahal peran Damar sangat lah mudah, hanya menjadi seorang waiters yang mengantar gelas ke meja pengunjung restoran.
Alfin, kekasih Mayang yang merupakan salah satu kru produksi, menatap Damar dari kejauhan. Menimbang-nimbang, haruskah ia mendekat. Pria ber-kemeja bunga-bunga itu akhirnya memilih menghampiri.
"Sendirian aja, Kang Damar? Belum pulang? Kan sudah selesai," sapa Alfin ramah.
Damar berjingkat kaget. "Eh, Alfin. Belum ini ... paling bentar lagi, ngadem dulu."
Pria hitam manis itu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kang Damar, ada masalah? Hari ini seperti nya kurang fokus."
Pertanyaan Alfin membuat bibir Damar tersenyum hambar. Helaan nafas pria itu terdengar berat.
"Saya lagi pusing ini, Fin," ujar Damar.
"Pusing kenapa, Kang?" Alfin kembali bertanya. "Mbak Hana? Atau Tuti?"
Bola mata hitam pekat milik Damar terbelalak, ia lekas membekap mulut Alfin.
"Ssst! Jangan kenceng-kenceng ngomongnya, Fin. Di sini gak ada yang tau kalau saya dan Tuti menikah."
Alfin menyengir bagai kuda. "Maaf keceplosan, Kang! -- Jadi, yang mana satu, Kang?"
Damar mengedarkan bola matanya, memastikan sekeliling nya aman.
"Hana, Fin. -- Saya sedih aja, akhir-akhir ini sikapnya makin dingin. Dari sejak saya nikah lagi, saya belum dapat jatah sampai sekarang."
"Kan ada Tuti, Kang," celetuk Alfin.
"Ya emang, tapi, tetap aja saya berkecil hati. Apalagi sekarang sikapnya makin liar. Kalau marah, selalu berkata kasar, dikit-dikit ngomong pisah," curhat Damar.
Alfin mendengarkan cuitan Damar dengan saksama, bibir tebal nya mengerucut, lalu menatap Damar.
"Menurut Kang Damar, sikap Mbak Hana seperti itu wajar atau aneh?"
Damar menggigit ujung bibirnya, menggaruk-garuk kepala yang tak gatal.
"Wajar sih, kalau mengingat semua pengkhianatan yang saya lakukan, Fin."
Telapak tangan Alfin mengusap pelan punggung Damar.
"Kang, wanita itu mahluk yang selalu memikirkan sesuatu menggunakan hati ketimbang logika. Kalau wanita udah berani menantang di saat marah, bahkan berani berkata kasar hingga tak takut akan perpisahan? Coba Akang tanyakan, seberapa besar rasa sakit hati yang ia pendam? Sampai-sampai ia sanggup mengesampingkan hati dan memilih menggunakan logika."
Suram menghiasi wajah Damar. Kalimat yang Alfin ucapkan sangat tak mengenakkan di indera pendengaran nya. Namun, ia tak mampu menyangkal, semua yang dikatakan Alfin terdengar masuk akal.
Bibir Damar menghela nafas panjang, entah sudah yang ke berapa kali.
Sementara itu, di teras sebuah rumah minimalis. Jumiah dan Dinar nyaris menggelepar bagai ikan yang keluar dari air. Dua jam mereka menunggu Hana pulang.
Sudah puluhan kali juga mereka meneror Hana melalui panggilan telepon, serta SMS dan chat yang berisi caci maki. Namun, lagi-lagi, mereka harus dongkol sendiri. Hana sedikitpun tidak merespon.
"Jeng Jumi! Ngapain di situ?!" Teriak Yuli, tetangga di sebrang rumah Hana, dari teras rumahnya.
Jumiah tersentak saat mendengar suara cempreng Yuli berteriak.
"Nungguin Si Mandul pulang, Jeng Yuli!" Jumiah balas berteriak.
Bertepatan dengan jawaban Jumiah, beberapa tetangga serentak keluar dari rumah. Mereka menghampiri Jumiah dan Dinar yang nyaris mati kehausan, salah satu dari mereka membawa sebotol minuman.
"Di minum dulu, Bu Jum." Mpok Yati menyodorkan sebotol air mineral dingin pada Jumiah yang sudah megap-megap.
Ibu mertua Hana lekas menyambar minuman dingin tersebut dan langsung meneguknya, lalu bergantian dengan Dinar.
Selagi Dinar meneguk minuman yang nyaris kandas, Mpok Yati menatap keduanya dengan heran.
'Padahal ada warung di sebrang rumah, tahan banget sampai megap-megap begitu? Apa nggak punya duit ya?' batin Mpok Yati.
"Makasih ya, Mpok, minumannya. Saya dan Dinar bisa mati kehausan kalau nungguin Si Mandul pulang." Jumiah menyeka bulir-bulir keringat di keningnya.
"Hiii, kenapa gak beli di warung saya aja sih, Jeng Jumi. Jalan berapa meter aja padahal dari sini," tanya Nola, salah satu pemilik warung di sekitaran rumah Hana.
"Beli? Rugi dong saya, Jeng Nola. Di dalam rumah ini ada air minum, kenapa saya harus repot-repot merogoh uang untuk membeli air?" Jumiah terkekeh.
Namun, tidak dengan beberapa tetangga yang mengerumuni ibu dan anak itu. Mereka saling pandang dengan mimik julid.
"Eh, omon omon, ada apa nih? Tumbenan datang jam segini, biasanya pagi?" tanya Nola penasaran.
"Iya, udah lama juga Jeng Jumi kagak kemari. Dua mingguan ada kayaknya deh," timpal Yuli.
"Masih sakit hati saya mah sama Si Mandul, makanya gak datang-datang kemari," jawab Jumiah. "Ini saya kemari, mau ngasih pelajaran sama si Mandulita itu."
Para tetangga kembali beradu pandang.
"Hiiii, saya mah juga masih sakit hati sama menantu Jeng Jumi satu itu. Kemarin, kita dilabrak sama Si Mandul itu, ya kan bu ibuuu?" Mpok Yati meminta pembenaran dari yang lain.
"Iya bener tuh, jahat banget mulutnya!" Nola hareudang mengingat peristiwa kala itu.
Jumiah dan Dinar saling beradu pandang.
"Bu ibu tenang aja, hari ini Ibu saya akan memberikan pelajaran untuk si mandul sombong itu!"
Tepat setelah Dinar mengucapkan kalimat itu, sebuah mobil sport hijau tua terparkir di luar pagar rumah Hana.
Leher Dinar dan Jumiah memanjang, pun para tetangga. Mereka semua kepo, siapa yang ada di dalam mobil mewah tersebut.
Kedua pintu mobil terbuka, Hana dan Monica turun, melangkah dengan anggun.
Semua yang menyaksikan, membelalakkan bola mata, menatap iri.
"Yang tidak berkepentingan, silahkan angkat kaki dari rumah ini." Bola mata hazel milik Hana menatap sengit pada para tetangga.
Tatapan sengit Hana kemudian beralih pada Ibu mertua dan kakak iparnya. "Ayo kita bicara di dalam, akan aku ladeni kalian berdua."
Hana melangkah anggun, ekspresi nya datar dan dingin, membuat Jumiah dan Dinar yang mengekor di belakangnya mendadak merinding.
Tubuh Hana lekas bersandar pada sebuah sofa berbahan beludru dengan meja sofa di depannya.
"To the point saja, ada apa kalian kemari?" tanya Hana.
"Ada apa kemari? Memangnya gak boleh aku datang ke rumah ku sendiri?" sinis Jumiah.
"Tau nih, heran deh. Kami itu rindu sama Damar, apa salahnya kami berkunjung kemari?" sinis Dinar.
"Salahnya, kalian sudah tau jam segini Mas Damar tidak ada di rumah. Jadi, gak usah bertele-tele, karna aku tau bukan Damar tujuan kalian kemari," kata Hana tajam.
Jumiah mendengus kesal, pun Dinar. Mereka berdua menatap Hana dengan sorot mata tajam.
"Kamu itu bisa sopan sedikit gak sih sama ibuku, Hana? Gak tau sopan banget!" ketus Dinar.
"Situ sopan, saya segan," jawab Hana tenang.
"Kamu itu bener-bener gak tau diri ya, Han? Sudah numpang tinggal di tanah orang, masih juga belagu!" sindir Dinar.
"Oh, aku mengerti sekarang. Tujuan kalian kemari ingin mengusik aku tentang perkara tanah rupanya. Bukannya sudah jelas? Sertifikat rumah ini atas nama ku?" Hana tersenyum sinis.
"Tapi sertifikat tanah ini masih atas nama ku! Kamu itu numpang di atas tanah ku! Paham kamu?! Kalau kamu sebegitu ingin jadi tuan rumah, kamu harus bayar lunas tanah yang kau tempati ini!" serang Jumiah.
Hana tertawa terbahak-bahak, suaranya sangat nyaring.
'Ah, sumpah, aku muak!'
"Kenapa kamu tertawa? Kamu gak mau bayar tanah ini? Kalau kamu gak mau bayar, silahkan kamu angkat kaki dari rumah ini! Aku tak sudi lahan ku di pakai untuk menampung wanita mandul tak berguna seperti mu! Sudah tak bisa memberikan aku cucu, belagu pula!" hina Jumiah.
Hana menghela nafas panjang mendengar hinaan yang dilontarkan sang mertua, wanita itu terlihat sedang menekan emosinya.
"Baik, hari ini juga, aku akan angkat kaki dari rumah ini." Hana lekas berdiri, berjalan beberapa langkah.
"Mau ke mana kamu?!" Jumiah ikut berdiri dan mengekor di belakang Hana.
"Mengemas barang-barang ku, anda mau membantu, Bu Jumiah?" Sinis Hana membuat Jumiah berhenti melangkah.
Wanita baya itu kembali duduk di sofa, tepat di samping Dinar. Mereka berdua kini saling tatap.
"Dinar, gimana ini? Dia mau pergi, gak dapat uang dong kita," bisik Jumiah di telinga sang anak.
"Biarin aja bu, setidaknya tempat ini jadi milik kita seutuhnya. Nanti, ambil paksa aja sertifikat rumah ini." Dinar balas berbisik.
Senyuman licik tersungging di bibir Jumiah dan Dinar.
Sementara itu, di kamar, Hana langsung merogoh ponsel di saku celananya. Wanita berparas cantik itu menggulir benda pipih tersebut, guna mencari kontak David.
Hana lekas melakukan panggilan telepon.
"Dav, can you help me?" tanya Hana begitu panggilan terhubung.
Hana menjelaskan tujuan ia menelfon dan lekas memutuskan panggilan.
Hanabi lekas mengemas barang-barang pribadi miliknya. Wanita itu meneliti di setiap ruangan, brankas pun tak terlewatkan.
Satu jam setelah selesai berkemas, wanita cantik itu menyeret beberapa kopernya secara bergantian, membawanya keluar rumah.
Monica juga begitu sigap membantu sahabatnya, wanita itu membantu membawa koper Hana, masuk ke dalam mobilnya.
Sedangkan Jumiah dan Dinar, mereka kini sudah duduk di kursi teras. Tertawa penuh kemenangan.
"Makanya, jangan belagu jadi orang, diusir kan?" Dinar tergelak, pun tetangga-tetangga yang menyaksikan.
"Sekarang, mana sertifikat rumah ini? Berikan pada ku!" pinta Jumiah tanpa tau malu.
Hana tertawa gemas. "Ah, kalian berdua ini benar-benar serakah. Padahal tadi aku sempat merasa bersalah karena akan melakukan tindakan di luar nurul. Namun, melihat ketamakan kalian berdua, aku sadar bahwa tindakanku sudah benar."
Jumiah dan Dinar mengernyit heran.
"Maksudmu apa?! Mau apa kamu, Hah?!" tanya Jumiah curiga.
Baru saja Jumiah bertanya, tanah tiba-tiba saja terasa bergetar. Seolah sesuatu yang besar datang mendekat.
"A-apa ini? Gempa?" Jumiah berpegangan di tangan Dinar.
Ibu dan anak itu saling berpegangan erat. Sedangkan para tetangga yang sejak tadi berkerumun di besi pagar rumah Hana, kini lari tunggang langgang.
Jumiah dan Dinar menganga lebar, bola mata mereka nyaris lompat keluar. Pun dengan Monica, ia terperangah saat melihat sebuah excavator besar terparkir di depan rumah Hana.
"OMAYGAAAAT!" Bola mata Monica nyaris lepas saat melihat David dan Gavriil lah yang ada di dalam excavator tersebut.
"HANAAAA! SINI ...!" teriak David.
Hana mengangguk, lalu menoleh pada mertua dan iparnya.
"Menyingkir lah kalian dari sini, kalau tidak mau mati." Peringat Hana, sembari memadamkan MCB. Listrik pun segera padam.
"Hey, Mandul! Apa maksud dari semua ini? Kau ingin menghancurkan rumah ku, Hah? Jangan main-main kau ya?!" Jumiah gusar.
Hana tak peduli, ia memilih abai dan lekas melangkah, mendekati David dan Gavriil. Monica pun lekas menyingkir.
"Kok kalian bisa bawa excavator? Mana mamang nya?" tanya Hana heran.
"Lo lupa? Dulu gue sempat kerja di PT sebagai operator excavator?" David tersenyum bangga.
"Ah, iya juga!" Hana menepuk jidatnya.
"Jadi gimana nih? Lanjut?" tanya Gavriil.
Hana memalingkan wajah, menatap sendu rumah yang selama ini sudah menjadi tempat untuk ia berteduh, kini akan di hancurkan. Namun, mengingat seluruh rasa sakit yang ia dapat, ia sudah bertekad.
Hana menoleh, menatap Gavriil dan David.
"HANCURKAN!"
*
*
*
Anyeong guys! Selamat membaca!
Oh ya, FYI, aksi Hana menghancurkan rumah, Author terinspirasi dengan salah satu aksi wanita kuat yang ada di kota Padang.
Sempat viral banget kemarin itu, kalian pada tau gak? Hebat banget mbaknya 👏🏼👏🏼👏🏼
Semoga di bab 20 ini, cukup memuaskan kalian ya 🥰
Jangan lupa klik permintaan updatenya, tinggalkan jejak like dan komentar 🥰
Buat yang ingin mendukung author, kalian bisa memberikan gift, vote, dan rating bintang lima ya ⭐⭐⭐⭐⭐
Oh ya, besok Author libur sehari ya 🥰 tetap setia pantengin karya ini ya 🤩🤩🤩🤩