Andai hanya KDRT dan sederet teror yang Mendung dapatkan setelah menolak rencana pernikahan Andika sang suami dan Yanti sang bos, Mendung masih bisa terima. Mendung bahkan tak segan menikahkan keduanya, asal Pelangi—putri semata wayang Mendung, tak diusik.
Masalahnya, tak lama setelah mengamuk Yanti karena tak terima Mendung disakiti, Pelangi justru dijebloskan ke penjara oleh Yanti atas persetujuan Andika. Padahal, selama enam tahun terakhir ketika Andika mengalami stroke, hanya Mendung dan Pelangi yang sudi mengurus sekaligus membiayai. Fatalnya, ketidakadilan yang harus ia dan bundanya dapatkan, membuat Pelangi menjadi ODGJ.
Ketika mati nyaris menjadi pilihan Mendung, Salman—selaku pria dari masa lalunya yang kini sangat sukses, datang. Selain membantu, Salman yang memperlakukan Mendung layaknya ratu, juga mengajak Mendung melanjutkan kisah mereka yang sempat kandas di masa lalu, meski kini mereka sama-sama lansia.
Masalahnya, Salman masih memiliki istri bahkan anak...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bukan Emak-Emak Biasa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Lima
“Andai aku tahu bahwa kamu tak lebih dari pria sampah, Nak Riky. Dari awal, aku tak akan pernah mengizinkanmu ada dalam hidup Pelangi putriku!” Sumpah serapah tak hentinya Mendung lakukan jauh di dalam hatinya.
Air mata Mendung sudah kering. Sebab sang putri selaku harta paling berharga dalam hidupnya, justru berakhir dipenjarakan. Ketika kondisi sudah seperti sekarang, pada siapa ia harus meminta bantuan, sedangkan sang suami turut andil dalam memenjarakan sang putri?
“Kuat, Ndung ... kuat! Pelangi butuh kamu! Jangan mati apalagi gila. Lakukan sebisamu!” Dalam hatinya, Mendung terus meyakinkan sekaligus menyemangati dirinya sendiri.
Rembug atau itu musyawarah di kediaman Mendung, sengaja dilakukan untuk membebaskan Pelangi. Hingga keesokan harinya, ditemani pak RT dan perangkat desa lainnya termasuk juga pak Kades, Mendung mendatangi rumah Yanti. Rumah gedong berlantai dua dan sampai digerbang dengan halaman minimalis itu dijaga dua ajudan Yanti yang kemayu.
“Nyonya sedang foto prewedding dengan pak Dika. Kami enggak tahu pasti kapan mereka pulang,” jawab salah satu pengawal kemayu di sana. Sementara yang satunya dengan lancang merekam kedatangan rombongan Mendung yang dibiarkan berdiri di luar gerbang.
“Bahkan kamu dengan tega membangun bahagia di atas luka-luka kami, Mas. Biadab kamu!” batin Mendung benar-benar dendam.
“Ya Allah ... seberapa kuat hambamu ini? Kenapa cobaan silih berganti engkau berikan, bahkan sejak hamba masih kecil. Jika memang Engkau tidak pernah sudi menganggap hamba sebagai bagianmu, cukup lukai hamba saja tanpa pernah mengusik Pelangi. Cukup hukum suamiku yang sudah menjadi sumber luka dalam keluarga kami. Siksa dia seperti apa yang selama ini hamba alami. Tolong, apa pun yang terjadi, jangan pernah melukai Pelangi. Justru harusnya dengan penderitaan demi penderitaan yang hamba terima, harusnya engkau membalasnya dengan mengangkat derajat sekaligus membahagiakan Pelangi. Tolong beri Pelangi jodoh yang tepat, tak perlu kaya jika memang Engkau tak meridhoinya. Cukup satukan Pelangi dengan laki-laki bertanggung jawab yang bisa membahagiakannya lahir batin!” batin Mendung.
Gagal bertemu dengan Yanti dan Andika yang malah sedang menjalani foto prewedding, rombongan Mendung langsung menuju kantor polisi. Keberadaan kantor polisi ada di kabupeten lantaran kasus Pelangi sudah diurus oleh pengacara sewaan Yanti. Yanti sungguh menggunakan uang yang dimiliki untuk menghancurkan Mendung sekaligus Pelangi.
Setelah menjalani serangkaian prosedur, akhirnya mereka bisa bertemu Pelangi. Mata Pelangi sudah sembab parah, wajahnya pucat, dan sekadar berbicara saja, Pelangi tidak bisa. Yang ada, Pelangi sibuk sesenggukan hingga kondisinya tampak sangat menyedihkan.
“Pelangi, sudahi kesedihanmu. Bunda janji akan melakukan apa pun asal kamu bebas dari sini. Sudah cukup, sudahi kesedihan kamu. Andai kemungkinan pahitnya kamu harus mendekam di sini untuk beberapa waktu, bukan berarti kamu merupakan penjahat.” Mendung berusaha meyakinkan sang putri. Ia rengkuh kedua lengan Pelangi yang jadi sangat loyo.
“Apa yang kamu lakukan membuat masyarakat tahu, bahwa kamu seorang pahlawan, Ngi. Bukan hanya untuk Bunda, tetapi juga pahlawan bagi para wanita, seorang mama, di luar sana!” Mendung terus meyakinkan. Melalui tatapan lekatnya, juga cengkeraman kedua tangannya pada kedua lengan Pelangi, Mendung berusaha menguatkan putrinya.
“Kita bisa melalui ini. Percayalah, Allah akan mengangkat derajatmu melalui cobaan ini. Ayo, kembali ceria lagi. Mana Pelangi Bunda yang setiap saat selalu berwarna?”
“Bunda ....”
“Kamu tidak boleh takut, Ngi. Bunda bersama kamu! Bunda janji, kita bisa lewati ini!” Bahkan meski Mendung sadar, sekadar uang seribu saja dirinya tidak punya. Selain Mendung yang belum tahu bagaimana caranya agar ia bisa membebaskan putrinya. Mendung optimis bisa melalui semuanya, demi sang putri.
“Bunda ....” Hanya kata lirih itu yang terus terucap dari bibir tipis Pelangi yang kali ini sangat pucat.
Dari keadaan Pelangi, gadis cantik itu jelas terluka mental maupun lahir batinnya. Kedua tangan Pelangi saja terus gemetaran sekaligus berkeringat. Mendung ketar-ketir karenanya. Ia rengkuh tubuh putrinya yang terus membungkuk loyo itu, erat-erat.
“Bunda ....” Setiap panggilan sangat lirih sekaligus gemetaran dari sang putri, tak ubahnya sembilu yang sibuk menyayat hati Mendung.
“Pak ... Pak, lihat ... anak saya sakit. Dia terus ketakutan ... tolong bantuannya, Pak. Mohon keringanannya. Jika tidak, ... biarkan saya saja yang menggantikannya di sini. Masa depannya masih sangat panjang,” mohon Mendung. Air matanya yang sempat kering, kembali hadir berjatuhan membasahi pipi.
Perangkat desa yang menemani Mendung ke sana, jadi serba salah. Mereka tentu kasihan, dan turut terluka pada Pelangi. Apalagi alasan Pelangi mendekam di penjara, murni untuk melindungi diri dari serangan Yanti. Hanya saja, uang-uang Yanti sudah telanjur berbicara sekaligus melindungi pemiliknya.
Pihak dari perangkat desa sudah mengupayakan yang terbaik. Permintaan mereka untuk membebaskan Pelangi, atau setidaknya membiarkan Pelangi istirahat di rumah, tak dikabulkan.
“Kami dari desa, bahkan satu desa siap jadi jaminan, Pak. Lihat, anaknya kelihatan tertekan banget. Sementara alasan Pelangi di sini kan karena murni, membela Bundanya. Calon istri ayah Pelangi berulah. Pelangi dan ibu Mendung saja dipukuli, mereka korban sesungguhnya, lah kok malah mereka yang harus diadili.” Pak Kades berbicara penuh pengertian. Kemudian, aparat yang lain termasuk ketua RT dan RW juga memberikan bukti berupa foto. Namun, usaha mereka tak mendapatkan hasil berarti. Mereka tetap diminta untuk pulang, dan menjalani semua proses sesuai prosedur hukum yang ada.
“Nda ....”
“Pelangi ... kuat! Kamu harus kuat, Sayang! Ibu mau cari pengacara buat lawan pihak Yanti!” Mendung masih menjadi penyemangat untuk sang putri, meski hatinya sendiri sudah sangat hancur.
Di tengah air matanya yang masih kerap berlinang, kedua mata Mendung menatap sang putri yang duduk di hadapan sekaligus sebelahnya, penuh keseriusan.
“Mas Riky ... coba obrolkan ini dengan beliau, Bun. Takutnya, beliau sibuk urus rencana pernikahan kami,” lembut Pelangi.
“Ya Allah ... ini lagi. Putriku bisa gila jika ... jika dia tahu bahwa rencana pernikahannya pun ... gagal!” batin Mendung. Tanpa membalas apalagi menyanggupi, Mendung mendekap erat sang putri. Ia merangkul kepala Pelangi dan membenamkan wajah itu di dadanya.
Dalam diamnya, Mendung terus bertanya-tanya. Kepada siapa ia harus meminta tolong? Orang itu harus orang yang sepadan dengan Yanti agar bisa melawan janda pirang itu.
“Siapa ...? Ya Allah ... beneran enggak ada!” lirih Mendung yang harus meninggalkan sekaligus berpisah dengan Pelangi.
“Kamu harus kuat, Ngie! Bunda mohon, ... ayo kita berjuang. Kamu cukup jadi Pelangi yang dulu. Pelangi yang pemberani. Jangan pernah takut pada polisi. Asal kamu benar, lawan. Jangan takut. Kesalahan kita hanya satu. Kita terlalu miskin, hingga ketika kita harus melawan mereka yang beruang, kita langsung tumbang. Namun, ... Bunda akan tetap berjuang hingga titik darah penghabisan!” ucap Mendung.
Perangkat desa yang di sana turut menitikkan air mata. Mereka makin terluka karena cobaan yang tengah menimpa Pelangi dan Mendung. Untungnya, meski belum bisa banyak bicara, Pelangi yang jadi berlinang air mata, berangsur mengangguk-angguk. Pelangi sudah kembali optimis dan tampak merasa lebih baik setelah pertemuan mereka.
(Ramaikan yaaa ❤️)