Leo XII, Raja Kejahatan Dunia, adalah sosok yang ditakuti oleh banyak orang, seorang penguasa yang mengukir kekuasaan dengan darah dan teror. Namun, ironisnya, kematiannya sama sekali tidak sesuai dengan keagungan namanya. Baginya, itu adalah akhir yang memalukan.
Mati karena murka para dewa? Sungguh lelucon tragis, namun itulah yang terjadi. Dalam detik-detik terakhirnya, dengan sisa kekuatannya, Leo XII berusaha melawan takdir. Usahanya memang berhasil—ia selamat dari kematian absolut. Tapi harga yang harus dibayarnya mahal: Leo XII tetap mati, dalam arti tertentu.
Kini ia terlahir kembali sebagai Leon Dominique, dengan tubuh baru dan kehidupan baru. Tapi apakah jiwa sang Raja Kejahatan akan berubah? Akankah Leon Dominique menjadi sosok yang lebih baik, atau malah menjelma menjadi ancaman yang lebih mengerikan?
Satu hal yang pasti, kisahnya baru saja dimulai kembali!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekuatan Fiona
Fiona berdiri dari kursinya, mengenakan ekspresi penuh percaya diri. Senyum tipis terulas di wajahnya saat ia berkata, "Sekarang giliranku."
Leon memandangnya dengan santai, matanya menyiratkan sedikit kekhawatiran. "Jangan memaksakan diri. Jika kamu merasa tidak mampu bertahan, menyerah saja. Tidak ada gunanya mati sia-sia," katanya tegas.
Fiona mengangguk kecil, matanya menunjukkan keyakinan penuh. "Aku tahu batasanku, Leon. Aku pergi dulu."
Leon menghela napas pendek, lalu berkata, "Semoga beruntung."
Fiona melangkah turun ke arena. Arena yang sebelumnya penuh dengan darah dan luka-luka bekas pertarungan grup pertama kini telah bersih sempurna, bahkan retakan-retakan pada tanah sudah diperbaiki. Semua seperti baru, siap untuk kembali menjadi saksi pertempuran yang brutal.
Di tengah arena, Fiona bergabung dengan sekitar 200 peserta lainnya. Mereka berdiri dalam formasi acak, sebagian dengan senyum percaya diri, sebagian lain tampak gugup dan tidak tenang.
Wasit yang sama berdiri di pinggir arena, matanya mengamati peserta satu per satu. "Tidak ada perubahan aturan!" suaranya menggema. "Kalian tahu apa yang harus dilakukan. Pertarungan dimulai!"
Suara teriakan penonton pecah, menandai dimulainya pertarungan. Dalam hitungan detik, arena kembali dipenuhi dengan hiruk-pikuk dan percikan darah.
Leon, yang duduk di kursi penonton, hanya fokus pada Fiona. Matanya tajam memantau setiap gerak-geriknya. "Fiona adalah spesialis angin," pikir Leon. "Dengan medan terbuka seperti ini, dia memiliki keunggulan. Tapi pasti ada beberapa lawan yang cukup tangguh untuk menahannya."
Di atas arena, Fiona menunjukkan ekspresi yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. Wajah manja dan lembutnya saat bersama Leon telah menghilang. Yang tersisa hanyalah tatapan dingin yang penuh ketenangan.
Beberapa pria mulai mendekatinya, memanfaatkan momen untuk melecehkan.
"Nona, kau terlalu cantik untuk berada di sini. Bagaimana kalau kau bergabung denganku malam ini?" salah satu pria berkata dengan nada cabul.
"Jangan dengarkan dia! Bersama denganku, kita bisa menjadi dua orang terakhir yang bertahan!" seru pria lainnya, mencoba merayunya.
Wajah Fiona menegang. Tatapan dinginnya berubah menjadi penuh penghinaan. Ia mengangkat dagunya dengan angkuh, lalu berkata dengan suara tajam, "Enyahlah, para sampah. Pria-ku sedang menonton. Serangga seperti kalian bahkan tidak akan bertahan lebih dari dua menit."
Ucapan Fiona langsung memicu amarah para pria tersebut. Dengan wajah penuh emosi, mereka bersatu untuk menyerangnya secara serentak.
Namun, Fiona tidak menunjukkan sedikit pun kepanikan. Sebuah senyum dingin terulas di bibirnya. Ia berbisik pelan, "Tornado Blade."
Dalam sekejap, pusaran angin tajam terbentuk di sekelilingnya, dengan Fiona sebagai pusatnya. Angin itu bergerak cepat, mencabik-cabik siapa pun yang berada dalam jangkauannya. Jeritan dan percikan darah memenuhi udara, menciptakan pemandangan mengerikan yang membuat penonton terdiam sesaat.
Hanya dalam beberapa menit, jumlah peserta yang sebelumnya sekitar 200 orang kini tersisa kurang dari 20.
Fiona berdiri tegak di tengah arena, tubuhnya berlumur sedikit darah lawan, namun senyum angkuhnya tidak memudar. Ia menatap sisa peserta dengan pandangan tajam, lalu berbicara dengan suara yang menggema menggunakan Echo, teknik manipulasi suara.
"Menyerahlah. Bunuh diri kalian sendiri. Kematian kalian adalah kehormatan terbesar yang bisa kalian capai."
Kata-kata Fiona menggetarkan hati para peserta. Sepuluh orang langsung menyerah tanpa perlawanan, bahkan beberapa dari mereka dengan tenang mengakhiri hidup mereka sendiri di tempat.
Kini, arena hanya menyisakan delapan orang, termasuk Fiona. Ia berdiri tegak di antara mereka, memancarkan aura dingin yang membuat para penonton tercengang.
Dari kursi penonton, Leon tersenyum kecil, meneguk minuman di tangannya. "Seperti yang kuduga," gumamnya pelan. "Dia memang istimewa."
Salah satu peserta yang tersisa menatap Fiona dengan ekspresi penuh kebencian. Dia adalah seorang wanita yang terlihat masih muda dengan rambut acak-acakan dan dua belati berkilauan di tangannya. "Seorang wanita menjijikkan, berdiri dengan sombongnya di sini," katanya dingin.
Fiona meliriknya dengan senyuman tipis yang memancarkan ejekan. "Oh, ada apa? Kau tampak sangat iri. Apakah aku baru saja menyakiti perasaanmu tanpa sadar?" tanyanya dengan nada mengejek.
"Diamlah, jalang!" bentak wanita itu. "Bermesraan dengan seorang pria di tempat sakral seperti ini... Kau dan dia telah menodai kehormatan Colosseum ini!"
Ekspresi Fiona berubah tajam, namun ia tetap tersenyum sinis. "Fufu, begitu ya? Kau ini perawan tua, bukan? Melihat caramu berbicara, aku yakin tidak ada satu pria pun yang mau mendekatimu."
Ejekan Fiona langsung memukul harga diri wanita itu. Dengan kemarahan yang membara, ia mengangkat belati di tangannya. "Aku akan membunuhmu!" teriaknya, dan tanpa ragu, ia melesat ke arah Fiona dengan kecepatan tinggi.
Wanita itu bergerak begitu cepat hingga hanya dalam sekejap ia sudah berada di belakang Fiona, mencoba menusuknya. Namun Fiona, dengan reflek tajamnya, menciptakan Wind Shield, sebuah perisai angin yang membungkus tubuhnya. Serangan itu terpental tanpa bekas.
"Dasar jalang sombong!" wanita itu melompat lagi, menyerang dari berbagai sudut, namun setiap kali belatinya hampir menyentuh Fiona, angin melindunginya seperti tembok yang tak terlihat.
Fiona mengangkat alis dengan senyum mengejek. "Fufu, apa kau hanya bisa berlarian ke sana kemari seperti itu? Sejujurnya, kau lebih cocok menjadi atlet lari daripada mencoba jadi pembunuh di arena ini."
Wajah wanita itu memerah karena marah, tapi serangannya tetap sia-sia. Frustrasi, ia memutar tubuhnya dan berteriak ke arah peserta lainnya yang masih berdiri di sekitar arena. "Kalian semua! Jika kita tidak bersatu, wanita ini akan membunuh kita semua! Ayo, serang dia bersama-sama!"
Beberapa peserta saling pandang, ragu-ragu pada awalnya, namun akhirnya empat orang maju mendekat untuk bergabung menyerang Fiona.
Fiona memutar matanya, lalu tertawa kecil. "Oh, jadi kau memanggil bala bantuan? Itu langkah klasik seorang pecundang."
"Diamlah! Aku tidak butuh ceramah dari seorang wanita sombong sepertimu!" bentak wanita itu, sementara keempat peserta lainnya mulai mengepung Fiona dari berbagai arah.
Fiona berdiri di tengah mereka, tetap tenang meski serangan datang bersamaan. Dengan nada dingin, ia berbisik, "Gale Burst."
Angin yang sangat kuat turun dari atas, menekan para penyerang seperti palu raksasa. Mereka tersungkur ke tanah, terhimpit oleh kekuatan angin yang mengerikan. Tekanan itu tidak hanya membuat mereka tidak bisa bergerak, tapi juga menghancurkan tubuh mereka satu per satu, hingga yang tersisa hanyalah tumpukan darah dan daging hancur.
Kini hanya tersisa dua orang di arena: Fiona, berdiri dengan anggun di tengah medan penuh darah, dan seorang pria yang baru saja selesai dengan pertarungannya di sisi lain.
Pria itu memegang pedang besar di satu tangan, sementara di tangan lainnya ia menggenggam kepala seorang peserta lain, darah masih menetes dari leher yang terpenggal. Wajahnya bersih dari ekspresi amarah, hanya tersenyum tipis sambil berjalan mendekati Fiona.
"Sepertinya di sisi ini sudah selesai juga," katanya dengan nada ramah, seolah tidak menyadari atmosfer mengerikan di sekitarnya. "Kita menyelesaikannya lebih cepat dari yang kuduga."
Fiona menatap pria itu dengan dingin, matanya menyipit penuh kewaspadaan. Namun, ia hanya mendengus, lalu berbalik dan turun dari arena.
Wasit melangkah maju dengan suara menggelegar. "Luar biasa! Pertarungan ini selesai hanya dalam 20 menit! Dua peserta terakhir sudah muncul, dan mereka adalah pejuang yang benar-benar luar biasa!"
Sorakan penonton menggema di seluruh Colosseum, memuji pertarungan singkat namun brutal tersebut. Fiona berjalan keluar arena tanpa menoleh ke belakang, ekspresinya kembali berubah menjadi netral, menyembunyikan emosi apapun yang mungkin ia rasakan.
Dari kursi penonton, Leon hanya tersenyum kecil, mengangguk puas.