Ceritanya berkisar pada dua sahabat, Amara dan Diana, yang sudah lama bersahabat sejak masa sekolah. Mereka berbagi segala hal, mulai dari kebahagiaan hingga kesedihan. Namun, semuanya berubah ketika Amara menikah dengan seorang pria kaya dan tampan bernama Rafael. Diana yang semula sangat mendukung pernikahan sahabatnya, diam-diam mulai merasa cemburu terhadap kebahagiaan Amara. Ia merasa hidupnya mulai terlambat, tidak ada pria yang menarik, dan banyak keinginannya yang belum tercapai.
Tanpa diketahui Amara, Diana mulai mendekati Rafael secara diam-diam, mencari celah untuk memanfaatkan kedekatannya dengan suami sahabatnya. Seiring berjalannya waktu, persahabatan mereka mulai retak. Amara, yang semula tidak pernah merasa khawatir dengan Diana, mulai merasakan ada yang aneh dengan tingkah sahabatnya. Ternyata, di balik kebaikan dan dukungan Diana, ada keinginan untuk merebut Rafael dari Amara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
27
Di dalam mobil, suasana sempat hening sejenak. Andrew yang sedang fokus menyetir melirik sekilas ke arah Liana. Dia akhirnya memutuskan untuk membuka percakapan.
"Jadi, kamu memang selalu mengecewakan kalau menyebrang jalan?" tanyanya dengan nada datar, tapi ada senyuman sedikit tipis di wajahnya.
Liana tertawa kecil, mencoba mencairkan suasana. "Nggak, kok! Biasanya aku lebih hati-hati. Tapi hari ini aku lagi buru-buru, jadinya begini," jawabnya santai.
Andrew mengangguk pelan, wajahnya tetap serius. "Kamu harus lebih hati-hati di lain waktu. Nggak semua pengemudi bisa berhenti secepat itu."
Liana memutar matanya dengan ekspresi pura-pura kesal. "Iya deh, Pak Guru! Pesan sudah diterima."
Dia menatap Andrew penasaran, mencoba mengubah topik. "Ngomong-ngomong, kamu siapa sih? Tumben ada bule bawa mobil sendiri di sini. Lagi liburan?"
Andrew tersenyum kecil. "Nama saya Andrew. Saya fotografer. Baru datang ke sini untuk proyek kerja."
"Oh, fotografer! Keren juga. Jadi kamu keliling dunia buat kerja?" tanya Liana dengan antusias.
Andrew mengangguk. "Iya. Saya sering pindah-pindah tempat. Tapi baru kali ini hampir tabrak orang di jalan."
Liana tertawa terbahak-bahak. "Salah sendiri nggak lihat ada model cantik mau lewat!" candanya.
Andrew menggeleng pelan, tapi kali ini dia ikut tersenyum lebih lebar. "Kamu ini benar-benar orang yang santai ya. Lucu juga."
Selama perjalanan, percakapan mereka mengalir. Liana yang kocak terus saja melemparkan candaan, sementara Andrew yang biasanya dingin merasa aneh karena dia mulai ikut tertawa.
Sesampainya di lokasi pengambilan gambar, Liana keluar dari mobil, tapi Andrew berhenti. "Tunggu sebentar, Liana."
Liana menoleh. "Ada apa?"
Andrew memasukkan tangannya ke saku celana. Wajahnya serius. "Kamu tertarik jadi model untuk proyek saya? Saya butuh seseorang yang punya energi seperti kamu."
Liana melongo, tak percaya dengan tawaran itu. "Hah? Serius? Kita baru ketemu, lho!"
Andrew mengangkat bahu. "Kadang ide bagus muncul dari pertemuan yang tidak direncanakan."
Liana teringat sejenak, lalu tersenyum lebar. "Oke! Deal. Tapi jangan kaget kalau aku suka telat, ya."
Andrew hanya menggeleng sambil mengulurkan tangan untuk menjabat. Saat Liana berlari menuju ke sana, Andrew tetap berdiri di sana, tersenyum kecil. Di dalam hati, dia tahu bahwa pertemuan ini mungkin adalah awal dari sesuatu yang lebih Besar.
Setelah pemotretan selesai, Liana berdiri di pojokan studio sambil tersenyum-senyum sendiri. Dia tampak tenggelam dalam pikirannya, mengingat pertemuannya dengan Andrew tadi pagi.
Rian, rekan kerja sekaligus sahabatnya, yang kebetulan lewat, langsung menegurnya. "Liana, kamu kenapa senyum-senyum sendiri? Gila, ya?" godanya sambil memasang ekspresi heran.
Liana, yang merasa terganggu, spontan menjitak kepala Rian. "Gila-gila apaan, sih! Aku lagi happy aja, kok," balasnya sambil nyengir.
Rian mengusap kepalanya yang habis dijitak. "Happy kenapa? Jangan-jangan kamu jatuh cinta diam-diam, ya?" goda Rian lagi sambil menyenggol bahu Liana.
Liana mengangkat dagunya, lalu memasang ekspresi bangga. "Eh, aku tuh barusan ketemu bule ganteng, tau nggak? Namanya Andrew. Dia fotografer keren, terus dia nawarin aku buat jadi model buat proyeknya."
Rian mendadak terdiam, senyumnya memudar. "Bule? Fotografer? Wah, tumben kamu antusias banget ceritain cowok."
Liana mengabaikan nada suara Rian yang sedikit berubah. Dia malah lanjut bercerita dengan semangat. "Iya, dong! Orangnya beda banget, serius tapi ada sisi lembutnya. Pokoknya asyik, deh! Aku sampai mikir, kenapa aku nggak pernah ketemu orang kayak dia dari dulu, ya?"
Rian memaksakan senyum, tapi jelas ada rasa tidak nyaman di wajahnya. "Hmm, hati-hati aja, Li. Jangan terlalu cepat percaya sama orang yang baru dikenal, apalagi bule. Kamu nggak tau dia kayak apa, kan?"
Liana mengerutkan kening, merasa sedikit heran dengan komentar Rian. "Loh, kenapa ngomong gitu? Kamu cemburu, ya?" godanya sambil menyengir jahil.
Rian buru-buru mengalihkan pandangan, berusaha terlihat santai. "Ah, nggaklah! Cuma ngingetin aja. Aku nggak mau lihat kamu terluka kalau ternyata dia nggak sesuai ekspektasimu."
Liana tertawa kecil sambil menepuk bahu Rian. "Santai aja, Rian. Aku tuh cuma kagum, bukan jatuh cinta. Lagian, hidup aku udah cukup seru tanpa drama percintaan."
Meskipun Liana berbicara santai, Rian masih merasa ada yang mengganjal. Tapi dia memilih untuk tidak memperpanjang obrolan. Di dalam hati, dia tahu bahwa perasaannya pada Liana mulai berubah, tapi dia sendiri belum siap untuk mengakuinya.
Tanpa sepengetahuan Liana, Rian sering mencuri-curi pandang ke arahnya. Dalam diam, Rian mengagumi Liana—kepribadiannya yang ceria, tawa khasnya yang selalu membuat suasana jadi lebih hidup, dan caranya menjalani hidup dengan penuh semangat. Namun, Rian selalu menyimpan perasaannya rapat-rapat, tidak pernah berani mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan.
Saat Liana bercerita tentang Andrew tadi, hati Rian terasa sedikit berat. Namun, dia berusaha menepis rasa cemburu itu. Baginya, melihat Liana bahagia sudah cukup, meski kebahagiaan itu bukan karena dirinya.
Di suatu sudut studio, Rian memperhatikan Liana yang sedang bercanda dengan kru lain. Senyumnya lebar, tawanya lepas, seperti biasa. Rian menarik napas dalam, membiarkan pikirannya mengembara.
"Kenapa, sih, gue nggak pernah bisa bilang apa yang gue rasain ke dia?" gumam Rian dalam hati.
Namun, Liana benar-benar tidak menyadari apa pun. Baginya, Rian hanyalah teman dekat, rekan kerja yang sudah seperti saudara sendiri. Bahkan, setiap candaan Liana yang menyebut Rian cemburu, ia anggap sekadar guyonan tanpa arti.
Sementara itu, Rian hanya bisa menutupi perasaannya dengan cara terbaik yang dia tahu: tetap menjadi sahabat yang selalu ada di sisi Liana, meskipun hatinya perlahan semakin sulit untuk menyangkal kenyataan bahwa dia mulai jatuh cinta.
Setiap kali Liana bercerita atau memuji pria lain di depannya, Rian merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya, meskipun dia berusaha mati-matian untuk menyembunyikannya. Seperti tadi, saat Liana dengan penuh semangat membicarakan Andrew—pria bule yang baru saja ditemuinya.
"Liana, kamu harus lihat senyum dia, deh! Sumpah, keren banget. Terus dia itu pinter, sopan pula. Jarang banget ketemu cowok kayak dia, apalagi di sini," ujar Liana sambil tersenyum lebar, seolah mengulang momen yang baru saja terjadi.
Rian hanya duduk di sampingnya, memasang ekspresi tenang meski hatinya terasa berat. Dia memaksakan senyum kecil. "Oh, ya? Hebat juga tuh orang."
Namun, di dalam hatinya, kata-kata Liana terus terngiang. Pujian itu, tawa itu, dan semangat di matanya—semua itu membuat Rian merasa semakin kecil.
"Kenapa dia nggak pernah lihat aku seperti itu? Apa gue nggak cukup baik buat dia?" pikir Rian sambil menggenggam tangannya erat-erat di bawah meja.
Rian ingin sekali mengatakan apa yang dia rasakan, ingin Liana tahu bahwa dia juga mampu membuatnya bahagia, tanpa harus memuji pria lain. Tapi rasa takut lebih kuat menguasai dirinya. Takut kalau setelah mengungkapkan perasaannya, Liana akan menjauh dan persahabatan mereka hancur begitu saja.
"Liana," akhirnya Rian berkata pelan, memotong cerita panjang Liana tentang Andrew. "Kamu yakin orang kayak dia beneran sebaik itu? Kadang, orang yang baru dikenal nggak selalu seperti yang kita kira."
Liana menghentikan ceritanya, menatap Rian dengan kening berkerut. "Kok kamu kayak nggak suka, sih, denger aku cerita tentang dia? Kamu cemburu, ya?" candanya sambil tertawa kecil.
Rian ikut tertawa, meski tawanya terdengar hambar. "Ah, nggaklah. Cuma ngingetin aja. Biar nggak terlalu cepat percaya."
Malam itu, setelah Liana pulang, Rian duduk sendiri di studio, menatap ruang yang sekarang kosong. Di dalam hatinya, ia bergulat dengan rasa sakit yang terus membesar setiap kali Liana menceritakan pria lain. Tapi, seperti biasa, dia memilih untuk menahannya. Baginya, kebahagiaan Liana adalah yang terpenting, meski itu berarti harus menyingkirkan perasaannya sendiri.