Malam itu langit dihiasi bintang-bintang yang gemerlap, seolah ikut merayakan pertemuan kami. Aku, yang biasanya memilih tenggelam dalam kesendirian, tak menyangka akan bertemu seseorang yang mampu membuat waktu seolah berhenti.
Di sudut sebuah kafe kecil di pinggir kota, tatapanku bertemu dengan matanya. Ia duduk di meja dekat jendela, menatap keluar seakan sedang menunggu sesuatu—atau mungkin seseorang. Rambutnya terurai, angin malam sesekali mengacaknya lembut. Ada sesuatu dalam dirinya yang memancarkan kehangatan, seperti nyala lilin dalam kegelapan.
"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya tiba-tiba, suaranya selembut bayu malam. Aku hanya mengangguk, terlalu terpaku pada kehadirannya. Kami mulai berbicara, pertama-tama tentang hal-hal sederhana—cuaca, kopi, dan lagu yang sedang dimainkan di kafe itu. Namun, percakapan kami segera merambat ke hal-hal yang lebih dalam, seolah kami sudah saling mengenal sejak lama.
Waktu berjalan begitu cepat. Tawa, cerita, dan keheningan yang nyaman
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Achaa19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ketika harapan bertemu dengan ketakutan
Bab 8: Ketika Harapan Bertemu dengan Ketakutan
Hari-hari berjalan dengan ritme yang sama, namun keduanya mulai merasakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar percakapan atau pertemuan biasa. Setiap kali mereka bertemu, Arya dan Reina saling mempelajari sudut pandang satu sama lain, namun mereka juga mulai bertanya-tanya apakah ketakutan mereka akan terus mengikuti mereka tanpa akhir.
Ada satu tempat yang sering mereka kunjungi ketika ingin melepaskan penat dan berbicara tanpa gangguan. Atap gedung tua yang menghadap ke seluruh kota. Tempat ini sederhana, tetapi memiliki keindahan yang sulit dijelaskan—cahaya lampu kota yang berkilauan di kejauhan, angin malam yang menyejukkan, dan ketenangan yang hanya mereka berdua rasakan.
Reina duduk di salah satu kursi lipat yang mereka bawa dari bawah. Ia menatap bintang yang bertebaran di langit gelap, sementara Arya berdiri di dekat pagar atap, memandangi ke arah yang sama.
“Reina,” Arya memulai dengan suara yang lembut, “apa yang kau cari dalam perasaan ini?”
Reina terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku tidak tahu. Kadang aku hanya ingin tahu apakah perasaanku ini benar atau hanya ilusi semata.”
Arya berpaling kepadanya, menatap dengan penuh perhatian. “Perasaan tidak selalu harus memiliki jawaban, Reina. Kadang yang penting adalah kita merasa hidup ketika kita merasakannya.”
Reina menunduk, jari-jarinya memegang tali tas yang ia bawa. “Tapi bagaimana jika aku salah, Arya? Jika ini hanya akan membuatku kecewa dan terluka?”
Arya mendekat, membiarkan angin membelai rambut mereka berdua. “Kita tidak bisa menghindari ketakutan hanya dengan berpura-pura tidak merasakannya. Takut itu normal, tetapi kita harus berani menghadapinya.”
Reina memandang ke bawah, ke keramaian kota yang terlihat dari atas sana. Lampu-lampu itu terlihat kecil dan indah dari sini—seperti dunia yang tak berujung.
“Arya, bagaimana jika kita memilih untuk tetap berjalan, meskipun kita tak tahu ke mana kita akan berakhir?” tanya Reina dengan nada pelan.
Arya tersenyum lembut. “Kita sudah berjalan sejauh ini. Aku pikir kita bisa terus berjalan tanpa perlu berpikir tentang akhir.”
Reina tersenyum tipis. Ada ketenangan dalam kata-kata Arya, namun ia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan ketidakpastian. Meski begitu, ia mulai merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, mereka bisa melalui semuanya bersama.
Reina bangun dengan perasaan yang campuran—rindu, ketakutan, harapan. Ia tahu bahwa tidak ada yang bisa memprediksi bagaimana perasaannya akan berkembang. Setiap kali ia bertemu Arya, ada perasaan baru yang ia rasakan: kehangatan, kedamaian, tetapi juga kecemasan yang sering ia pendam.
Hari itu, ia memutuskan untuk memulai sesuatu—memperbaiki pola pikirnya, melepaskan ketakutannya dengan perlahan-lahan.
Reina dan Arya duduk di salah satu sudut kafe kecil, ditemani kopi hangat dan roti yang baru mereka pesan. Reina menatap kopi di depannya sambil berpikir.
“Arya,” Reina memulai, “aku pikir kita harus mulai melihat setiap perasaan ini dengan lebih sederhana. Tak perlu kita berpikir terlalu jauh tentang bagaimana semuanya akan berakhir.”
Arya menatapnya dengan serius. “Kau benar. Perasaan kita lebih tentang sekarang—tentang bagaimana kita menjalani hari ini, tentang bagaimana kita memahami satu sama lain.”
Reina tersenyum kecil. “Kita mungkin tidak bisa mengontrol segalanya, tetapi setidaknya kita bisa memutuskan untuk saling memahami dan memberi kesempatan kepada diri kita sendiri.”
Arya memegang cangkir kopi yang ia genggam lebih erat. “Mungkin ini yang kita butuhkan—memilih untuk percaya, walau di tengah ketakutan.”
Reina menatapnya lama. Ada kelegaan dalam kata-kata Arya, meskipun masih ada keraguan yang mengikuti mereka.
“Kau tahu, Arya,” katanya, “aku memilih untuk percaya. Aku ingin berjalan denganmu dan membiarkan waktu menunjukkan bagaimana perasaan ini berkembang.”
Arya tersenyum dan mengangguk. “Dan aku akan selalu di sini, Reina. Selama kita berdua berusaha memahami, kita akan selalu berjalan bersama.”
Keduanya saling memandang dengan senyum yang lebih yakin kali ini—tidak sempurna, tetapi cukup untuk membangun kepercayaan yang mereka mulai tanamkan dalam hati masing-masing.
Perasaan yang mereka bangun perlahan mulai membentuk ruang baru di hati masing-masing. Walaupun masih ada keraguan, namun pertemuan demi pertemuan semakin menghapus dinding ketakutan yang mereka bangun sebelumnya. Seperti menyalakan lilin di kegelapan, mereka mulai menemukan cahaya—meskipun kecil, tetapi cukup untuk memberi harapan.
Reina mengajukan ajakan sederhana kepada Arya—mengunjungi sebuah galeri seni yang baru saja dibuka di pusat kota. Ini adalah salah satu tempat favorit Reina untuk melepaskan ketegangan, mencari inspirasi, dan merefleksikan perasaannya melalui karya seni. Galeri itu memiliki banyak lukisan abstrak, pameran foto, dan instalasi seni yang mengundang perenungan.
Mereka berjalan berdua di antara lukisan-lukisan yang tergantung di dinding, mengagumi warna-warninya yang hidup dan simbolisme yang sering kali sulit mereka pahami.
Arya memandang salah satu lukisan berwarna biru yang berisi goresan abstrak. “Kau pernah berpikir, Reina, bahwa perasaan kita seperti lukisan ini?”
Reina memutar pandangannya ke arah Arya. “Maksudmu?”
“Kadang kita tidak tahu apa makna di balik goresan itu, seperti kita tidak selalu memahami apa yang kita rasakan,” ujar Arya sambil tersenyum. “Tapi semakin kita melihat lebih dekat, semakin kita memahami tentang warna dan teksturnya.”
Reina menunduk, merenungkan kalimat itu. “Kau selalu memiliki cara untuk membuatku berpikir, Arya.”
Arya tertawa kecil. “Aku hanya melihat kehidupan seperti seni—dengan semua warna dan ketidakkonsistensian yang indah.”
Mereka berdua terus berjalan, mendekati sebuah instalasi seni yang berisi banyak tali yang tergantung di langit-langit. Cahaya lampu jatuh di antara tali-tali itu, menciptakan bayangan yang menari-nari di dinding. Reina memandang instalasi itu dengan kagum, seolah-olah melihat metafora yang menggambarkan perjalanan mereka.
“Tali-tali ini seperti kita, bukan?” kata Reina perlahan. “Terikat pada ketakutan kita, tetapi juga memiliki ruang untuk bergerak.”
Arya memandang ke arah yang sama dan mengangguk. “Benar. Kadang kita merasa terikat pada ketakutan atau keraguan, tetapi jika kita berani bergerak dan membiarkan diri kita merasakan setiap perasaan itu, kita bisa menemukan kebebasan.”
Reina menarik napas dalam-dalam, memandangi tali-tali yang berayun dengan lembut. “Kau tahu, aku ingin percaya bahwa kita bisa menemukan kebebasan itu denganmu, Arya.”
Arya memandang Reina dengan tatapan yang lembut. “Kita bisa mencoba. Tidak ada yang sempurna, Reina. Tetapi dengan memahami, mencoba, dan memberi diri kita waktu, kita bisa menemukan jawaban.”
Reina tersenyum kecil, perasaan yang sebelumnya penuh ketakutan mulai mereda.
Setelah menghabiskan sore mereka di galeri seni, mereka memutuskan untuk berjalan kaki di sekitar pusat kota. Langit malam sudah gelap, tetapi lampu-lampu jalanan membuat suasana menjadi indah dan hangat.
Reina berhenti sejenak di bawah pohon besar yang berdaun rindang. Arya berdiri di sampingnya, memandangi lampu-lampu yang berkilauan.
“Arya,” Reina memulai, suaranya bergetar, “aku ingin membuka diriku lebih dalam. Aku hanya takut apa yang akan terjadi jika aku melakukannya.”
Arya memutar pandangan padanya, lalu bertanya lembut, “Apa yang ingin kau ungkapkan, Reina?”
Reina menarik napas panjang, seakan mempersiapkan dirinya. “Selama ini, aku selalu berusaha menyimpan semua ini—perasaan ini, ketakutan ini, dan harapan ini—di dalam diriku. Tapi aku tahu aku harus membukanya agar aku bisa benar-benar bebas.”
Arya menatapnya dengan serius. “Kau tidak sendirian, Reina. Jika kamu membuka perasaanmu padaku, aku akan selalu mendengarkan.”
Reina menatap Arya, matanya berkilauan oleh cahaya lampu yang memantul. Dengan keberanian yang ia tarik dari hatinya, ia berkata, “Aku mencintaimu, Arya. Aku takut jika aku mengatakannya akan merusak segalanya, tetapi ini adalah perasaanku. Aku mencintaimu.”
Perkataan itu menggantung di udara beberapa saat. Arya memandang Reina dengan tatapan yang tak kalah serius, wajahnya tak menunjukkan penolakan atau kejutan, tetapi lebih kepada pemahaman yang dalam.
“Reina,” ujarnya pelan, “aku juga memiliki perasaan yang sama. Aku tidak tahu kapan aku mulai merasakannya, tetapi aku tahu bahwa aku juga mencintaimu.”
Kata-kata itu seperti aliran cahaya yang membebaskan mereka dari ketakutan yang selama ini mengikat. Kelegaan menyebar di antara mereka berdua, dan mereka tahu bahwa mereka bisa melangkah lebih jauh tanpa perlu berpura-pura atau menutupi apa-apa.
Setelah malam itu, keduanya merasa ada kelegaan yang lebih dalam dalam perjalanan mereka. Perasaan yang mereka pendam akhirnya terungkap, dan mereka memutuskan untuk terus berjalan dengan keberanian yang sama.
Kadang-kadang, ketakutan akan selalu ada. Namun, mereka memiliki satu sama lain untuk membimbing dan memahami.
Dan dalam keberanian mereka mengungkapkan perasaan, mereka mulai menemukan bahwa cinta adalah cahaya yang tak pernah padam—meskipun dunia gelap dan ketakutan mencoba memadamkan sinarnya.
Dengan langkah-langkah kecil mereka, Reina dan Arya terus berjalan menuju hari-hari yang penuh dengan harapan, ketakutan, dan kebahagiaan yang mulai mereka pahami satu sama lain.