> "Dulu, namanya ditakuti di sudut-sudut pasar. Tapi siapa sangka, pria yang dikenal keras dan tak kenal ampun itu kini berdiri di barisan para santri. Semua karena satu nama — Aisyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 3: Cahaya di Tengah Kegelapan
Bab 3: Cahaya di Tengah Kegelapan
“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(QS. Al-Ankabut: 69)
---
Setting: Malam yang sunyi di sebuah gang sempit. Hanya ada beberapa lampu jalan yang menyala redup. Cahaya remang-remang memantulkan bayangan pepohonan ke dinding kusam. Angin malam bertiup pelan, membawa suara gemerisik daun kering yang terseret di sepanjang jalan.
---
Fahri Tak Bisa Tidur
Malam itu, Fahri duduk di tepi kasur lusuhnya. Kamar kecil yang ia tempati terasa pengap, meski jendela kecil di sudut ruangan terbuka lebar. Matanya menatap kosong ke arah dinding yang penuh coretan-coretan liar. Tangannya menggenggam pisau lipat yang biasa ia bawa ke mana-mana.
"Kenapa gue kayak gini?" pikir Fahri sambil menghela napas panjang.
Sudah dua malam berturut-turut ia tidak bisa tidur nyenyak. Sejak pertemuannya dengan Aisyah di warung, pikirannya terus dipenuhi kata-kata perempuan itu.
> "Kalau Bang Fahri butuh teman cerita, aku siap dengerin."
Awalnya, ia menganggap kata-kata itu cuma basa-basi. Tapi, semakin ia mengabaikannya, semakin kuat bisikan itu di telinganya.
"Teman cerita? Apa gue butuh teman cerita?"
Fahri menggeleng keras, mencoba menepis pikiran itu. "Ngapain gue cerita ke dia? Gue ini preman, bukan anak kecil yang curhat sana-sini," katanya sambil membanting pisau lipat ke kasur.
Tapi hatinya berbisik sesuatu yang berbeda. Ada ruang kosong di dalam dirinya, ruang yang selama ini ia isi dengan amarah, gengsi, dan kesombongan. Tapi malam ini, ruang itu terasa hampa.
---
Mimpi yang Menggetarkan
Akhirnya, lelah melawan pikirannya sendiri, Fahri tertidur dengan gelisah.
Dalam tidurnya, ia bermimpi berada di tengah kegelapan. Tak ada cahaya, tak ada suara, hanya kegelapan yang pekat. Ia berjalan tanpa arah, meraba-raba sekeliling. Tapi tak ada apa pun di sana, hanya kehampaan.
"Di mana ini?" gumamnya, mencoba mencari jalan keluar.
Tiba-tiba, dari kejauhan, ia melihat seberkas cahaya. Cahaya itu kecil, seperti nyala lilin di tengah malam gelap.
"Siapa di sana?!" teriak Fahri.
Tak ada jawaban. Tapi cahaya itu semakin terang. Langkah Fahri bergerak tanpa sadar, mendekati cahaya tersebut. Hatinya berdebar, ada rasa takut tapi juga rasa penasaran.
Saat ia semakin dekat, ia melihat sesosok pria berjubah putih berdiri di balik cahaya itu. Wajah pria itu bercahaya, tapi tidak menyilaukan. Wajahnya tenang dan penuh wibawa.
"Fahri..."
Fahri terdiam. Suara itu terdengar lembut, tapi terasa menggetarkan dadanya.
"Siapa... siapa kau?" tanya Fahri dengan suara bergetar.
"Jangan takut, Fahri," kata pria itu. "Aku di sini hanya ingin bertanya. Sampai kapan kau akan terus hidup dalam kegelapan?"
"Ap... apa maksudmu?! Aku nggak butuh ceramah!" sergah Fahri, mencoba terlihat berani.
Pria itu hanya tersenyum, tatapannya dalam dan penuh arti. "Kegelapan itu ada di hatimu, Fahri. Amarah, kebencian, kesombongan... semua itu membuat hatimu buta. Sampai kapan kau akan terus hidup seperti itu?"
Fahri terdiam. Kata-kata pria itu terasa seperti tamparan keras di wajahnya.
"Aku... aku nggak tahu caranya keluar dari kegelapan ini," jawab Fahri lirih.
"Cahaya selalu ada, Fahri. Tapi kau harus mencarinya sendiri," ucap pria itu sebelum perlahan menghilang bersama cahaya di sekitarnya.
"Jangan pergi! Tunggu!" teriak Fahri, tapi pria itu sudah menghilang. Kegelapan kembali menyelimuti sekelilingnya.
---
Kebangkitan di Fajar
Fahri terbangun dengan napas terengah-engah. Keringat dingin membasahi dahinya. Jantungnya berdegup kencang. Ia duduk tegak di kasur, memegangi dadanya yang terasa sesak.
“Apa itu tadi?” pikirnya. Mimpi itu terasa begitu nyata, seolah ada seseorang yang benar-benar berbicara dengannya.
Ia memandang ke sekeliling kamar. Dinding yang kumuh, lantai yang berdebu, dan udara pengap yang biasa ia hirup setiap hari. Tapi kali ini, semuanya terasa berbeda.
Fahri bangkit dari kasur, berjalan ke depan cermin kecil yang tergantung di dinding. Ia menatap wajahnya sendiri. Matanya sembab, rambutnya berantakan, wajahnya penuh bekas luka perkelahian.
“Apa ini wajah seorang pemenang?” pikirnya dalam hati.
Tiba-tiba, ia teringat Aisyah. Wajahnya yang teduh, senyumnya yang tulus, dan kata-kata lembutnya.
> "Setiap orang punya kesempatan untuk berubah."
Hatinya bergetar. Untuk pertama kalinya, ia merasakan keinginan yang aneh dalam dirinya — keinginan untuk berubah.
---
Percakapan dengan Iwan
Pagi itu, saat Iwan datang ke markas, ia mendapati Fahri sedang membersihkan ruangan. Iwan tertegun, seolah tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Bang... bang, ini beneran Abang? Kok tiba-tiba rajin banget bersih-bersih?" tanya Iwan dengan raut bingung.
Fahri hanya menatapnya sekilas. "Kalau nggak suka, lu keluar aja," jawab Fahri datar sambil terus mengepel lantai.
"Eh, eh, tenang, Bang. Gue cuma heran aja. Biasanya, Abang nggak peduli sama ruangan ini. Apa jangan-jangan Abang kesambet, ya?" goda Iwan.
Fahri berhenti mengepel dan menatap Iwan dalam-dalam. "Lu pikir hidup ini cuma buat main-main doang, Wan?"
Iwan terdiam. Ini bukan gaya bicara Fahri yang biasa.
"Ada banyak hal yang harus gue pikirin sekarang, Wan. Gue capek hidup kayak gini terus," lanjut Fahri sambil melanjutkan mengepel lantai.
"Capek? Apa maksudnya, Bang?" tanya Iwan sambil mendekat.
Fahri tidak menjawab. Ia hanya terus mengepel lantai dengan wajah serius. Tapi di hatinya, ada sesuatu yang mulai tumbuh — harapan.
---
Pertemuan Kedua dengan Aisyah
Siang harinya, Fahri memutuskan pergi ke masjid dekat gang. Langkah kakinya terasa berat, seolah ada beban yang menahan setiap langkahnya. Tapi entah kenapa, hatinya terus mendorongnya maju.
Saat tiba di halaman masjid, ia melihat Aisyah sedang menyapu halaman. Ia terkejut. "Kenapa dia ada di sini?" pikirnya.
Fahri berdiri di pintu pagar masjid, ragu-ragu. Tapi kali ini, hatinya tidak ingin berbalik.
"Aisyah," panggil Fahri.
Aisyah berhenti menyapu dan menoleh ke arah Fahri. Ia tampak terkejut, tapi kemudian tersenyum lembut.
"Bang Fahri?" ucap Aisyah, matanya berbinar-binar. "Apa yang membawamu ke sini?"
Fahri terdiam sesaat, menggaruk-garuk belakang kepalanya. "Gue cuma... cuma pengen ngobrol," katanya gugup.
Aisyah mendekat, wajahnya tetap ramah. "Tentu, Bang. Apa yang mau dibicarakan?"
Fahri menatap wajah Aisyah dengan serius. Untuk pertama kalinya, ia merasa ingin jujur pada dirinya sendiri.
"Lu bilang... semua orang punya kesempatan buat berubah, kan?"
"Iya," jawab Aisyah dengan yakin.
Fahri menarik napas panjang. "Gue... gue pengen nyoba, Aisyah. Gue pengen berubah."
Aisyah tersenyum lebar. Senyum yang membuat hati Fahri terasa lebih ringan dari sebelumnya.
Di bab ini, Fahri mulai menerima panggilan hati untuk berubah. Mimpi dan pertemuannya dengan Aisyah menjadi titik awal dari perjalanan panjangnya menuju cahaya.