Nadia, seorang siswi yang kerap menjadi korban bullying, diam-diam menyimpan perasaan kepada Ketua OSIS (Ketos) yang merupakan kakak kelasnya. Namun, apakah perasaan Nadia akan terbalas? Apakah Ketos, sebagai sosok pemimpin dan panutan, akan menerima cinta dari adik kelasnya?
Di tengah keraguan, Nadia memberanikan diri menyatakan cintanya di depan banyak siswa, menggunakan mikrofon sekolah. Keberaniannya itu mengejutkan semua orang, termasuk Ketos sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Banggultom Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Pagi yang baru menyapa Nadia dengan langit yang sedikit mendung. Di sekolah, suasana terasa tidak nyaman sejak insiden kemarin. Nadia menyadari, setiap langkahnya terasa berat, seolah semua mata menatap penuh rasa ingin tahu.
Saat ia masuk kelas, bisikan-bisikan kembali terdengar. Gosip tentang dirinya dan Steven yang “terlihat mesra” di taman belakang sekolah rupanya sudah menyebar. Nadia mencoba mengabaikannya, tapi perasaan cemas terus mengganggu.
Steven, di sisi lain, tidak tampak terpengaruh dengan gosip itu. Ia tetap menjalani harinya seperti biasa, berbicara dengan Alvin dan teman-temannya dengan santai. Namun, Nadia merasa ada sedikit perubahan dalam caranya memandangnya. Entah itu hanya perasaan Nadia, atau memang Steven kini bersikap lebih... berhati-hati.
Waktu Istirahat
Nadia duduk sendirian di kantin, mencoba menyibukkan dirinya dengan buku yang ia bawa. Namun, konsentrasinya terganggu saat suara Alvin terdengar dari arah meja Steven.
“Eh, bro, serius nih, lo nggak ada rasa apa-apa sama Nadia? Gosip di sekolah udah kayak drama sinetron, loh.”
Steven mendesah pelan, jelas merasa terganggu dengan pertanyaan itu. “Nggak ada, Vin. Aku cuma kasihan sama dia. Kelihatannya dia banyak masalah.”
Kata-kata itu membuat hati Nadia terasa perih, meski ia tahu Steven tidak bermaksud jahat. Kasihan? Apakah itu satu-satunya alasan Steven membantunya? Nadia menundukkan kepala, mencoba menahan air matanya.
Air mata yang tidak tertahankan akhirnya membuatnya meninggalkan kantin dan pergi ke kamar mandi untuk meluapkan semua rasa sedih di hatinya.
Cici dan kedua sahabatnya yang mendengar suara tangisan itu menunggu di pintu. Ketika Nadia membuka pintu kamar mandi, Cici dan sahabatnya kembali merundungnya. Namun kali ini, dengan cara yang lebih kejam.
“Ikat tangannya dan kakinya,” ucap Cici dengan marah.
Tangan Nadia diikat ke belakang. Nadia yang tak mampu melawan ketiga orang itu hanya bisa menahan rasa sakit. Ia dibawa ke kolam renang sekolah yang kecil dan dilemparkan ke tengah kolam. Mulut Nadia yang dilakban hanya bisa bergumam dalam hati.
Apakah aku akan seperti ini terus? Apakah luka ini akan terus berjalan sampai aku di kelas 13 nanti?
Beberapa menit kemudian, Nadia yang tak mampu bergerak akhirnya kehilangan kesadaran di tengah kolam renang itu. Steven yang tak sengaja lewat melihat Nadia, lalu tanpa berpikir panjang langsung berenang ke tengah kolam untuk menyelamatkannya.
Steven berhasil membawa Nadia keluar dari kolam tersebut dan langsung mengantarnya ke UKS.
“Ternyata luka itu masih bisa hidup,” ucap Nadia perlahan dalam hati. Air mata Nadia kembali mengalir deras. Begitu sadar melihat Steven di ruang UKS, ia langsung memukulnya.
“Kenapa kau menyelamatkanku? Kamu tidak tahu bahwa hidupku tak berarti lagi? Untuk apa aku hidup jika aku harus merasakan ini terus?” ucap Nadia sambil memukul-mukul dada Steven.
Steven diam dan tertegun menatap mata Nadia yang penuh kesedihan, seolah menyembunyikan semua rasa sakitnya dari dunia.
“Pukul saja sepuas mu, jika itu membuatmu tenang,” ucap Steven dengan nada simpati.
Namun, momen ini diam-diam diabadikan seseorang. Foto Steven dan Nadia yang saling menatap kemudian tersebar ke seluruh kelas Nadia.
Di Kelas
Cici yang tak tahan lagi dengan gosip tentang Nadia melampiaskan amarahnya. Ia melemparkan ponsel ke depan semua siswa di kelas itu. Semua siswa terdiam, tak berani berkata apa-apa.
Saat Nadia kembali ke kelas setelah beristirahat, suasana semakin memanas. Bu Dewi yang hari itu tidak mengajar di kelas. Cici memberi ruang baginya untuk kembali mengintimidasi Nadia.
“Akhirnya wanita dengan bodi gitar Indonesia sudah sampai di kelas,” ucap Cici sambil duduk di bangku guru.
“Nadia, kamu tahu tentang luka yang dalam dan tak ada obatnya?” tanyanya.
Nadia diam dan menuju bangkunya. Namun, Imel dan Dina, dua sahabat Cici, menarik rambut Nadia dan membawanya ke depan kelas, tepat di depan Cici.
Kaki Cici yang bersandar di meja guru mengelus wajah Nadia dengan sepatunya.
“Kamu tahu betapa hancurnya hidupmu kalau berani mengusik orang seperti aku?” ucap Cici.
“Aku tidak pernah mengusik mu, psikopat. Kau yang mengusikku,” balas Nadia tegas.
“Oh... oh, Nadia. Semua yang ada di sekolah ini bisa ku atur dengan tangan kananku!” balas Cici dengan angkuh.
“Aku tidak peduli apa yang kamu bicarakan, Cici,” ucap Nadia dengan nada penuh keberanian.
“Apa kau bilang, tidak peduli? Apakah kau tidak peduli dengan beasiswa mu, Nad...?” bisik Cici dengan dingin.
Nadia terdiam. Ia tahu jika beasiswanya dicabut, maka ia tidak akan bisa melanjutkan pendidikan di sekolah elit itu.
“Antar dia ke tempat biasa,” perintah Cici dengan marah.
Tempat biasa bukanlah hal baru bagi Nadia. Tembok, wastafel, air, dan cermin sudah menjadi saksi bisu bagaimana ia diperlakukan di sekolah itu.
Saat Pulang Sekolah
Lonceng berbunyi, menandakan waktunya pulang. Nadia dijemput oleh Dewi, ibunya. Nadia takut ibunya mengetahui semua hal yang ia alami di sekolah, terutama perundungan dari Cici dan gengnya. Ia hanya bisa tersenyum lebar saat bertemu ibunya, menyembunyikan luka itu dalam-dalam.
Menurut Nadia, semua ini bukanlah luka yang pantas ibunya tanggung.
semangat