Di tahun 2145, dunia yang pernah subur berubah menjadi neraka yang tandus. Bumi telah menyerah pada keserakahan manusia, hancur oleh perang nuklir, perubahan iklim yang tak terkendali, dan bencana alam yang merajalela. Langit dipenuhi asap pekat, daratan terbelah oleh gempa, dan peradaban runtuh dalam kekacauan.
Di tengah kehancuran ini, seorang ilmuwan bernama Dr. Elara Wu berjuang untuk menyelamatkan sisa-sisa umat manusia. Dia menemukan petunjuk tentang sebuah koloni rahasia di planet lain, yang dibangun oleh kelompok elite sebelum kehancuran. Namun, akses ke koloni tersebut membutuhkan kunci berupa perangkat kuno yang tersembunyi di jantung kota yang sekarang menjadi reruntuhan.
Elara bergabung dengan Orion, seorang mantan tentara yang kehilangan keluarganya dalam perang terakhir. Bersama, mereka harus melawan kelompok anarkis yang memanfaatkan kekacauan, menghadapi cuaca ekstrem, dan menemukan kembali harapan di dunia yang hampir tanpa masa depan.
Apakah Elara dan Orion mampu m
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Doni arda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31: Langkah di Ambang Kehancuran
Angin dingin berhembus, membawa aroma debu dan kematian. Matahari terbenam di cakrawala, memancarkan cahaya oranye yang pudar, seolah ikut merasakan penderitaan dunia. Elara duduk bersandar di sebatang pohon mati, tangannya yang gemetar berusaha menghentikan darah yang mengalir dari lukanya. Ardan terbaring di dekatnya, masih setengah sadar, dengan napas berat yang terdengar seperti deru mesin tua yang hampir rusak.
"Ardan... Kita menang, kan?" Elara berbisik lemah, suaranya hampir tertelan oleh angin. Dia menatap ke cakrawala, mencari tanda bahwa perjuangan mereka tidak sia-sia.
Ardan membuka matanya perlahan, mencoba memaksakan sebuah senyuman di wajahnya yang penuh luka. "Untuk saat ini, ya. Tapi aku tidak yakin berapa lama kedamaian ini akan bertahan."
Namun, kedamaian itu terasa rapuh. Tanah di sekitar mereka masih bergetar samar, tanda bahwa kehancuran belum sepenuhnya usai. Dalam keheningan itu, suara langkah berat mulai terdengar, semakin lama semakin dekat. Elara memaksa dirinya berdiri, meskipun tubuhnya hampir tidak mampu menopang.
"Apa lagi sekarang?" gumamnya, menggenggam senjata plasma yang hampir habis dayanya.
Dari balik kabut, sosok-sosok mulai muncul. Mereka bukan makhluk raksasa seperti sebelumnya, melainkan manusia—atau setidaknya sesuatu yang menyerupai manusia. Kulit mereka pucat, dengan urat-urat hitam yang menyala di bawah permukaan. Mata mereka bersinar merah, dan langkah mereka seperti boneka yang dikendalikan oleh benang tak terlihat.
"Mereka sudah terinfeksi..." bisik Ardan dengan nada putus asa. "Sisa energi makhluk itu menyebar ke manusia."
Elara merasakan kengerian merayap ke dalam hatinya. "Ini lebih buruk dari yang kita kira."
---
Pertarungan Tanpa Akhir
Makhluk-makhluk itu bergerak dengan kecepatan yang tidak wajar, menyerang Elara dan Ardan tanpa ragu. Elara menembakkan senjata plamanya, tetapi dengan amunisi yang hampir habis, serangannya hanya cukup untuk melumpuhkan beberapa dari mereka. Makhluk-makhluk itu terus berdatangan, jumlahnya semakin banyak.
Ardan, meskipun terluka, memaksa dirinya untuk bangkit. Dia meraih pisau energi yang masih tersisa di tanah, menggunakan sisa tenaganya untuk melawan. Namun, serangan mereka terasa sia-sia. Setiap makhluk yang mereka bunuh tampaknya digantikan oleh tiga lainnya.
"Kita tidak bisa melawan mereka semua!" teriak Elara, mencoba melindungi Ardan yang hampir tumbang.
"Kita tidak punya pilihan," jawab Ardan dengan napas tersengal. "Jika kita berhenti, kita mati."
Mereka terus bertarung, meskipun tubuh mereka hampir menyerah. Elara mulai merasa kehilangan harapan ketika tiba-tiba, sebuah ledakan besar terjadi di dekat mereka, menghancurkan sebagian besar makhluk itu. Dia menoleh, dan matanya membelalak melihat sekelompok manusia bersenjata lengkap muncul dari balik reruntuhan.
"Ayo! Cepat ke sini!" teriak salah satu dari mereka, seorang pria bertubuh besar dengan senjata berat di tangannya.
Tanpa berpikir dua kali, Elara dan Ardan berlari ke arah kelompok itu, meskipun tubuh mereka hampir tidak mampu bergerak. Para prajurit tersebut menembakkan senjata mereka dengan presisi, menghancurkan gelombang makhluk yang terus menyerang.
---
Markas Rahasia
Setelah berhasil melarikan diri, Elara dan Ardan dibawa ke sebuah bunker bawah tanah yang tersembunyi di bawah reruntuhan kota. Bunker itu dipenuhi dengan teknologi canggih dan puluhan orang yang tampaknya selamat dari bencana. Di tengah ruangan, seorang wanita berambut putih berdiri dengan sikap tegas, matanya tajam seperti elang.
"Siapa kalian, dan kenapa kalian masih hidup di luar sana?" tanyanya tanpa basa-basi.
Elara, yang terlalu lelah untuk menjawab dengan sopan, menjawab dengan nada sarkastik. "Mungkin karena kami cukup keras kepala untuk tidak mati."
Wanita itu mengangkat alisnya, tetapi ada sedikit senyum di sudut bibirnya. "Nama saya Komandan Ravena. Kalian berdua baru saja bertemu dengan apa yang kami sebut 'Fase Dua'. Energi makhluk itu telah menginfeksi ribuan manusia, mengubah mereka menjadi pasukan tanpa akal."
Ardan, yang duduk sambil menahan luka di dadanya, bertanya dengan suara lemah. "Bagaimana cara menghentikannya? Kami sudah menghancurkan makhluk utama."
Ravena menggeleng pelan. "Menghancurkan makhluk itu hanyalah permulaan. Energinya tersebar ke seluruh dunia, dan jika kita tidak menemukan sumber utamanya, dunia akan berakhir dalam hitungan minggu."
Elara merasa darahnya membeku. "Jadi, ini belum selesai?"
"Belum," jawab Ravena dengan nada serius. "Dan waktumu hampir habis."
---
Misi Baru
Komandan Ravena menjelaskan bahwa mereka telah menemukan lokasi sumber energi utama—sebuah tempat yang disebut Nexus, di pusat benua yang hancur. Namun, tempat itu dikelilingi oleh makhluk-makhluk terkuat yang pernah ada, dan tidak ada satu pun tim yang berhasil kembali setelah mencoba mendekatinya.
"Kalian berhasil menghancurkan makhluk sebelumnya," kata Ravena. "Itu berarti kalian punya peluang lebih besar daripada siapa pun di sini."
Elara tertawa kecil, meskipun tawanya dipenuhi rasa putus asa. "Kami hampir mati melawan makhluk itu. Dan sekarang kalian ingin kami pergi ke tempat yang bahkan lebih mematikan?"
Ravena menatap Elara dengan tajam. "Ini bukan tentang pilihan. Ini tentang tanggung jawab. Kalian memulai ini, dan sekarang kalian harus mengakhirinya."
Elara dan Ardan saling memandang. Mereka tahu bahwa Ravena benar. Dunia sudah berada di ambang kehancuran, dan mereka adalah satu-satunya harapan yang tersisa.
Dengan berat hati, Elara mengangguk. "Baiklah. Kami akan melakukannya. Tapi kami butuh senjata dan perlengkapan."
Ravena tersenyum tipis. "Kalian akan mendapatkan semuanya. Tapi ingat, misi ini adalah perjalanan satu arah. Tidak ada jaminan kalian akan kembali."
Elara mengangkat bahunya. "Kami sudah terbiasa dengan itu."
---
Menuju Nexus
Saat malam tiba, tim kecil dipersiapkan untuk misi menuju Nexus. Elara dan Ardan memimpin tim tersebut, ditemani oleh beberapa prajurit terbaik dari bunker. Mereka membawa senjata canggih, kendaraan lapis baja, dan peta yang penuh dengan tanda bahaya.
Namun, di dalam hati Elara, ada rasa takut yang tidak bisa dia hilangkan. Dia tahu bahwa apa pun yang menunggu mereka di Nexus akan jauh lebih buruk daripada apa yang pernah mereka hadapi sebelumnya. Tapi dia juga tahu bahwa tidak ada jalan untuk mundur.
Saat kendaraan mereka melaju ke kegelapan, Elara menatap langit yang dipenuhi bintang-bintang yang redup. "Kalau ini akhirnya, semoga kita bisa membuatnya berarti," bisiknya pelan.
Dan dengan itu, perjalanan menuju Nexus dimulai—perjalanan yang akan menentukan nasib dunia.
To be continued...