“Meski kita sudah menikah, aku tidak akan pernah menyentuhmu, Mbi. Haram bagiku menyentuh wanita yang tidak mampu menjaga kesuciannya seperti kamu!” Kalimat itu Ilham ucapkan dengan tampang yang begitu keji, di malam pertama mereka.
Selain Ilham yang meragukan kesucian Arimbi walau pria itu belum pernah menyentuhnya, Ilham juga berdalih, sebelum pulang dan menikahi Arimbi, pria itu baru saja menikahi Aisyah selaku putri dari pimpinan tertinggi sekaligus pemilik pondok pesantren, Ilham bernaung. Wanita yang Ilham anggap suci dan sudah selayaknya dijadikan istri.
Arimbi tak mau terluka makin dalam. Bertahun-tahun menjadi TKW di Singapura demi membiayai kuliah sekaligus mondok Ilham agar masa depan mereka setelah menikah menjadi lebih baik, nyatanya pria itu dengan begitu mudah membuangnya. Talak dan perpisahan menjadi satu-satunya cara agar Arimbi terbebas dari Ilham, walau akibat talak itu juga, Arimbi mengalami masa-masa sulit akibat fitnah yang telanjur menyebar.
(Merupakan kisah Mas Aidan, anak Arum di novel : Pembalasan Seorang Istri yang Dianggap Sebagai Parasit Rumah Tangga)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
7 : Orang Baik dan Merasa Hutang Budi
“Coba diselesaikan secara baik-baik. Dan karena saya sudah tahu, saya ingin kasus semacam ini tidak terjadi lagi.” Mas Aidan sudah mengamankan Arimbi di sebelahnya. Wanita berhijab hitam itu masih menunduk.
“Tadi saya lihat dia buru-buru lari mirip pencuri. Ya saya curiga, tingkahnya saja mengundang kecurigaan saya!” tegas ibu Irma.
“Mas Aidan, sudah. Ini pasti murni salah paham, selain mamah saya yang memang keras.” Mas Rio angkat bicara dan sengaja meyakinkan.
Mas Aidan langsung menatap mas Rio yang jaraknya hanya terpaut sekitar dua meter darinya. “Jadi, dengan kata lain kejadian ini sudah sering terjadi?”
Ibu Irma menghela napas dalam. “Kok jadi melipir ke mana-mana, sih, Mas Aidan?” Ia menatap tak habis pikir pria gagah tersebut.
Mas Aidan berangsur menghela napas dalam. “Yang namanya sikap keras kalau dibiasakan itu enggak baik. Apalagi kalau lawannya sudah merasa dirinya harus tunduk. Kalau hal semacam ini dibiarkan bisa menjadi penyakit, Bu Irma. Maaf, tapi ini jauh lebih baik diakhiri lebih dini daripada kejadian dan malah lebih fatal.” Ia sengaja bersedekap dan sengaja menghela napas dalam. “Sekarang gini saja, Mbaknya berhenti kerja dari sini saja, andai Mbaknya butuh pekerjaan, Mbak bisa kerja di rumah saya.”
“Ya enggak bisa gitu! Dia saja punya hutang dua puluh juta ke saya! Jadi dia kerja di sini buat nyicil!” sewot ibu Irma.
Balasan sewot ibu Irma yang terkesan memiliki hak mutlak Arimbi, refleks membuat mas Aidan kembali menghela napas, tapi alasan itu terjadi karena mas Aidan merasa sangat ngeri.
“Maaf, ... sebenarnya begini.” Arimbi tak hanya diam walau perlakuan sang majikan beberapa saat lalu dan sampai membuat perutnya terluka oleh cakaran, nyaris membuatnya jantungan.
Arimbi menceritakan kasusnya yang terpaksa hutang dua puluh tiga juta dan masih tersisa dua puluh juta, yang mana semua itu untuk pengobatan amputasi sang mamak. Setiap bulannya, gaji Arimbi yang sebesar satu juta langsung dipotong untuk menyicil hutang.
Masalahnya bagi mas Aidan, jika keadaannya malah seperti yang Arimbi ceritakan, kasusnya bisa makin parah dan mirip beberapa kasus kekerasan yang sempat marak baik di dalam negeri maupun kasus yang dialami oleh tenaga kerja Indonesia di negeri tetangga.
“Ya sudah, demi keamanan bersama, mukai sekarang, saya lunasi saja hutang mbak Arimbi. Untuk urusan pembayarannya, bisa Mbak Arimbi cicil semampu Mbak Arimbi. Tadi kan Mbak Arimbi bilang biasa jualan pecel dan gorengan, itu bisa Mbak kembangkan. Namun andai Mbak Arimbi mau tetap sambil bekerja, nanti bisa di rumah saya saja. Demi keamanan bersama, daripada kasus semacam ini malah bikin ibu Irma berakhir di penjara.
Mas Mario nyaris bersuara, tapi pria itu mendadak berpikir, “Bagus malah kalau Arimbi sudah enggak kerja di sini. Kalau aku mau apa-apa sama dia bisa jauh lebih leluasa.”
“Ya ... ya enggak bisa gitu dong, Mas Aidan. Cari orang kerja kan sekarang susah banget!” keluh ibu Irma.
“Tahu begitu, kenapa Ibu Irma masih semena-mena?” balas Mas Aidan dengan santainya.
Ibu Irma menghela napas. “Itu beneran khilaf, Mas. Enggak mungkin terulang, lah!”
Mas Aidan menggeleng lemah. “Enggak, Bu. Saya tetap enggak bisa. Bisa kualat saya, andai saya membiarkan kejahatan apalagi jika kejahatan itu menimpa orang lemah!” Ia masih bertutur lemah sarat perhatian.
“Ya Alloh, ... ada orang sebaik ini. Pantas semua orang sayang dan bahkan segan ke Mas Aidan,” batin Arimbi menatap tak percaya Aidan. Pria itu langsung mengeluarkan ponsel kemudian mentransfer uang untuk membayar hutangnya kepada ibu Irma. Sementara di sebelahnya, ibu Irma yang tampak tidak rela dengan terpaksa membiarkan mas Aidan mentransfer uang.
Arimbi tak lantas pergi walau kasusnya telah usai. Ia menunggu mas Aidan yang masih di dalam rumah ibu Irma untuk mengurus kasus mas Rio. Setelah hampir setengah jam menunggu, akhirnya pria baik yang membuatnya berhutang budi itu muncul, keluar dari rumah ibu Irma diantar langsung oleh mas Rio. Walau tidak disengaja, Arimbi tak sengaja menatap mas Rio yang ternyata sudah lebih dulu menatapnya. Karenanya, Arimbi sengaja melipir dan menjauhi gerbang rumah bercat merah hati pudar di sebelahnya.
“Mbak Arimbi masih di sini?” tanya mas Aidan dan langsung menjadi alasan Arimbi bersemangat.
Arimbi mengangguk optimis. “Mas Aidan, ini maaf banget.”
“Masih urusan yang tadi?” tebak Mas Aidan yang kemudian sampai mengunci gembok gerbang rumah yang ia tinggalkan, sendiri.
“Lebih dari itu sih, Mas. Soalnya saya mau konsultasi,” balas Arimbi.
“Konsultasi gimana, Mbak?” balas Aidan yang siap menyimak sambil tetap menenteng tas kerjanya.
Arimbi segera menceritakan kasusnya dan Ilham. Tanpa ada yang ditutup-tutupi termasuk fitnah keji yang ia dapatkan dari mantan calon suaminya itu.
“Saya enggak bohong, Mas. Orang-orang kampung bisa jadi saksi, bahwa selama ini, saya kerja di Singapura buat membiayai dia. Apalagi kami bertetangga, jadi semuanya beneran blak-blakan, mmm ... bahasanya apa sih ya?” ucap Arimbi.
“Oke, oke, saya paham. Kasus semacam ini memang banyak sih, Mbak. Tapi kebanyakan yang berani begini orang jauh, semacam sengaja melakukan penipuan berencana, jatuhnya. Atau, pihak laki-laki yang sengaja meminta seserahan dikembalikan karena pernikahan batal dan semacamnya. Namun kasus Mbak, tampaknya dia sengaja memanfaatkan status sosial terbarunya untuk mengelabuhi orang kampung yang maaf, tanpa bermaksud menganggap remeh atau menilai seseorang dari latar belakang, kebanyakan orang kampung bahkan kebanyakan orang sekarang kan memang lebih percaya omongan orang yang punya kedudukan daripada orang awam.”
Arimbi yang menyimak dengan serius, berangsur mengangguk-angguk paham.
“Sebenarnya kasus ini memang tidak bisa digugat karen memang tidak ada perjanjian kuat. Kecuali sebelum Mbak sama dia melakukan semacam kesepakatan, kalian sampai bikin surat perjanjian disertai materai. Namun, keadaan akan jadi berubah jika yang menegur dia, orang yang lebih berstatus dari dia. Nanti saya bantu deh.”
“Terima kasih banyak, Mas! Sekali lagi benar-benar terima kasih banyak!” Arimbi sampai menitikkan air mata saking bahagianya. Tak menyangka, sekelas Mas Aidan akan begitu mudah memberinya kesempatan untuk mengeluarkan suara.
“Nanti saya pelajari kasusnya dulu, Mbak. Saya kumpulkan bukti agar tidak dituduh asal menuduh orang. Maaf yah, Mbak bukannya saya meragukan Mbak, tapi biar lebih nyaman, dan tidak membuat siapa pun merasa dirugikan.”
“Iya, Mas. Enggak apa-apa. Namun masalahnya, besok kan dia mau ngadain resepsi, takutnya setelah itu dia lanjut pergi ke mana dan makin sulit dihubungi.”
Mendengar penjelasan Arimbi barusan, mas Aidan tidak memiliki pilihan lain selain segera mengurus kasus Arimbi sekarang juga.