University Prestige School
Malam Jumat Kliwon. Purnama bersinar terang, menerangi rumah sederhana kami. Suasana tenang, tetapi hati kami dipenuhi kecemasan.
Aku, Akbar anak paling bungsu, duduk di samping ranjang Ibu, memegang tangan beliau yang lemah. Suara napasnya yang teratur membuatku merasa sedikit tenang.
Rina, Kakak tertua ketiga, masuk ke dalam ruangan. Wajahnya tampak cemas.
"Bar, barusan Dina sudah transfer belum?"
Akbar menghela napas, "Alhamdulillah, sudah, Teh. Tapi... rasanya enggak enak terus minta bantuan dari dia. Dia juga capek, kan, jadi guru."
Rina mengangguk, "Iya, kakak ngerti. Tapi kita juga butuh, apalagi dengan keadaan Ibu sekarang."
"Benar. Tapi, Bang Faris di Jakarta sudah terlalu sibuk dengan dunianya. Kakak tertua kami itu juga sudah terlalu terlena dengan dunianya." Kata Akbar
"Dan Bang Sony? Dia juga berjuang. Kita semua punya masalah masing-masing. Kakak walaupun lebih tua dari Dina juga tak bisa membantu banyak." Seru Rina
Akbar menatap Rina dengan serius, "Kita ini enam bersaudara, tetapi semua rumit.
Masing-masing dengan beban sendiri."
"Kakak-kakak kita sudah berusaha, tapi sulit. Suami teteh juga cuma bisa ngasih pas-pasan buat sehari-hari keperluan anak. Rasanya berat."
"Kita harus lebih mandiri, meski sulit. Ibu perlu perhatian kita sekarang." Seru Akbar
Di tengah keheningan malam, Rina melanjutkan pembicaraan dengan nada sedikit menggerutu.
"Andai si Lestari masih ada di sini... dasar adik yang enggak tahu diuntung. Dia malah kabur sama kekasihnya, kawin lari begitu." Rina tampak kesal terhadap adiknya yang satu ini.
Akbar menghela napas, "Iya, Teh. Kita semua berjuang di sini, sementara dia pergi begitu saja. Seakan tidak ada tanggung jawab."
"Seharusnya dia ada di sini, membantu kita. Ibu pasti sangat merindukannya."
"Kadang, aku berpikir, jika dia masih di sini, mungkin semuanya akan lebih mudah. Kita bisa saling mendukung." Seru Akbar.
"Tapi dia memilih jalan sendiri. Kita yang harus berjuang menghadapi semua ini bersama."
Akbar menunduk, "Aku hanya berharap dia menyadari betapa pentingnya keluarga. Kita semua memiliki beban masing-masing."
Ibu, yang mendengar percakapan itu, berusaha tersenyum meski wajahnya menunjukkan keletihan.
"Nak, setiap orang memiliki pilihan. Yang terpenting adalah kita tetap bersatu di sini. Keluarga adalah segalanya."
Akbar mengangguk, "Iya, Bu. Kami akan berusaha untuk Ibu. Kita tidak akan menyerah."
Malam mulai menggelap, dan suara angin berdesir di luar jendela. Rina berpamitan untuk pulang ke rumahnya, membawa serta sedikit harapan di hati.
Rina berdiri di pintu, "Akbar, aku akan pulang sekarang. Semoga Ibu bisa istirahat dengan tenang."
"Hati-hati di jalan, Teh. Kalau butuh apa-apa, jangan ragu untuk kembali."
Rina mengangguk, melangkah keluar dari rumah dengan hati yang berat. Akbar kembali duduk di samping Ibu, merasakan kesunyian yang tiba-tiba menyelimuti.
Ibu menatap Akbar "Nak, Rina sudah pulang. Kamu harus beristirahat juga."
"Iya, Bu. Tapi aku masih khawatir. Banyak yang harus dipikirkan."
"Kita tidak bisa mengubah masa lalu, Nak. Tapi kita bisa merencanakan masa depan. Jangan biarkan beban ini menghalangi kamu."
Akbar menghela napas, merasakan beratnya tanggung jawab.
"Aku hanya ingin semuanya baik-baik saja. Keluarga kita sudah cukup terpuruk."
"Percayalah, kamu tidak sendiri. Kami semua saling mendukung, meski dalam keadaan sulit." Ibunya menenangkan.
Akbar tersenyum lemah, merasa sedikit terhibur. Dia memandang purnama yang masih bersinar di luar, berharap akan ada jalan keluar dari segala kesulitan ini.
"Ibu, aku akan berusaha lebih keras. Kita akan menghadapi ini bersama."
Ibu mengangguk, menggenggam tangan Akbar dengan lembut. Malam itu, meski sepi, mereka merasa lebih kuat dalam ikatan kasih sayang yang tak tergantikan.
Kendati begitu, rasa cemas dan tidak berdaya semakin menyelimuti. Akbar tidak bisa menahan air matanya.
Akbar menangis, "Maaf, Bu. Akbar anak yang enggak berguna. Belum bisa kasih apa-apa sama Ibu."
Ibunya, meski lemah, berusaha tersenyum dan mengusap tangan Akbar.
"Nak, kamu sudah melakukan lebih dari yang bisa Ibu harapkan. Merawat Ibu selama tujuh tahun lebih, itu sudah cukup."
Akbar menangis lebih keras "Tapi Ibu butuh lebih dari sekadar perawatan. Akbar merasa gagal."
terdengar suara lembut "Anakku, cinta dan perhatianmu adalah yang terpenting. Ibu tahu kamu berjuang. Itu lebih berharga daripada apa pun."
Akbar mengangguk, merasa sedikit lega, tetapi rasa bersalahnya masih ada.
"Ibu, aku berjanji akan berusaha lebih keras. Kita akan melalui ini bersama."
"Selama kamu di sini, Ibu merasa tenang. Kamu adalah cahaya dalam hidup Ibu."
Purnama di luar jendela bersinar, memberikan harapan di tengah kegelapan. Akbar merangkul Ibu, merasakan cinta dan dukungan yang tak tergantikan.
Di tengah malam, purnama bersinar semakin terang, menerangi ruang yang sunyi. Akbar melihat Ibu sudah tertidur lelap, wajahnya damai meski tubuhnya lemah.
Dengan perlahan, Akbar beranjak dari kursi dan menuju tempat tidur. Dia mencoba memejamkan matanya, berharap bisa terlelap sejenak.
Akbar menatap langit malam yang berbintang, refleksi purnama menerangi pikirannya. Dalam hatinya, dia mengingat semua yang telah dia lakukan untuk Ibu.
berbisik pada diri sendiri "Aku tidak butuh kekayaan. Bagiku, merawat Ibu sudah lebih dari cukup."
Dia memejamkan mata, membayangkan semua momen ketika Ibu tersenyum padanya, saat-saat di mana kasih sayang mereka terasa lebih berharga daripada harta apa pun.
"Cinta dan perhatian adalah yang terpenting. Uang tidak bisa menggantikan waktu yang kita habiskan bersama."
Dengan tekad itu, dia menggenggam sarung guling lebih erat, berusaha menenangkan diri.
Setiap tetes air mata yang mengalir terasa seperti beban yang perlahan terangkat.
"Ibu, aku akan terus berjuang. Aku akan pastikan kamu tidak merasa sendirian. Itu sudah cukup bagiku."
Dia merasa semangat baru mengalir dalam dirinya. Akbar tahu bahwa meskipun hidup ini penuh tantangan, cinta yang dia berikan kepada Ibunya adalah sesuatu yang tidak ternilai.
Namun, rasa kekesalannya masih mengganggu.
Berbagai pikiran menghantui—tentang kesulitan, tentang rasa tidak berdaya, dan tentang tanggung jawab yang terasa terlalu berat untuk dipikul.
Akbar menggenggam sarung guling dengan kuat, berusaha menahan tangisannya. Setiap hembusan napasnya dipenuhi rasa frustasi.
Akbar berbisik pada diri sendiri "Kenapa harus seperti ini? Kenapa semuanya terasa sulit?"
Air mata mulai menggenang di pelupuk mata. Dia berusaha mengingat semua momen indah bersama Ibu, saat-saat ketika semuanya terasa lebih mudah. Namun, kini semua itu terasa jauh.
"Ibu, maafkan aku... Aku merasa gagal."
Dengan napas yang semakin berat, Akbar berusaha menenangkan diri. Dia ingat betapa kerasnya Ibu berjuang, dan betapa pentingnya dia untuk tetap kuat.
"Aku harus bertahan. Ibu butuh aku."
Tetapi, tangisan Akbar semakin kencang, tak dapat dia tahan lagi. Dalam kegelapan, rasa frustasi dan ketidakberdayaan menyerangnya, membuatnya menangis lebih keras. Tanpa disadari, ia membangunkan Ibu yang tengah tertidur lelap.
Ibu dari tempat tidur, berteriak lembut "Nak, kenapa? Apa yang terjadi?"
Akbar, antara isak tangis, mencoba menjelaskan, "Bu, aku merasa semua ini berat. Aku tidak tahu harus bagaimana."
Ibu berusaha mengangkat kepalanya, menatap Akbar dengan penuh kasih. "Sudah, jangan menangis. Ibu di sini untukmu. Kita akan menghadapi ini bersama."
Akbar merasakan kehangatan dari suara Ibu, tetapi rasa sakitnya masih mendalam. "Aku merasa gagal, Bu. Aku ingin semuanya lebih baik."
Dia merasakan betapa beratnya beban yang dipikul anak bungsunya.
suara lembut, "Nak, maafkan Ibu. Seandainya Ibu bisa mengubah segalanya... seandainya Ibu menerima kamu untuk diurus oleh Dr. Tirta. Dia sangat senang saat kamu lahir, kamu dulu anak bayi yang diperebutkan."
Akbar menatap Ibu, hatinya semakin berat.
"Bu, bukan itu yang aku mau. Aku hanya ingin kamu baik-baik saja."
"Ibu tahu kamu sudah berusaha dan mencoba bisnis, tetapi selalu gagal. Ibu merasa sangat menyesal melihatmu seperti ini."
Akbar hanya bisa menangis, merasakan semua usahanya tampak sia-sia di mata Ibu.
Akbar antara isak tangis "Bu, aku berjanji akan terus berjuang. Aku tidak akan menyerah. Kita akan melalui ini bersama."
Ibu terisak, air mata mengalir di pipinya saat melihat penderitaan Akbar.
Ibunya sambil menangis "Maafkan Ibu, Nak. Ibu merasa sangat menyesal melihatmu seperti ini..."
Akbar, melihat Ibu menangis, berteriak dengan penuh emosi, "Ibu, jangan menangis!"
Dia merasa hatinya hancur melihat Ibu yang selalu kuat kini terpuruk.
"Aku akan baik-baik saja, Bu. Jangan khawatirkan aku. Kita bisa melalui ini bersama!"
Ibu berusaha menghapus air matanya, berusaha menenangkan Akbar. "Ibu hanya khawatir, Nak. Kamu sudah berjuang begitu keras."
"Aku tahu, Bu. Tapi aku tidak mau melihat Ibu sedih. Kita harus saling mendukung."
Akbar menghapus air mata dan menatap Ibu.
Ibu berbicara dengan lembut "Sudah, Nak. Jangan dipikirkan lagi. Cobalah tidur. Besok adalah hari baru."
Akbar mengangguk, berusaha menenangkan diri. Dia tahu Ibu hanya ingin yang terbaik untuknya.
"Iya, Bu. Aku akan coba tidur."
"Biar Ibu di sini menunggu, kamu tidak perlu khawatir."
Akbar menarik selimut, mencoba menutup matanya. Meski beban masih ada di pikirannya, dia berusaha untuk menyerahkannya kepada malam.
Dengan suara lembut, Ibu melanjutkan, "Kamu sudah berjuang keras. Istirahatlah."
Akbar merasakan kasih sayang Ibu menghangatkan hatinya. Dalam keheningan malam, dia perlahan terlelap, berharap besok akan membawa harapan baru.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
☆☆D☆☆♡♡B☆☆♡♡
salam kenal 👋jika berkenan mampir juga😇🙏
2024-11-02
0