NovelToon NovelToon
Takdir Di Ujung Cinta

Takdir Di Ujung Cinta

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:3.3k
Nilai: 5
Nama Author: Irh Djuanda

Judul: Takdir di Ujung Cinta

Soraya adalah seorang gadis sederhana yang tinggal di sebuah desa kecil bersama ayah dan ibunya. Setelah ayahnya meninggal dunia akibat penyakit, keluarga mereka jatuh miskin. Utang-utang menumpuk, dan ibunya yang lemah tidak mampu bekerja keras. Soraya, yang baru berusia 22 tahun, harus menjadi tulang punggung keluarga.

Masalah mulai muncul ketika seorang pria kaya bernama Arman datang ke rumah mereka. Arman adalah seorang pengusaha muda yang tampan tetapi terkenal dingin dan arogan. Ia menawarkan untuk melunasi semua utang keluarga Soraya dengan satu syarat: Soraya harus menikah dengannya. Tanpa pilihan lain, demi menyelamatkan ibunya dari hutang yang semakin menjerat, Soraya menerima lamaran itu meskipun hatinya hancur.

Hari pernikahan berlangsung dengan dingin. Soraya merasa seperti burung dalam sangkar emas, terperangkap dalam kehidupan yang bukan pilihannya. Sementara itu, Arman memandang pernikahan ini sebagai kontrak bisnis, tanpa rasa cinta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Perasaan aneh

Soraya menunduk, mencoba menenangkan pikirannya yang berkecamuk. Kata-kata Arman tadi terus terngiang-ngiang di benaknya. Apakah itu hanya bagian dari permainan mereka, atau apakah Arman benar-benar tulus? Soraya tidak bisa memastikan.

Setelah obrolan dengan Tuan Daniel selesai, mereka kembali bergabung dengan para tamu lainnya. Soraya merasa seolah semua orang memandangnya dengan penuh rasa ingin tahu, seperti sedang menilai apakah ia cukup pantas untuk berdampingan dengan Arman. Ia mencoba tersenyum, meskipun hatinya terasa berat.

"Apakah kau baik-baik saja?"

Bisik Arman tiba-tiba saat mereka berdiri sedikit terpisah dari keramaian.

Soraya menoleh, menatap Arman dengan tatapan tajam.

"Aku baik-baik saja. Bukankah ini yang kau inginkan?"

Arman terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Ia tahu Soraya marah dan merasa terjebak dalam situasi ini, dan itu membuat rasa bersalahnya semakin besar. Tapi ia juga tidak bisa menyangkal bahwa di balik semua ini, ada bagian dari dirinya yang tidak ingin melepaskan Soraya.---

Di tengah acara, seorang wanita mendekati mereka. Wanita itu berpenampilan anggun, dengan senyum yang penuh percaya diri.

"Arman,"

Sapanya, suaranya lembut namun tegas.

"Sudah lama kita tidak bertemu."

Soraya menatap wanita itu dengan alis terangkat. Arman terlihat sedikit gugup, sesuatu yang jarang terjadi padanya.

"Nadia," jawabnya singkat. "Senang bertemu lagi."

Nadia tersenyum tipis, lalu mengalihkan pandangannya pada Soraya.

"Dan ini pasti calon istrimu. Halo, saya Nadia. Teman lama Arman."

Soraya merasakan sesuatu yang aneh di balik senyum ramah Nadia, seolah ada maksud tersembunyi di baliknya. Namun, ia membalas dengan sopan,

"Halo, saya Soraya. Senang bertemu dengan Anda."

Nadia tersenyum lebih lebar, lalu menatap Arman dengan tatapan yang sulit diartikan.

"Aku tidak menyangka kau akhirnya memutuskan untuk menikah, Arman. Kupikir kau... terlalu sibuk untuk hal seperti itu."

Arman tersenyum kaku.

"Orang bisa berubah, Nadia."

Soraya merasa ada ketegangan di antara mereka, meskipun Arman berusaha menyembunyikannya. Ia bertanya-tanya siapa sebenarnya Nadia, dan apa hubungannya dengan Arman. Namun, ia memutuskan untuk tidak bertanya—setidaknya, tidak sekarang.

Setelah Nadia pergi, Soraya berbisik pelan pada Arman.

"Siapa dia?"

"Seorang teman lama," jawab Arman singkat, menghindari tatapan Soraya.

Soraya tahu Arman tidak berkata jujur sepenuhnya, tapi ia tidak ingin memperpanjang masalah. Malam itu sudah cukup melelahkan tanpa harus memikirkan wanita lain dalam kehidupan Arman.---

Ketika acara akhirnya selesai, Soraya merasa lega. Ia ingin segera pulang dan melupakan malam yang penuh tekanan ini. Namun, sebelum mereka sempat pergi, Tuan Daniel menghampiri mereka lagi.

"Soraya, kau wanita yang luar biasa," katanya dengan senyum hangat.

"Aku yakin kau dan Arman akan menjadi pasangan yang hebat. Jangan biarkan apa pun menghalangi kalian."

Soraya hanya tersenyum kecil, merasa kata-kata itu lebih ditujukan kepada Arman daripada dirinya. Di perjalanan pulang, ia tidak berkata apa-apa. Arman juga tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Akhirnya, ketika mereka hampir sampai di rumah, Arman memecah keheningan.

"Terima kasih, Soraya. Aku tahu ini sulit bagimu, tapi kau melakukannya dengan sangat baik."

Soraya menoleh padanya, matanya tajam.

"Jangan pikir ini berarti aku memaafkan mu, Arman. Aku hanya memenuhi bagian dari kontrak kita."

Arman menelan ludah, merasa kata-kata Soraya menusuk lebih dalam daripada yang ia harapkan.

"Aku mengerti," jawabnya pelan.

Namun di dalam hatinya, Arman tahu bahwa ia tidak hanya ingin menebus kesalahannya. Ia ingin membuktikan bahwa Soraya layak mendapatkan lebih dari sekadar kontrak—lebih dari sekadar hubungan palsu. Tapi, apakah Soraya mau membuka hatinya lagi? Itu adalah pertanyaan yang hanya waktu bisa menjawab.

"Kau sudah pulang?" tanya Sheila begitu Soraya masuk ke dalam.

Soraya hanya mengangguk lemah, melepaskan sepatu hak tingginya dengan gerakan perlahan.

Sheila yang sedang duduk di ruang tamu langsung bangkit menghampiri putrinya.

"Kau terlihat lelah. Apa semuanya berjalan lancar?" tanyanya lembut, nada khawatir tersirat dalam suaranya.

Soraya memaksakan senyum kecil.

"Ya, semuanya baik-baik saja," jawabnya singkat sambil berjalan menuju kamarnya.

Namun, sebelum ia sempat melangkah lebih jauh, Sheila menahan lengannya.

"Soraya," panggil Sheila,

Kali ini dengan nada lebih serius.

"Kau bisa berbicara padaku jika ada yang mengganggumu."

Soraya terdiam sejenak, menatap wajah ibunya yang penuh kasih. Ada keinginan di hatinya untuk menceritakan semuanya, tentang kontrak, tentang Arman, dan tentang perasaan campur aduk yang ia rasakan. Tapi, ia tidak ingin membebani Sheila dengan masalahnya.

"Aku hanya lelah, Bu," jawabnya akhirnya, mencoba meyakinkan.

"Aku ingin istirahat."

Sheila mengangguk pelan, meskipun rasa khawatir masih tergurat jelas di wajahnya.

"Baiklah, tapi ingat, kau tidak perlu memikul semuanya sendirian, Soraya."

Soraya tersenyum kecil sebelum akhirnya masuk ke kamarnya, menutup pintu, dan bersandar di belakangnya. Napasnya berat, pikirannya terus melayang ke acara tadi malam, terutama pada percakapan dengan Nadia dan kata-kata Tuan Daniel yang terus terngiang di telinganya.---

Di tempat lain, Arman duduk di ruang kerjanya, menatap kosong ke arah jendela. Bayangan Soraya terus menghantui pikirannya. Ia merasa semakin terjebak dalam perasaannya sendiri. Awalnya, kontrak ini hanyalah solusi sementara untuk menyelesaikan masalah keluarganya. Tapi, ia tidak pernah menyangka bahwa semuanya akan menjadi serumit ini.

Ketukan di pintu membuyarkan lamunannya.

"Masuk," katanya singkat.

Ray muncul dari balik pintu, dengan senyum khasnya yang penuh rasa ingin tahu.

"Kau kelihatan kacau, Man. Apa yang terjadi?"

Arman hanya mendengus pelan, tidak menjawab.

Ray menarik kursi dan duduk di depan Arman.

"Ini soal Soraya,bukan?" tanyanya langsung.

Arman menatap Ray tajam.

"Bagaimana kau tahu?"

Ray tertawa kecil.

"Karena sejak kontrak itu dimulai, kau sudah tidak seperti Arman yang kukenal. Kau berubah, Man. Dan aku yakin ini lebih dari sekadar kontrak."

Arman menghela napas panjang, merasa sulit untuk menyangkal.

"Aku tidak tahu, Ray. Aku benar-benar tidak tahu lagi apa yang kurasakan."

Ray mengangguk pelan, ekspresinya menjadi serius.

"Lalu, apa yang akan kau lakukan? Kau tidak bisa terus membiarkan ini menggantung. Cepat atau lambat, kau harus jujur—pada Soraya, dan pada dirimu sendiri."

Kata-kata Ray membuat Arman terdiam. Ia tahu Ray benar, tapi keberanian untuk menghadapi kenyataan itu masih terasa jauh dari jangkauannya.---

Malam itu, Soraya duduk di tepi ranjang, menatap kontrak yang ada di tangannya. Ia membacanya berulang kali, mencoba mencari alasan untuk bertahan atau mungkin... alasan untuk berhenti. Namun, setiap kali ia berpikir untuk menyerah, wajah Sheila terlintas di pikirannya. Ia tidak ingin mengecewakan ibunya, yang begitu percaya bahwa hubungan ini adalah awal dari sesuatu yang baik.

Tapi di lubuk hatinya, ia tahu bahwa mempertahankan sesuatu yang tidak nyata hanya akan melukai dirinya sendiri lebih dalam. Dan satu pertanyaan terus menghantuinya: apakah Arman benar-benar peduli padanya, ataukah semua ini hanya sekadar permainan belaka?

Dengan hati yang berat, Soraya memutuskan bahwa ia harus segera menemukan jawabannya—sebelum semuanya terlambat.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!