NovelToon NovelToon
The RADAN

The RADAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen / Action / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / TKP
Popularitas:200
Nilai: 5
Nama Author: Moon Fairy

SMA Rimba Sakti terletak di pinggiran Kota Malang. Menjadi tempat di mana misteri dan intrik berkembang. Di tengah-tengah kehidupan sekolah yang sibuk, penculikan misterius hingga kasus pembunuhan yang tidak terduga terjadi membuat sekelompok detektif amatir yang merupakan anak-anak SMA Rimba Sakti menemukan kejanggalan sehingga mereka ikut terlibat di dalamnya.

Mereka bekerja sama memecahkan teka-teki yang semakin rumit dengan menjaga persahabatan tetap kuat, tetapi ketika mereka mengungkap jaringan kejahatan yang lebih dalam justru lebih membingungkan.

Pertanyaannya bukan lagi siapa yang bersalah, melainkan siapa yang bisa dipercaya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moon Fairy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 5

Arga, Dimas, Rian, dan Nadya kini tengah berada di balkon rumah Nadya yang berada di luar wilayah Kedungmalang. Mungkin lebih tepatnya mereka berempat sedang bersembunyi dan melihat Aisyah dari atas balkon yang sedang duduk di kursi panjang di trotoar itu. Biasanya kursi tersebut sebagai tempat menunggu untuk lansia ataupun anak-anak sekolah yang sedang menunggu jemputan baik dari orang tua maupun angkutan umum.

Nadya terus menggigiti kukunya—merasa khawatir dengan rencana Aisyah.

...—o0o—...

FLASHBACK ON

“Aku punya ide,” ucap Aisyah menyahut.

Seketika semua menoleh ke arahnya penasaran.

“Apa?” tanya Nadya.

“Pulang sekolah nanti aku bakalan duduk di kursi trotoar dan nunggu penculiknya datang,” jawab Aisyah memberitahu ide ‘buruknya’.

“Gak bisa gitu!” larang Nadya cepat, “kalau kamu yang diculik gimana?” lanjutnya bertanya khawatir.

“Arga yakin kalau penculiknya dari sekolah ini dan orang yang cukup kita kenal, kan? Aku juga berpikir yang sama. Jadi, kalau memang dia orang yang aku kenal, aku tinggal nolak ajakannya aja,” cetus Aisyah kembali menjelaskan.

“Jangan, Syah. Itu malah bikin khawatir kamu yang beneran diculik nanti,” sahut Rian yang diangguki setuju oleh Nadya.

“Yaudah kalau kamu bersedia,” putus Arga. Seketika Nadya dan Rian langsung melongo mendengarnya. “Kita percaya ke kamu, Syah,” lanjutnya.

Aisyah mengangguk singkat kemudian berbicara lagi, “Kalian cuman perlu pantau aku dari balkon rumah Nadya aja.”

FLASHBACK OFF

...—o0o—...

Nadya beranjak dari duduknya dan berjalan mondar-mandir merasa khawatir dengan tindakan gegabah Aisyah. Masalahnya ini bukan sekali-dua kali Aisyah melakukan sesuatu yang di luar nalar. Bahkan sepanjang yang ia tahu sebagai teman dekat Aisyah sejak SMP, sekretaris OSIS SMA Rimba Sakti itu selalu melakukan hal-hal yang aneh. Mulai dari mencoba menyelamatkan anak kucing di parit dengan posisi masih pembelajaran sekolah dan memakai seragam sekolah sampai rela memakai maskot di acara ulang tahun adik Nadya yang saat itu menangis sesenggukan ingin acaranya meriah dengan maskot panda. Kali ini justru mencoba untuk jadi salah satu korban penculikan. Sungguh! Nadya benar-benar heran dengan jalan pikiran anak jenius.

“Duduk, Nad,” pinta Arga, namun tak dipedulikan oleh Nadya.

Nadya justru menatap laki-laki itu kesal. “Aku kenal dia dari SMP bahkan sekelas terus sampai bosan dari kelas 7, walaupun gak begitu dekat, tapi pikiran dia ini gak bisa dibaca, harusnya kamu tau itu, Ga! Apalagi kamu teman dia dari kecil,” terangnya menegur tindakan Arga yang menyetujui rencana Aisyah.

“Justru karena aku tau dia makanya ku setuju,” jawab Arga membuat Nadya memegang kepalanya pening. “Kita cuman perlu percaya sama Aisyah,” lanjutnya sambil memandang Aisyah yang sedang duduk santai menyandar di kursi panjang itu sambil membaca buku.

Di pulpen yang terselip di saku baju pramuka Aisyah terdapat alat yang merekam pembicaraan antara Aisyah dengan seseorang yang mungkin akan menghampirinya dan alat perekam tersebut tersambung langsung pada laptop Dimas. Tak perlu tanyakan dari mana alat perekam itu berasal kalau bukan dari uang Nadya yang membelinya.

“Ada yang datang!” ucap Dimas membuat semua langsung kembali terfokus pada Aisyah.

Di trotoar itu, sebuah motor mendekat dengan suara gemuruh yang semakin keras. Laki-laki dengan helm dan jaket kulit hitam berhenti di depan Aisyah. Ia bisa mengenali celana pramuka yang dikenakan laki-laki itu, tapi hatinya berdegup kencang. Siapa dia? Apa yang akan terjadi?

Laki-laki itu membuka kaca helm-nya dan menatap Aisyah bingung. “Kamu lagi ngapain di sini, Syah?” tanyanya.

Aisyah tersentak sedikit sebelum akhirnya menjawab, “Lagi nunggu Arga. Katanya dia mau nganterin aku ke toko buku.”

“Oh, kenapa nunggunya di sini? Arga sendiri di mana?” tanya laki-laki itu lagi.

“Kayaknya sekarang masih di rumah. Dia bilang sih mau antar Ibunya dulu ke balai desa,” jawab Aisyah sambil tersenyum tipis.

“Kalau gitu sama aku aja ke toko bukunya. Dari pada kamu nungguin Arga lama di sini,” ucap laki-laki itu.

“Iya kali ya?” putus Aisyah sementara. Gadis itu kemudian beranjak untuk naik, namun ponselnya tiba-tiba berdering sehingga ia langsung menjawabnya. “Halo, Ga?”

^^^“Syah, aku otw ke sana. Masih nunggu di trotoar, kan?”^^^

“Eh? Emm—iya masih di sini.”

^^^“Oke, tunggu ya. Lima menit sampe kok.”^^^

“Iya.”

Sambungan itu terputus. Mata Aisyah melirik sekilas ke arah balkon rumah Nadya lalu kembali beralih pada laki-laki itu.

“Maaf ya, kayaknya gak jadi. Bentar lagi Arga sampe. Bisa repot kalau Arga marah cuman gara-gara aku ikut kamu,” ucap Aisyah menolak tumpangan laki-laki itu.

Dia terkekeh sejenak. “Iya, gak apa-apa kok. Aku bisa ngerti gimana hubungan kalian dari kecil,” katanya kemudian menaikkan standart motornya. “Kalau gitu duluan ya, Syah,” lanjutnya sambil menurunkan kaca helm-nya dan mulai menjalankan motornya.

Ketika motor itu mulai menjauh dari sana. Aisyah pun berjalan melewati trotoar menuju zebra cross untuk pergi ke rumah Nadya. Tiba-tiba ada yang datang lagi menghampirinya dengan motor sebelum dirinya menyebrang.

“Aisyah, mau kemana?”

“Eh, Pak Idris. Saya mau ke puskesmas, pak,” jawab Aisyah berbohong.

“Lho, kamu sakit?” tanya guru agama SMA Rimba Sakti yang bernama Pak Idris itu.

Aisyah mengangguk pelan. “Baru-baru ini saya ngerasa gak enak badan, kalau saya gak ke puskesmas saya takutnya nanti langsung flu, Pak,” jawabnya menerangkan.

Gadis itu sepertinya memang harus dihadiahi piala juara pertama atas kerja keras aktingnya hari ini.

“Langsung ke rumah sakit saja, Syah. Mau Bapak antar, ta? Soale saya juga sekalian mau ke sana,” tawar Pak Idris membuat Aisyah tersentak sejenak.

“G-gak usah repot-repot ke sana, Pak. Obat dari puskesmas sudah manjur di saya kok,” tolak Aisyah spontan.

“Lho, ndak apa-apa, Syah. Bapak paham kok kamu pasti khawatir kalau Bapak hantar, apalagi dengan berita penculikan yang lagi ramai sekarang, tapi ini kan demi kesehatanmu juga,” balas Pak Idris menjelaskan.

“Maaf gak perlu repot-repot, Pak. Ibu saya juga sebentar lagi ke sini. Soalnya tadi saya bilang ke Ibu saya mau ke puskesmas untuk berobat,” tolak Aisyah lagi.

Pak Idris pun mengangguk. “Ya sudah, kalau gitu Bapak duluan, ya,” katanya kemudian menjalankan motornya meninggalkan Aisyah yang langsung menghela napas lega.

Ia pun menyebrangi zebra cross tatkala lampu khusus pejalan kaki sudah berwarna hijau. Aisyah masuk ke dalam rumah besar Nadya yang saat itu sedang sepi sebab orang tua Nadya beserta adiknya sedang berada di luar Jawa Timur sehingga Nadya hanya tinggal bersama pembantu dan satpam di rumahnya. Jangan lupakan bodyguard pribadi gadis itu yang selalu siap menjaganya.

Langkahnya menaiki tangga menuju balkon rumah yang luas dan langsung disambut oleh Nadya yang menatapnya kesal.

“Liat tadi! Kalau kamu gak cari alasan, gak tau apa yang terjadi!” marah Nadya pada Aisyah yang baru sampai.

“Sabar, Nad. Aku baru datang,” balas Aisyah singkat.

Mereka pun pindah di ruang keluarga lantai 2 dan duduk membentuk lingkaran di lantai untuk lanjut berdiskusi.

“Untung aja tadi Arga telpon kamu, Syah. Kalau nggak, mungkin kamu udah ikut dia,” kata Rian membuat Aisyah tersenyum tipis.

“Ngomong-ngomong yang pertama samperin kamu itu siapa, Syah?” tanya Dimas.

Aisyah menghela napas sejenak kemudian menjawab, “Yang pertama itu Kevin.”

“Dia bisa jadi salah satu daftar tersangka tuh,” cetus Rian.

“Kayaknya gak mungkin, Yan. Masa iya waketos yang culik mereka,” sanggah Nadya.

“Gak ada yang gak mungkin. Cara dia ngobrol juga mencurigakan seolah paksa Aisyah buat ikut dia, apalagi Pak Idris” sahut Arga yang ikut mencurigai.

Dimas mengalungkan headphone-nya dengan dahi yang berkerut—ikut memikirkan hal yang sama. “Kalian ingat sewaktu kita ngobrol di kantin? Dia datang tiba-tiba waktu kita lagi serius bicarain korban penculiknya. Secara logika, dengan pembicaraan kita waktu itu dan jarak dia sebelum datang, harusnya dia bisa dengar obrolan kita dari kejauhan,” duga Dimas.

“Dia juga ngerangkul pundakku seolah motong obrolan kita. Kalau dari gosip ya, Syifa itu tinggal sendiri dan ingat kan kalau waketos kita ini pernah punya hubungan sama Syifa walaupun cuman 2 bulan? Karena yang paling tahu soal Syifa itu Kevin, jadilah Kevin dan pihak sekolah yang laporin soal hilangnya dia ke polisi. Orang pertama yang bilang kalau Syifa hilang ke pihak sekolah ya Kevin, dengan dalihnya ada titipan dari orang tuanya Kevin buat Syifa. Ini cuman gosip yang beredar di IPS,” jelas Rian.

“Kayaknya anak ini memang patut dicurigai,” sambung Dimas.

Arga belum mengatakan apapun. Otaknya masih mencerna semua perkataan Rian serta mengingat hal mencurigakan apa saja yang sudah dilakukan Kevin selama ini dan kaitannya dengan penculik itu. Seketika matanya terbuka usai ia berpikir lama.

“Penculik ini menculik siswi yang lagi tinggal sendiri di rumah. Terus lebih mudah lagi bagi dia kalau rumah targetnya ada di luar Kedungmalang. Itu memudahkan dia buat bawa korbannya ke rumahnya. Masih ada kemungkinan kalau Kevin menculik mereka karena rumah dia pun di luar Kedungmalang,” Arga mulai mengutarakan pendapatnya.

Kemudian Dimas pun menyahut, “Gimanapun, Kevin mungkin aja ngelakuin ini, tapi kita gak bisa cuman curigain Kevin aja. Masih ada Pak Idris juga yang sikapnya aneh sama Aisyah tadi.”

Nadya menyetujui. “Iya. Pak Idris juga mencurigakan. Dia tau tentang kasus penculikan yang lagi ramai sekarang, tapi masih tawarin Aisyah buat ikut dia ke rumah sakit,” katanya.

“Bisa jadi itu kata-kata yang sama kayak yang dia tawarin ke Cika,” terka Aisyah.

Semakin membingungkan. Kelima dari mereka mencurigai dua orang. Kevin sang wakil ketua OSIS memiliki tingkah yang membuat kasus ini mengarah padanya. Terutama terkait hubungannya dengan Syifa Andani saat kelas 10 serta sebagai orang pertama yang tahu bahwa Syifa hilang. Ada juga Pak Idris—guru agama kelas 11 yang memiliki perkataan mencurigakan.

Siapa yang sebenarnya menjadi pelaku di antara mereka?

Atau mungkin pelakunya memang bukan mereka? Sehingga apa yang dilakukan oleh Aisyah tadi tak ada gunanya dan justru sebenarnya penculikan selanjutnya di hari Jum’at ini memang tak akan terjadi atau bahkan belum terjadi?

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!