Namanya adalah Ryan Clifford. Dia adalah seorang Pangeran yang akan mewarisi tahta kerajaan Utara. Wajahnya tampan, polos dan sangat sederhana. namun, siapa sangka dibalik kepolosannya itu, tersembunyi kekuatan yang maha dahsyat. dia terlahir membawa takdirnya sendiri. ayahnya yang seorang Raja telah menorehkan sejarahnya sendiri. oleh karena itu, dia juga ingin mencatat sejarahnya sendiri.
walaupun seorang pangeran, tidak sekalipun dia memamerkan identitasnya. dan perjalanannya yang seru di mulai disini!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Edane Sintink, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 05
...Bab 05...
Di atas kepingin es sebesar tempat tidur, tubuh mungil Ryan dibaringkan telentang diatasnya.
Walaupun dibaringkan di atas sebongkah es, tapi tubuh anak itu sama sekali tidak menggigil. Bahkan, bongkahan es tersebut meleleh dengan kecepatan tinggi dan bisa dilihat dengan mata telanjang. Beruntung bongkahan es tersebut berukuran besar.
Berjarak tiga meter dari bongkahan es tersebut, sekitar seratus orang mengelilinginya. Mereka membentuk lingkaran dengan Ryan dan Grand Warden ditengah-tengah.
Begitu aba-aba dari Grand Warden diberikan, maka mereka pun langsung mendorong telapak tangan mereka ke depan.
Seketika kabut dingin keluar dari telapak tangan semua orang dan segera menutupi tubuh Ryan.
Tampak tubuh mungil itu kini dilapisi oleh salju putih yang terus mengeluarkan asap dengan hawa yang saling bergantian antara panas dan dingin.
Di sisi pembaringan, Grand Warden pun mengeluarkan satu set jarum emas dari kotak kecil. Dia dengan berhati-hati menusukkan jarum tersebut ke titik-titik akupunktur pada tubuh Ryan termasuk titik pusat tenaga dalamnya.
Tubuh Ryan saat ini dipenuhi dengan jarum yang terus bergetar menimbulkan suara desing yang jelas terdengar di telinga.
Begitu Grand Warden menggerakkan tangannya disertai pengerahan tenaga dalam yang tinggi, pangkal jarum tersebut semakin bergetar seolah ada kekuatan yang tak kasat mata menggerakkan nya.
Grand Warden menunggu sesaat sambil memperhatikan setengah bagian jarum yang tersisa.
Ajaib, jarum-jarum tersebut berubah menjadi bara api yang terus menerus melawan kekuatan hawa dingin dari telapak tangan seratus orang yang mengelilingi bongkahan es itu.
"Huft..," Grand Warden melambaikan tangannya membuat semua jarum yang tertancap pada tubuh Ryan terlepas semuanya dan menancap pada langit-langit goa. Setelah itu, Grand Warden menopang tubuh Ryan agar duduk, lalu menempelkan telapak tangannya ke punggung anak itu.
Wuzzz...
Seketika dari mulut Ryan terdengar suara erangan disertai batuk kecil.
"Bangun!" Kata Grand Warden.
Seketika kelopak mata Ryan yang tertutup menjadi terbuka. Dan dengan perasaan aneh, dia melihat ke sekelilingnya.
"Guru, mengapa ada ramai orang di sini?" Tanyanya dengan polos.
"Tidak apa-apa. Mereka ke sini untuk memberikan permen kepadamu," jawab Grand Warden. Dia segera meraih tubuh Ryan, menggendongnya lalu bagaikan terbang meninggalkan ruangan goa menuju ke luar.
Tak lama setelahnya, seratus orang yang tadi mengelilingi bongkahan es itupun juga ikut keluar.
Dari wajah semua orang, ada kelegaan karena ternyata usaha mereka membuahkan hasil.
"Ryan. Ini permen untuk mu,"
"Ya. Paman juga ada permen,"
Masing-masing merogoh saku mereka dan menyerahkan segenggam gula-gula kepada bocah itu yang langsung menyimpannya ke dalam cincin penyimpanan.
Melihat ini, Grand Warden hanya geleng-geleng kepala. Karena anak ini terlalu pintar. Bahkan, tanpa seijin darinya, Rey sendiri pun tidak akan memiliki akses lagi ke cincin tersebut.
"Sudah. Pergilah main-main," kata Grand Warden sembari menurunkan Ryan ke tanah.
Ryan mengangguk dengan patuh. Kemudian dia segera melompat untuk meninggalkan tempat itu. Namun, alangkah terkejutnya dirinya ketika dia terjatuh seperti karung beras ke tanah.
"Kenapa?" Tanya nya yang merasa aneh. Tidak seperti biasanya ketika dia melakukan lompatan, sepuluh sampai dua puluh meter bukanlah masalah. Tapi saat ini jangankan sepuluh meter, satu meter pun rasanya berat.
"Tidak apa-apa. Cobalah untuk berjalan. Jangan terlalu menginginkan sesuatu yang praktis!" Nasehat Grand Warden.
Ryan hanya bisa mengangguk walaupun dalam hatinya sangat banyak pertanyaan.
Sudah ditakdirkan bahwa setelah ini, mungkin dirinya akan dilatih secara tidak manusiawi oleh Grand Warden untuk memperkuat fisiknya.
Setelah Ryan pergi, mereka hanya bisa mendesah. "Ada banyak hikmah yang dapat dipetik dari kejadian ini,"
Yang lain juga setuju. Karena bakat Ryan ini terlalu mengerikan. Mungkin dengan adanya penyegelan pada pusat tenaga dalamnya, ini akan berdampak baik. Bagaimanapun, pondasi harus kokoh. Jika pondasi kokoh, seberat apapun beban yang ditimpakan padanya, maka itu tidak akan menjadi masalah karena toh pondasinya sanggup menampung beban seberat apapun. Tapi perlu di ingat, walaupun lebih dari setengah kemampuannya di segel, Ryan tetaplah seorang kultivator. Orang biasa tentu saja bukan lawannya. Premisnya adalah, dirinya akan terlihat biasa-biasa saja ketika dihadapkan dengan seorang kultivator. Tapi akan berbeda ceritanya jika berhadapan dengan manusia biasa.
*********
Keesokan harinya, Ryan benar-benar merasakan perubahan pada kehidupannya. Dimana dirinya yang selama ini hanya bermain-main, mengganggu penduduk kampung misterius, membuat onar, terpaksa harus menerima perlakuan keras dari sang guru yaitu Grand Warden.
Dirinya benar-benar dilatih dengan sangat tidak manusiawi. Bisa dikatakan, saat Ramon dan sembilan lainnya dilatih oleh Falcon, mereka merasakan pelatihan yang sangat mengerikan. Padahal Falcon adalah anak didik Grand Warden. Lalu, bagaimana jika dedengkotnya sendiri yang melatih. Bisa mati berdiri Ramon. Ini lah yang dirasakan oleh Ryan Clifford saat ini.
Pada usianya yang belum enam tahun, dia harus berlari antara satu bukit ke bukit lainnya dengan kaki dan tangan diberi bandulan terbuat dari besi. Setiap hari dia harus latihan memikul beban, berenang, menyelam, bahkan berlatih jurus-jurus yang selama ini tidak pernah diajarkan oleh Grand Warden kepadanya.
Dia mau mengeluh, tapi Grand Warden tidak memberikannya kesempatan untuk mengeluh. Dia mau merajuk, tapi Grand Warden tidak terpengaruh. Dia bersembunyi, tapi Grand Warden selalu menciduknya dimanapun dia bersembunyi. Dia menangis, malahan tambah dipukuli oleh Grand Warden. Singkatnya, mau tak mau Ryan harus mau.
Beberapa waktu telah berlalu. Kini, Ryan sedang memasang kuda-kuda ditengah terik matahari.
Di atas kepalanya ada tempayan berisi air. Di kedua lengannya digantungan seember air. Sedangkan di bawah pantatnya ada tiga batang dupa yang menyala dan terus mengeluarkan asap. Jika sedikit saja kuda-kuda nya tidak stabil, maka bara api pada dupa tersebut akan membakar buntutnya.
Keringat sebesar-besar jagung sudah menetes dari sekujur tubuhnya. Dia ingin mengeluh. Tapi Grand Warden berpura-pura tidur dan tidak perduli dengan keluhannya.
Pelan-pelan Ryan ingin meletakkan tong air ke atas tanah. Namun, baru sedikit saja dia bergerak, sebatang jarum telah menancap di ujung jempol kakinya disertai kata-kata ancaman.
"Jika kau tidak jujur, maka kakek akan menusuk mu dengan jarum,"
Ryan menelan ludahnya. Mau bagaimana lagi? Dia sudah bukan kesayangan. Setidaknya seperti itu lah yang ada dalam pikirannya. Dia merasa semua orang sudah tidak lagi menyayanginya. Padahal yang tidak dia ketahui adalah, ini semua untuk dirinya juga. Sulit untuk menjalani hidup tanpa punya kemampuan. Dan ada bermacam-macam jenis kemampuan yang bisa di asah. Salah satunya ya melatih seni beladiri.
Singkat cerita, hari-hari Ryan yang penuh keceriaan berubah menjadi hari-hari yang melelahkan. Perubahan seperti ini sempat membuatnya kaget. Mungkin mudah mengubah hidup dari miskin menjadi kaya. Tapi sangat sulit untuk menerima ketika dari kaya menjadi miskin. Itulah yang dirasakan oleh Ryan.