Nisa anak sulung dari lima bersaudara, dipersunting oleh pria bernama Akil, Nisa berharap pernikahannya membawa perubahan pada keluarganya, Setelah sah sebagai suami istri, Akil memboyong Istrinya (Nisa) kerumah orangtuanya. Di pondok Mertua Nisa banyak menghadapi problem rumah tangga, kesabarannya runtuh setelah 11 tahun berumah tangga, bahkan Ia merasa rumah tangganya belum terbentuk. Hingga suatu ketika Nisa memutuskan untuk mengalah dan kembali ke rumah orangtuanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahmadaniah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12
Pagi itu, Akil sedang menikmati waktu libur kerjanya dan masih terlelap ketika suara ketukan keras tiba-tiba terdengar dari pintu kamar. Nisa terbangun, sedikit bingung, dan mendengar suara ibu mertuanya memanggil dari depan pintu. "Akil, cepat bangun! Kita harus segera berangkat!" seru ibunya dengan nada mendesak, disusul oleh suara tawa kecil kakak ipar yang seolah mengejek.
Akil menghela napas panjang, tampak masih setengah sadar. Sementara itu, Nisa merasa canggung dan tidak enak hati, terutama karena tawa kakak iparnya tadi. Ibu mertuanya kembali berseru, kali ini dengan nada mendumel, “Akil, cepat mandi! Kita sudah terlambat! Ibu harus sampai di acara kerabat pagi ini, dan kamu ikut mengantar.”
Tanpa sempat benar-benar bersiap, Akil buru-buru bangkit dan bersiap. Ibu mertuanya pun mendekati Nisa, memberitahunya dengan cepat, “Nisa, kamu juga segera bersiap, nanti ikut berangkat bersama kakak iparmu dan keponakan. Jalanannya jauh, jadi kita harus berangkat lebih awal.”
Nisa mengangguk meski merasa bingung dan sedikit tertekan. Dalam hati ia bergumam, Kenapa tidak diberi tahu sejak semalam? Jika diberi tahu lebih awal, ia bisa mempersiapkan pakaian dan segala perlengkapan yang dibutuhkan dengan tenang, bukannya tergesa-gesa seperti sekarang.
Sambil bergegas menyiapkan barang-barang, Nisa mendengar kakak iparnya yang sedang menunggu di luar mendumel, “Aduh, lama sekali sih? Jangan lelet, Nisa. Nanti kita semakin terlambat!”
Rasa canggung dan risih menghampiri Nisa lagi. Dalam kebingungannya, ia berusaha memutuskan apa yang perlu disiapkan terlebih dahulu—apakah pakaian untuk acara atau keperluan lainnya. Namun, suara mendesak kakak iparnya terus terdengar, membuatnya semakin tidak nyaman.
Akil dan ibu mertuanya akhirnya berangkat lebih dulu, meninggalkan Nisa dengan pesan untuk membawa barang-barang mereka dan memastikan semua siap untuk acara hajatan di rumah kerabat, yang mungkin akan memakan beberapa hari. Setelah pintu tertutup, Nisa berusaha menghela napas panjang, menenangkan diri, dan mulai membereskan semuanya seorang diri, berharap semuanya bisa berjalan lancar meski harus menghadapi tekanan dari keluarganya ini.
---
Dalam perjalanan menuju tempat hajatan kerabat, Nisa dan kakak iparnya duduk berboncengan di atas motor, namun suasana terasa canggung dan hening. Sejak berangkat, tak satu pun dari mereka yang mengajak bicara. Nisa hanya bisa mengalihkan pandangannya ke pemandangan sepanjang jalan, pikirannya berkecamuk, berusaha mencari cara untuk menghadapi kakak iparnya yang terkesan selalu judes dan jutek.
Saat mereka melintasi sebuah pom bensin, Nisa melihatnya sebagai kesempatan untuk memulai percakapan. Dengan nada hati-hati, ia mencoba bertanya, “Kak, bensinnya masih cukup, kan? Kalau mau diisi dulu, aku yang bayarin, ya.”
Kakak iparnya tidak segera menjawab, namun akhirnya memberikan tanggapan singkat, “Masih cukup,” katanya sambil terus memandang ke depan. Namun dari kaca spion, Nisa menangkap senyum kecil yang tampak sinis di wajah kakak iparnya—senyum yang membuat Nisa semakin merasa tidak nyaman. Meski wajah kakak iparnya tertutup helm, tatapan dan ekspresi dingin itu jelas terasa.
Nisa menghela napas pelan, mencoba menenangkan hatinya. Meski respon kakak iparnya membuatnya sedikit terluka, ia berusaha memaklumi dan bertekad untuk tetap bersikap baik. Dengan perasaan campur aduk, ia kembali membisu, fokus pada perjalanannya, dan berharap bisa menemukan cara untuk memperbaiki hubungan dengan keluarga suaminya meski terasa sulit.
---
Saat suara gamelan khas hajatan mulai terdengar, Nisa tahu mereka sudah semakin dekat dengan tempat acara. Kakak iparnya menepikan motor di pinggir jalan, dan begitu mereka tiba, terlihat suasana yang sudah ramai. Orang-orang saling berbincang, sebagian sedang bergotong royong memasang dekorasi, sementara yang lain menyiapkan makanan di dapur besar di belakang.
Nisa turun dari motor dengan hati-hati, mencoba menenangkan debar jantungnya. Perasaannya bercampur antara canggung dan bingung, terlebih ia belum mengenal siapa pun di sini. Ia menoleh ke arah kakak iparnya yang mulai menyimpan motor, berharap bisa masuk ke rumah bersama. Namun, begitu selesai, kakak iparnya langsung berjalan menghampiri beberapa kerabat yang tampak sudah dikenalnya, bercanda dan tertawa tanpa menoleh ke arah Nisa lagi.
Nisa berdiri di sana, sedikit kikuk. Ia memandang sekitar, masih mencari-cari arah mana yang harus ia tuju, hingga tiba-tiba ia mendengar seseorang memanggil namanya. Saat menoleh, terlihat Akil melambaikan tangan dari kejauhan, menyambutnya dengan senyum hangat. Nisa merasa sedikit lega namun tetap tak bisa sepenuhnya menghilangkan rasa sungkan.
Langkahnya perlahan menuju ke arah Akil, tetapi pikirannya terbersit akan satu hal lain—suasana di sini benar-benar berbeda. Orang-orang berbicara dalam bahasa daerah, nada suara mereka terasa hangat dan akrab satu sama lain. Nisa menyadari bahwa ia dan Akil adalah dua orang dengan kultur budaya dan bahasa yang berbeda, membuatnya semakin merasa asing.
Saat ia berjalan, beberapa orang di sekitar mulai melirik, ada yang menyapanya, dan ada yang sekilas membicarakannya dengan bahasa yang ia tak sepenuhnya mengerti. Meski tak tahu apa yang mereka katakan, Nisa tetap menyunggingkan senyum sopan dan menundukkan kepala sebagai tanda hormat.
Ketika akhirnya sampai di samping Akil, ia menarik napas dalam, lega bisa berdiri di dekat suaminya yang kini menjadi satu-satunya pegangan di tengah orang-orang asing ini. Dengan bisikan lembut, Akil meyakinkannya, “Kamu akan baik-baik saja di sini. Mereka semua keluarga.”
Nisa berdiri di antara keramaian, memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk rewang—memasak, memotong bahan makanan, dan menata peralatan. Semuanya tampak cekatan, bekerja sama tanpa perlu banyak bicara, seolah sudah terbiasa dengan tugas masing-masing. Ingin menunjukkan niat baiknya, Nisa memberanikan diri menghampiri sekelompok ibu-ibu yang sedang merajang sayuran.
“Bu, apa saya bisa bantu sesuatu di sini?” tanyanya dengan lembut.
Beberapa ibu menoleh dan tersenyum hangat kepadanya, menyambut tawarannya dengan ramah. Salah satu dari mereka bahkan berkata, “Oh, mbak istrinya Akil, ya? Silakan ikut saja kalau mau belajar!” Nisa tertawa kecil, dan dengan hati-hati mulai berbaur, mengambil beberapa sayuran untuk ikut dipotong.
Sambil memotong, ia merasa beberapa orang di sekitarnya masih sesekali melirik, mungkin karena dia orang baru di sini. Namun, senyum dan sikap sopan mereka membuatnya merasa sedikit lebih nyaman. Dalam hati, Nisa bertekad untuk menunjukkan bahwa ia mau belajar dan ingin diterima.
Saat Nisa mulai merasa terbiasa dengan suasana, ia melihat ibu mertuanya menghampiri dari kejauhan, wajahnya terlihat lembut namun serius.
“Nduk, ayo bantu ibu di ruang tengah saja. Ada yang perlu disiapkan di sana,” kata ibu mertuanya dengan nada halus. Nisa mengangguk, lalu meminta pamit pada ibu-ibu yang ada di sekitarnya. Beberapa dari mereka mengangguk paham, dan Nisa melangkah pergi dengan perasaan lega.
Saat berjalan beriringan dengan ibu mertuanya, ia mendengar beberapa suara samar-samar di belakangnya, sekelompok ibu-ibu berbicara salah satu suara terdengar berkata, “Menantumu cantik, ya, Bu, dan mau berbaur dengan kita.”
Ibu mertuanya tersenyum tipis mendengar pujian itu, sejenak menoleh ke arah Nisa dan berkata, “Iya, nduk. Dia ini anaknya baik.” Nisa, yang menangkap percakapan itu meski hanya sepintas, merasa hangat mendengar pujian tersebut. Rasa canggung yang tadi ia rasakan kini mulai berubah menjadi kehangatan yang membuatnya semakin yakin bahwa ia bisa diterima di tengah keluarga besar suaminya.