Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Melihat respon Dinar yang tertawa, Arin cemberut disko, "Kok malah ketawa sih Mbak? Memang ada yang lucu?!" Kesalnya pada Dinar.
"Ya masalahnya kamu ini lucu, Rin. Tumben kali minta diajari masak. Biasanya juga kalau mau sesuatu, tinggal minta sama Mbak, nanti Mbak masakin. Eh, ini mau belajar masak. Kamu kesambet apa Rin?" Candanya.
"Sekali-sekali Mbak, Arin mau belajar masak. Emang enggak boleh nih?"
"Ya, boleh.. Memang kamu mau masak apa dek?"
"Mau buat masakan khas minang kabau, Mbak. Arin kan enggak bisa masaknya. Tapi, denger dari Mas Vano, kalau Mbak Dinar pintar masak gulai-gulaian sama rendang-rendangan, gitu deh Mbak pokoknya."
"Yaudah, nanti Mbak ajarin masak. Memang kamu mau belajar masak buat sapa?"
"Buat siapa ya? Emmm a-anu, Mbak, buat pacar Arin hehe..," Cicitnya pelan.
"Hah? Pacar?!" Suara Dinar cukup keras, membuat Arin melotot, dan menyuruhnya diam.
"Mbak ih, jangan keras-keras! Ish Mbak ni ah! Nanti kedengaran sama Bapak bisa kenak pentung sapu aku Mbak."
"Kenapa Bapak enggak boleh tau? Emang Bapak bakal marah kalau sampai tau kamu pacaran?"
Gadis itu mengangguk, " Arin baru aja ngejalin hubungan sama teman sekampus Arin, Mbak. Rumahnya juga gak jauh dari desa kita kok, hitungannya juga tetangga. Dia itu namanya Dicky."
"Kenapa kamu gak cerita ke Bapak? Bukannya Bapak juga berhak tau, putrinya udah cinta-cintaan, bahkan pacaran? Toh kamu juga udah dewasa."
Arin menggelengkan kepalanya.
"Mana dibolehin kalau Arin pacaran, Mbak. Bapak itu kalau sama Arim ketat kali! Semua yang Arin lakuin harus ngedapetin persetujuan Bapak. Cuma dulu, pas Mas Vano masih lajang, Mas Vano selalu ngebujuk Bapak buat ngizinkan Arin ini itu lah. Kalau Enggak ada Mas juga buat ngomong sama Bapak, boro-boro di-ijinin, Mbak. Bapak pokoknya jadul, kolot banget deh. Nah Arin-kan anak muda banget ya kan Mbak, kalau emang nurutin Bapak, pasti yang ada aku jadi anak kuper buangettt! Pokoknya Arin gak mau kalau jadi kuper."
Mendengar unek-unek adik iparnya, Dinar hanya mengangguk kepala paham. Ternyata Pak Arga Ayah yang baik untuk menjaga anak perempuannya.
Meskipun, kadang cara orang tua diartikan sangat tidak pas oleh anak mereka, namun, percayalah mereka juga memiliki tujuan yang sangat baik untuk anak-anaknya.
"Bapak juga melakukan ini demi kebaikan kamu, Rin." Ujarnya menasihati Arin.
"Yaa, tau, Mbak. Tapi Arin udah besar loh Mbak. Sebentar lagi juga umur-umur mau nikah. Lagian Arin juga gak pernah macem-macem kalau pacaran. juga tau batasan apa yang bisa dan gak Arin lakuin"
"Baik buruknya, kamu pasti udah mempertimbangkan semua."
"Habis siap ber-beres, nanti Mbak ajari cara masaknya."
Arin menatap dengan berbinar, "Aaaaaa!! Makasih Mbak Dinar!! Mbak memang yang terbaikk!!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Harum bumbu Rendang menyeruak ke seluruh rumah. Pak Arga, yang kala itu sedang berada di luar, meletakan korannya, dia mulai memasuki rumah. Lelaki matang, body cool dan wajah yang mampu mengimbangi ketampanan Vano itu berjalan menghampiri dapur.
Namun, dia terhenti ketika melihat putri bungsunya sedang memotong dengan mengenakan apron, bersama dengan menantunya.
"Tumben Arin ikut bantu kamu masak?"
Dinar melirik ke arah Arin sejenak, sebelum menjawab, "Oh iya, Pak. Katanya Arin mau diajarin masak rendang, Pak."
"Tumben kali anak itu mau masak."
Arin mendengarnya berdecih, "Masak salah, enggak masak makin salah. Lagian pun Pak, bukannya anak perempuan harus bisa nguasai dapur, buat nyenengin perut suami?"
"Iti tau kamu..."
"Ya kan Bapak hampir tiap hari bilang gitu terus ke Arin, apal di luar otak itu mah."
Pak Arga menggeleng-gelengkan kepala. "Anak perempuan yang udah dewasa itu harus pinter ber-beres, dan masak. Untuk memanja'in suami, supaya gak jajan di luar untuk cari kenyamanan. Itu fakta Rin, Bapak bilang gini buat kebaikan kamu ke depannya."
"Halahhh! Dasarnya lelaki, ya lelaki, Pak. Sama kayak ibaratnya seekor kucing, yang di kasi ikan asin, ya langsung di-hap aja, tanpa mikir belakangnya itu gimana," Bantahnya.
"Rin, jangan ngebantah. Gak boleh ngebantah aja kalau dinasehati," ujar Dinar mengingatkannya.
"Biarin sih, Mbak. Tapi Arin bener sih, lelaki mah gitu, Mbak, hidung belang. Liat yang montok dan mulus dikit, gak mikir langsung disikat. Kaya apa tuh, anu, Mbak...di sinetron-sinetron, Bapak mertua sama menantunya. Lah kalau si laki-laki bisa kontrol, mana bisa skidipap-pap sama menantunya."
Dinar tidak sengaja bertatapan dengan Pak Arga. Kenapa dia merasa tercubit dengan apa yang Arin katakan? Bukannya mereka tidak melakukan lebih di luar batas, terus pertanyaannya? untuk apa Dinar merasa tercubit?
...BERSAMBUNG,...