Hi hi hayyy 👋
Selamat datang di karya pertamaku... semoga kalian suka yaaa
Marchello Arlando harus mendapat julukan pria buruk rupa setelah insiden yang membuatnya mengalami banyak luka bakar.
"Aku tak sudi bersamamu lagi Chello. Aku malu memiliki pasangan yang buruk rupa sepertimu."
Marah, benci dan juga dendam jelas sangat dirasakan Marchello. Namun keadaannya yang lemah hanya bisa membuat dirinya pasrah menerima semua ini.
Hingga 7 tahun berlalu, Marchello dipertemukan oleh fakta tentang keluarga kandungnya dan membuatnya menjadi penerus satu-satunya. Menjadi CEO sekaligus pemimpin mafia yang selalu menggunakan topeng, Marchello bukan lagi pria berhati malaikat seperti tahun-tahun sebelumnya.
Hingga pada suatu hari, ia diminta menikah untuk bisa memberikan penerus bagi keluarganya. Wanita yang dijodohkan untuknya justru mengalihkan posisinya dengan adik tirinya sendiri setelah tahu keadaan Marchello yang memiliki rupa misterius. Mungkinkah perjodohan akan tetap berlanjut?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qaeiy Gemilang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perdebatan
Vilme terisak di depan makam ibunya yang telah lama berpulang. Baru saja ia mengetahui bahwa pelaku pembunuhan ibunya ternyata adalah ibu tirinya sendiri.
Lebih parahnya, aksi keji itu didukung oleh ayahnya sendiri. Hatinya terasa remuk mengetahui orang yang seharusnya melindunginya malah menjadi musuh terbesarnya.
“Sebegitu cintanya daddyku pada mantannya hingga ia diam saja kala istrinya dibunuh. Kalau memang ia tak mencintai mommyku, mengapa ia tak menceraikannya saja? Kenapa harus meracuni mommyku hanya demi bisa kembali pada ibu dari Kak Jessica itu?” isak Vilme dengan begitu histeris seraya menggenggam tanah di makam ibunya.
Marchel yang berada di sampingnya menggenggam erat tangan Ime seraya berbisik lembut, “Ime, tenanglah. Hukuman berat pasti akan menimpa ibu tiri dan ayahmu, Kita akan melalui ini bersama.”
Menoleh dan menatap Marchel dengan terpaku, “Kau sangat mencintai Kak Jessica di masa lalu. Apa kau tak ingin membelanya?” tanya Ime dengan wajahnya yang sendu.
“Kenapa aku harus membela orang yang salah? Meski sebesar apa pun yang terjalin antara aku dan dia, aku tak mentolerir kesalahan.” Balas Marchel yang membuat Ime tersenyum kecil.
“Mari kita pulang!” ajak Marchel yang diangguki oleh Ime.
Vilme masih terisak dalam perjalanan pulang. Hatinya begitu terluka, tak menyangka ayahnya pun sebenci itu pada ibu kandung Vilme.
Marchel pun merasa iba melihat kondisi istrinya yang sangat rapuh. Ia pun mendekap Ime dengan erat di dalam mobil hingga Ime tertidur lelap di pelukannya.
Sesampainya di mansion, Tuan Vincent terkejut kala Marchel menggendong Vilme. “Apa yang terjadi padanya Marchel?” tanya Tuan Vincent
“Dia tak apa-apa, grandpa. Dia hanya kelelahan.” Jawab Marchel.
Tuan Vincent mengangguk paham, “Ya, semua ini pasti sangat sulit baginya. Dia sangat sedih dan kau harus selalu ada untuknya.” Ucapnya
“Tentu grandpa. Kalau begitu, aku masuk dulu,” pamit Marchel yang diangguki oleh Tuan Vincent.
Sore itu, langit mulai memerah dan angin berhembus sepoi-sepoi saat Aaron, teman kuliah Vilme, tiba di mansion milik suami Vilme.
Dengan langkah pasti, Aaron ingin membahas rencana agar Vilme kembali melanjutkan kuliahnya yang sempat terhenti karena pernikahan mendadaknya.
“Anda lagi?” ucap Lucas.
Aaron menatap dengan malas, “Ya, mana Vilme? Aku ingin bertemu dengannya.” Balas Aaron seraya merapikan rambutnya.
“Vilme tak bisa sembarangan bertemu orang.” Suara tegas dari seorang pria yang mengenakan penutup wajah ini membuat Aaron menatapnya dengan tajam.
“Inikah Marchello yang dibicarakan orang-orang? Menggunakan harta warisan sebagai pengancam wanita muda, apakah serendah itu caramu untuk mendapatkan istri?” ucap Aaron dengan tatapan tak suka.
Marchel menaikkan sebelah alisnya, “Kau tak punya hak untuk mencampuri urusanku.” Balas datar Marchel.
“Tentu saja ini penting karena Vilme adalah temanku dan aku sudah berjanji untuk melindunginya. Sayangnya, aku terlambat menyelamatkannya dari pria brengs *k sepertimu. Kau pasti mengancamnya agar dia mau menikahimu kan?” tegas Aaron.
Marchello hanya menatapnya tanpa membalas sepatah kata pun. Marchello berbalik dan tak berniat meladeni pria ini.
“Aku ingin bicara dengan Vilme, Bisakah kau tak mengekangnya untuk berinteraksi dengan orang lain?” tanya Aaron dengan nada tegas.
Marchello menghentikan langkahnya sembari menoleh sekilas pada Aaron, “Kurasa tak ada perkataan penting yang akan kau ucapkan padanya.” Balas Marchello.
“Tentu saja penting karena aku akan mengajaknya kembali kuliah. Dia punya impian dan kau tak bisa merampas semua hak hidupnya meski kau suaminya,” tegas Aaron.
Vilme yang berada dalam kamarnya dan yang tengah melihat dari kaca jendela pun terkejut mendapati Aaron yang tengah bersitegang dengan Marchel. Vilme pun langsung menggunakan lift untuk turun ke lantai bawah dengan cepat.
Sementara, kini Marchello mengernyitkan dahinya dan menatap Aaron dengan pandangan sinis. “Vilme tidak akan melanjutkan kuliahnya. Dia sudah menjadi istriku dan tidak perlu lagi menghabiskan waktunya untuk hal-hal yang tidak penting seperti itu. Dia bisa memiliki apa saja tanpa harus melelahkan dirinya sendiri.” Jelas Marchello.
“Tapi pendidikan adalah hal yang penting dan pengalaman tak bisa digantikan dengan kemewahan sebesar apa pun itu.” Ucap Aaron.
“Aku tak akan setuju karena aku tahu alasanmu adalah untuk mendekatinya.” Balas Marchello datar.
Aaron justru terkekeh mendengar ucapan Marchello. “Kau kira aku ini tak punya moral, huh? Aku tahu Vilme sudah bersuami dan aku tak mungkin memanfaatkan kesempatan padanya, kecuali jika dia sendiri yang memintaku untuk membawanya kabur darimu. Aku akan dengan senang hati menjadi suami barunya,” ucap Aaron dengan santai.
Marchello menatap tajam Aaron, “Kau!” Geram Marchello.
“Aaron!” panggil Vilme yang membuat kedua pria itu menoleh.
Aaron mendorong tubuh Marchello menjauh, Aaron dengan semangat langsung berjalan mendekati Vilme. “Vilme, aku merindukanmu”
Aaron langsung memeluk Vilme begitu saja dan membuat Vilme mendorongnya dengan halus.
“Maaf Aaron, aku sudah bersuami.” Jelas Vilme.
Aaron menatap Vilme dengan pasrah, Aaron sebenarnya masih ingin memeluk wanita yang sudah lama ia sukai.
“Bukankah kau harusnya masih di Belanda? Aku tak menyangka kau akan kembali secepat ini.” Tanya Vilme.
“Aku sudah melakukan apa pun yang daddyku mau dan akhirnya ia juga menyetujuiku kembali untuk kuliah disini bersamamu. Sayangnya, ternyata kau justru sudah menikah. Tapi Vilme, ayo kembalilah kuliah lagi!” jawab Aaron sembari menggenggam tangan Vilme.
Vilme menarik tangannya kembali, “Aku ingin, tapi sekarang statusku telah berubah dan apa pun yang ingin kulakukan haruslah atas izin darinya.” Jelas Vilme dengan menoleh pada Marchel.
“Maksudmu pada pria botak itu?” tunjuk Aaron pada Marchello yang membuat Marchello menatapnya tajam.
Lucas sendiri sampai menahan tawa karena baru kali ini ada yang berani mengatakan Marchello seperti itu.
“Apa maksudmu hah?” tegas Marchello tak terima.
“Kenapa, kau tak terima? Kalau kau memang tidak botak, maka buka saja seluruh penutup identitasmu itu. Apa kau takut kalau rupa burukmu tersebar?” ucap Aaron seraya menyeringaikan senyumnya.
“Aaron, kau tak boleh bicara seperti itu pada suamiku. Bagaimana pun juga, dia lebih tua darimu. Jaga ucapanmu dan hargai aku sebagai istrinya,” tegur Vilme.
“Vilme, aku sebenarnya kasihan padamu karena kau ini pantas mendapatkan yang lebih baik darinya.” Jelas Aaron.
Tatapan mata Aaron kini tertuju pada kaki Vilme. “Ini...kenapa jari kakimu diperban? Apa pria tua ini yang melukaimu? Katakan padaku Vilme!” tanya Aaron khawatir.
“Bukan Aaron, ini karena salahku sendiri. Marchel tak pernah jahat padaku.” Jelas Vilme yang membuat Aaron masih menatap tak suka pada Marchello.
Marchello berjalan menghampiri Vilme, “Kau dengar itu? Sekarang pulanglah dan jangan ganggu waktu kami,” ucap Marchello sembari menggenggam tangan Vilme.
“Aku masih ingin bicara dengannya.” Balas Aaron.
“Tidak! Vilme butuh banyak istirahat dan mendengarkan pembicaraanmu adalah hal yang tak penting.” Tolak Marchello.
Marchel menoleh pada Vilme, “Masuklah Ime!” titah Marchel.
Aaron menatap sendu Vilme yang mulai menjauh, “Vilme, aku menunggu nada pianomu lagi.” Pekik Aaron yang membuat Vilme membalikkan badannya dan hanya tersenyum kecil pada Aaron, sebelum akhirnya ia berlalu lagi.
Marchello menatap tajam Aaron, “Pergilah dan jangan ganggu rumah tanggaku lagi, apalagi Vilme!” tegas Marchello kemudian berlalu pergi.
Mendengar kata-kata itu, amarah Aaron memuncak, Hatinya hancur mendengar Vilme dianggap sebagai benda yang bisa dikuasai Marchello. Namun, Aaron sadar bahwa dia tidak bisa berbuat banyak.
“Aku harap perkataanmu benar kalau Marchello tak pernah menyakitimu, Vilme” Batin Aaron dengan senyum getirnya.