Karie yang ingin menjadi Sikerei kesatria Maya demi mendapatkan kehidupan yang lebih baik semua halangan ia lewati, namun kakaknya selalu menghalangi jalannya dalam Menjadi Sikerei pilihan merelakan atau menggapainya akan memberikan bayaran yang berbeda, jalan mana yang ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Io Ahmad, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pertunjukan dimulai
“Sebetulnya siapa yang kita tunggu, Senna?” tanya Eon dengan nada bingung, matanya menyipit mencoba memahami situasi yang semakin rumit.
“Istar…” jawab Senna dengan tenang, namun ada ketegangan yang tersembunyi di balik suaranya.
“Wanita yang bercinta denganku!?” Eon mengibas-ngibaskan tangannya, wajahnya memerah karena marah dan bingung. “Tidak mungkin ia orang Floral. Tidak mungkin ia, apa yang membuatmu berpikir begitu?”
“Saat kau berada di rumah bordil tadi, kau tidak bisa dibangunkan sama sekali, sekeras apa pun aku mencoba. Namun, begitu keluar dari rumah itu, kau terbangun dengan mudah.”
“Itu saja?” Eon mengerutkan kening, mencoba mengingat kembali kejadian yang baru saja dialaminya.
“Pikirkan polanya, kau itu ditanami ilusi. Sebenarnya kau tidak benar-benar bercinta dengannya, kau jatuh kedalam alam bawah sadarmu,” Senna menunjuk matanya, “Aku melihat aliran Maya di otakmu berantakan, sama seperti orang yang terkena ilusi.”
Eon hanya terdiam, merenungi kata-kata Senna. Mencoba memahami apa yang terjadi sebelumnya sembari mengikuti Senna yang membuntuti mangsanya. Memang saat itu perasaan hangat membaluti ku, saat mata kita bertemu dan aku mulai terpaku, suasana seperti air tenang dan aroma teratai mekar seperti membiaskan dunia.
“Kau lihat saja, aku akan urus yang satu ini, kau amati saja dari kejauhan.” kata Senna dengan yakin
Istar tidak sendiri. Mereka menyusuri blok dengan deretan toko-toko yang mulai menutup. Cahaya fajar yang redup menerangi jalan, menambah kesan misterius. Angin pagi yang dingin membawa aroma salju segar, menciptakan kontras dengan ketegangan yang mereka rasakan.
Hingga di ujung pintu gerbang Utara Aisir Istra menyadari sesuatu tusuk sanggul nya berharga nya tertinggal, “ Erin, sepertinya aku meninggalkan sesuatu, kamu lihat keadaan anak-anak aku menyuruh Hani menginap menemani Karie, kamu pergi saja duluan.”
Eh, baiklah,” jawab Erin dengan sedikit ragu, tetapi kemudian tersenyum. “Kamu cepat kembali, ya. Aku akan pastikan semuanya baik-baik.”
Istar kembali menyusuri jalan yang telah ia lewati untuk menuju kembali ke tempat kerjanya. Langkahnya cepat, namun tiba-tiba ia berhenti ketika melihat seorang nenek dengan banyak barang bawaan di pundaknya. Nenek itu tampak kebingungan, memegang selembar kertas dengan alamat yang tertera di atasnya. Cahaya lampu jalan yang redup menambah kesan sepi dan misterius pada blok yang gelap itu.
Istar mendekati nenek tersebut dengan hati-hati. “Permisi, Nek. Apakah Anda butuh bantuan?” tanyanya dengan lembut.
Nenek itu mengangkat wajahnya, matanya yang lelah tampak bersinar dengan harapan. “Oh, terima kasih, Nak. Saya mencari alamat ini, tapi sepertinya saya tersesat,” jawabnya, menunjukkan kertas di tangannya.
Istar melihat alamat tersebut dan mengenalinya. “Saya tahu tempat ini. Mari, saya antar,” katanya sambil mengambil beberapa barang bawaan nenek itu.
Istar menyipitkan mata, mencoba mengenali wajah gadis itu. “Kau gadis yang bersamaan pelanggan yang aku layani sebelumnya Senna bukan ya?. Kata nenek ini ia tinggal di sini, apa benar?” tanyanya.
Ternyata itu Senna. “Benar, Nona.” seraya mengangkat tangan memberi aba-aba “ Cukup Eon.” seru Senna. Seketika, nenek itu melebur menjadi genangan darah mengalir di atas alas kaki Istar
Istar terkejut dan mundur beberapa langkah. Matanya menyipit, mengamati darah yang mengalir di tanah. Ia merasakan dinginnya cairan merah itu menyentuh ujung sepatunya. “Apa maksudnya ini?” tanyanya, suaranya bergetar dengan ketegasan yang dipaksakan.
Senna hanya mengangkat alis, wajahnya tetap tanpa ekspresi. Ia melangkah maju, mengabaikan genangan darah yang kini mengotori lantai. “Pernah mendengar tentang ‘pemuliaan’?” tanyanya, seolah-olah kejadian barusan hanyalah bagian dari percakapan biasa. “ Untuk mendapatkan bibit unggul petani mengeliminasi bibit yang lain nya.”
Istar tetap diam, matanya mengunci pada Senna dengan intensitas yang bisa menembus baja. Waktu seakan melambat. Akhirnya, ia berbicara, suaranya rendah dan penuh dengan kemarahan akan ingatan masa lalu. “Ternyata setelah penyucian, masih ada yang memburu kami, setelah sepuluh tahun. yang saat mereka dapat hanyalah tangan kosong. Dan penipu itu, kau salah satu peliharaannya!?”
Senna hanya mengangkat bahu, senyum tipis menghiasi bibirnya. “Terserah apa yang kamu katakan,” jawabnya dengan tenang. “Saatnya mengembalikan apa yang sudah dititipkannya. Dari penglihatan ibu, ia ada di sini, wadah yang ditunggu.” Senna perlahan mengeluarkan bilah pedang yang dialiri sifat Maya. “Jika kamu memberitahu keberadaannya, kematianmu tidak akan menyakitkan.”
Tanpa aba-aba, dengan hanya sedikit menggerakkan kakinya, serpihan runcing kristal tumbuh seperti ilalang menerjang menuju Senna.
Senna melompat ke samping, menghindari serangan kristal yang tiba-tiba muncul. Ia menatap Istar dengan mata tajam, menyadari bahwa lawannya tidak akan menyerah begitu saja. “Jadi, kamu memilih jalan sulit,” katanya, suaranya tetap tenang namun penuh dengan ancaman tersembunyi.
Istar tidak menjawab, hanya mengangkat tangannya lagi, memanggil lebih banyak kristal untuk menyerang. Dalam hatinya, Istar terkejut. Ternyata Senna yang dihadapannya benar-benar putri sulung dari Kekaisaran Elinalis, Kaisar ke-12. Ia tidak menyangka akan berhadapan dengan seseorang yang begitu penting.
Saat serpihan kristal terpotong oleh Senna tanpa perlu mengayunkan pedangnya, Istar semakin yakin. Ini bukan sembarang lawan, ini adalah putri Kaisar Elinalis. Ia merasakan ketakutan dan kekhawatiran bercampur aduk dalam dirinya.
“Kau… putri Kaisar Elinalis? Tidak mungkin!” pikir Istar, hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Senna, dengan tatapan tegas, berkata, “Suadah terlambat untuk meminta belas kasih ku”
Senna tahu pertarungan ini akan membuat keributan dan memancing perhatian orang sekitar. Ia menebas pijakan mereka dan ternyata tebasan itu sanggup memotong ruang dan mereka berpindah tempat ke dalam hutan di pegunungan Aisir.
Mereka tiba di hutan lebat. Pepohonan tinggi menjulang, kabut tipis menyelimuti tanah. Istar kehilangan pijakan, terjatuh ke tebing bebatuan. Rasa sakit tajam menjalar dari kakinya yang terkilir.
Dari kejauhan, Senna mengambil ancang-ancang. Pedangnya yang rapuh berkilau samar di bawah sinar matahari yang terhalang kabut. Dengan satu gerakan cepat, ia melayangkan tebasan ke arah Istar. Menyadari bahaya yang mendekat, Istar menyelimuti tubuhnya dengan kristal tebal, berharap itu cukup untuk melindunginya.
Namun, tebasan Senna begitu kuat. Kristal itu terbelah tepat di perut Istar, pecahannya berkilauan sebelum menghilang kembali ke bentuk maya. Istar terhuyung, rasa sakit menjalar dari luka yang dalam.
“Ini terlalu mudah,” gumam Senna, napasnya berat.“Menghadapi para penjilat di istana lebih sulit dari ini…”
Tiba-tiba, tubuh Senna mati rasa. Matanya melebar saat ia merasakan kekuatan meninggalkannya. Ia terjatuh, tubuhnya meluncur dari tebing, hilang dalam kabut yang tebal.
“Eon?” bisik Senna, suaranya lemah.
“Berbaringlah, mungkin kamu masih pusing. Saat aku coba menangkapmu dari ketinggian, wajahmu terbentur ranting kecil,” celetuk Eon, menunjuk pohon pinus di atas mereka.
Senna mengangguk, mengagumi kemampuan Eon. “Memang hebat kekuatan manipulasi tubuhmu, Eon. Saatnya mengetahui jawaban.” Dengan langkah hati-hati, Senna mendekati Istar yang terikat itu.
Istar menatap Senna dengan mata penuh kebencian, namun ada juga ketakutan yang tak bisa disembunyikan. Senna berhenti beberapa langkah darinya, menatap langsung ke matanya. “Mata Flos itu… Kau juga orang Floral?”
Mata mereka bertemu, dan Senna melihat ingatan masa lalu Istar. Kemampuan memasuki pikiran orang lain hanya bisa terjadi ketika lawan sudah merasa kalah dari pengguna.
“Wadah itu… seperti salah satu peserta di…” Senna tertawa cengengesan. “Eon, drama ini semakin menarik.” Ia berjalan menjauh, meninggalkan Istar yang terikat. “Gunakan tubuhnya, Eon. Temui aku besok.”
“Dengan senang hati, Puteri,” kata Eon dengan senyum dingin. Istar menjerit ketakutan, menyadari apa yang akan dilakukan Eon.