Misteri Rumah Kosong.
Kisah seorang ibu dan putrinya yang mendapat teror makhluk halus saat pindah ke rumah nenek di desa. Sukma menyadari bahwa teror yang menimpa dia dan sang putri selama ini bukanlah kebetulan semata, ada rahasia besar yang terpendam di baliknya. Rahasia yang berhubungan dengan kejadian di masa lalu. Bagaimana usaha Sukma melindungi putrinya dari makhluk yang menyimpan dendam bertahun-tahun lamanya itu? Simak kisahnya disini.
Kisah ini adalah spin off dari kisah sebelumnya yang berjudul, "Keturunan Terakhir."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ERiyy Alma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MRK 33
Seorang lelaki berjalan tergesa, langkahnya lebar menapak jalan aspal yang berlubang, tak peduli suara klakson motor berbunyi nyaring di belakang punggung.
“Hey, kenapa sih? udah kayak cewek ngambek aja, diliatin orang malu tuh Ren,” ucap Indra dari atas motor yang melaju lambat.
Rendra tak memperdulikannya, hatinya terbakar amarah. Mendengar lelaki lain memuji Nadira entah kenapa rasanya sangat menyebalkan.
“Rendra! kamu cemburu kan?”
Mendengar tuduhan ini reflek membuat Rendra menghentikan langkahnya, berbalik badan menghadap Indra yang duduk santai di atas motor. Ditatapnya senyum miring Indra yang tak kalah menyebalkan, saat itu juga Rendra mengangkat tangan dan memberi hadiah Indra jari tengah.
“Astaghfirullahal adzim, berdosa sekali kamu anak muda! istighfar ndak! istighfar Rendra!”
Rendra tak peduli, ia justru berjalan kembali ke arah toko. Seperti orang bingung Rendra menghentikan langkah, melepas kopiah dan mengacak rambutnya kesal. “Aarrgghh…!!” jeritnya frustasi.
“Ck ck ck…” Indra turun dari motor, mendekati temannya yang berjongkok di tepi jalan. “Kasihan sekali kamu ya, gimana? sudah sadar belum?”
“Maksudmu apa?” Rendra melirik Indra tajam.
“Ya maksudku, dengan kejadian ini kamu udah paham belum dengan isi hatimu sendiri?”
“Aku kesal, tapi… kenapa aku kesal ya?” Rendra mendadak linglung, berjalan mendekati motor yang diparkir sembarang oleh temannya tadi.
“Begitulah cinta, bikin orang bodoh,” gumam Indra lirih, tapi masih mampu didengar oleh Rendra.
Rendra naik ke atas motor, menyalakan mesin dan mulai mengemudi. Meninggalkan Indra jauh di belakang, tentu saja pemuda itu berteriak-teriak kesal lantaran ditinggalkan begitu saja. Ia berusaha terus mengejar, tapi kecepatan kakinya tentu tak sebanding dengan laju kendaraan motor. Ia tak menyangka cinta yang tak disadari Rendra membuat lelaki itu menjadi gila.
“Woy Ren! tungguin… woy!!”
***
Malam itu keluarga Nadira berkumpul di ruang tamu, menonton televisi bersama sambil makan buah-buahan yang dibawakan Sarah tadi siang. Mereka sibuk menggoda Wijaya yang berniat membawa kekasihnya menemui nenek Ratih minggu depan, utamanya Sukma yang tak henti meledek adik sepupu suaminya itu.
“Sungguh sial gadis itu, kenapa bisa terpedaya Wijaya yang seperti ini?” ucap Sukma tertawa tanpa henti.
“Jangan gitu dong Mbak, gini-gini aku tipe pria bertanggung jawab tau nggak!” ucapnya membela diri.
“Pak lek, nanti bulek tinggal disini juga kan? iya kan? jangan pindah ya pak lek, di rumah ini cuma pak lek aja yang cowok, masa nanti kami cewek-cewek sendiri kalau pak lek pulang ke rumah bu lek Santi,” ucap Nadira, bukan tanpa alasan ia berkata begitu. Kejadian kemarin malam terus mengusik hatinya, gadis itu tak bisa membayangkan jika hanya ada 3 wanita saja di dalam rumah.
“Tentu saja, pak lek mu ini nggak akan pernah ninggalin kalian,” ucap Wijaya mantap.
“Makasih Jaya, bude janji akan menyayangi Santi seperti bude menyayangi Sukma. Kalian semua anakku,” kata nenek Ratih. Wanita itu menghapus air mata yang mengalir di pipi keriputnya.
Melihat hal itu Sukma segera mendekat, memeluk tubuh ringkih mertua yang sudah dianggapnya seperti ibu kandung sendiri itu. “Kami yang harus berterima kasih pada ibu, ya kan Jaya?”
Wijaya mengangguk dan tersenyum, “iya Bude, Bude sudah terima Wijaya ketika orang tua Jaya nggak ada. Merawat Jaya dan bahkan setelah ini menikahkan Jaya. Terima kasih banyak Bude.”
Suasana yang sebelumnya ceria mendadak jadi penuh haru, Sukma dan Nenek Ratih masih berpelukan, sementara Wijaya tersenyum menatap keduanya. Melihat hal ini Nadira lantas berdiri, memeluk ibu dan neneknya dari belakang, mereka lantas tertawa bersama.
Tepat pukul 10 malam nenek Ratih berpamitan masuk ke kamar, wanita itu sudah mengantuk. Disusul Nadira dan Sukma satu jam setelahnya, kini tinggallah Wijaya seorang diri di depan televisi.
Lelaki itu berjalan menuju ruang depan, memastikan jendela dan pintu sudah terkunci sempurna. Setelahnya ia kembali ke belakang untuk mengunci pintu samping. Namun gerakan tangannya terhenti saat mendengar suara dari dapur. Suara yang mirip orang memotong sayur di atas talenan.
Tak Tak Tak Tak….
Tak Tak Tak Tak….
“Siapa masak? mbak Sukma kah?” ucapnya lirih. Ia sempat melirik kamar Sukma yang memang terbuka, lelaki itu lantas mendekati kamar sepupunya itu dan benar saja tak menemukan Sukma disana. Wijaya pun tersenyum berjalan santai menuju dapur.
“Mbak, hayo… ketahuan masak malam-malam, entar gen-duuut….” Wijaya melirihkan suaranya kala tak menemukan Sukma di dapur, keadaan dapur pun masih tetap rapi seperti biasa. Tak ada sedikitpun tanda-tanda tempat itu baru saja digunakan.
Wijaya mengernyit heran, ia lantas kembali ke ruang tengah sebab tak ingin terlalu memikirkan hal ini. Ah, mungkin aku salah dengar, pikirnya.
PRANG….
Wijaya terkesiap, niatnya kembali ke ruang tengah pun gagal. Lelaki itu mendengar suara benda jatuh dan pecah dari dapur, ia segera berlari memeriksa apa yang sebenarnya terjadi, tapi keadaan masih sama seperti sebelumnya. Wijaya bahkan berkeliling dapur untuk mencari asal suara, tapi memang ia tak menemukan apa-apa.
“Aneh sekali, aku yakin suaranya dari dapur. Nggak mungkin juga aku salah dengar,” gumamnya sendirian.
Perasaan lelaki itu mulai tak nyaman, ia bergegas kembali ke ruang tengah. Mematikan televisi dan masuk ke kamarnya sendiri. Tak lupa mengunci pintu dan segera tidur.
Sementara itu di dalam kamar Nadira, Sukma telah terlelap. Sengaja memang Nadira mengajak ibunya itu tidur bersama, teringat semalam ia baru bisa tidur nyenyak saat sang ibu berada di sampingnya. Namun, rupanya kali ini hal itu sudah tidak berlaku, Nadira masih terjaga.
Menatap langit-langit kamar di balik selimut yang menutupi tubuhnya, suara bising kipas angin seolah melengkapi kekesalannya karena sudah dua hari ini ia mengalami insomnia.
“Bu… Ibu…” panggil Nadira lirih. Mengguncang pelan pundak sang ibu yang malah asyik mengorok.
“Hmmm.” Sukma hanya merespon demikian, rupanya wanita itu memang sangat mengantuk.
Nadira menggigit bibir bawah, atmosfer kamarnya kembali terasa aneh, seolah ada sepasang mata yang mengawasi dirinya kini. Perlahan Nadira menarik selimut menutupi kepala, gadis itu mendadak sangat ketakutan.
Ia berusaha memejamkan mata, dan kejadian kemarin malam terulang kembali. Rasa kantuk tiba-tiba menyerang, gadis itu terlelap di balik selimut yang menutupi wajahnya. Dan saat itu juga ia merasa ada pergerakan tangan dari atas dada naik menuju leher .
Tangan tak kasat mata itu kali ini berusaha mencekiknya. Namun, tubuh Nadira terasa kaku, gadis itu tak dapat bergerak bahkan melawan. Lehernya terasa sakit, dan pasokan udara dalam paru-paru semakin berkurang.
Nadira tak bisa bernafas, wajahnya memerah dengan mulut terbuka. Gadis itu melantunkan beberapa ayat alquran yang dihafalnya di dalam hati, tapi ia justru mendengar sebuah suara tepat di telinga kirinya.
“Matio…. matio….”
.
Tbc