Veltika Chiara Andung tak pernah membayangkan hidupnya akan jungkir balik dalam sekejap. Di usia senja, ayahnya memutuskan menikah lagi dengan seorang perempuan misterius yang memiliki anak lelaki bernama Denis Irwin Jatmiko. Namun, tak ada yang lebih mengejutkan dibanding fakta bahwa Denis adalah pria yang pernah mengisi malam-malam rahasia Veltika.
Kini, Veltika harus menghadapi kenyataan menjadi saudara tiri Denis, sambil menyembunyikan kebenaran di balik hubungan mereka. Di tengah konflik keluarga yang rumit, masa lalu mereka perlahan kembali menyeruak, mengguncang hati Veltika.
Akankah hubungan terlarang ini menjadi bumerang, atau malah membawa mereka pada takdir yang tak terduga?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NinLugas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi tanpa berpamitan
Denis duduk di tepi ranjang, tangannya meremas seprai putih yang masih berantakan, sisa dari malam yang baru saja mereka lalui. Napasnya pelan, tetapi dalam, seolah mencoba menenangkan gejolak dalam dirinya. Matanya melirik ke arah pintu kamar mandi yang kini terbuka sedikit, namun tak ada lagi suara atau bayangan Veltika.
"Dia sudah pergi," gumamnya pelan sambil tersenyum tipis, senyum yang menyiratkan campuran rasa lega dan kekaguman.
Denis tahu, Veltika bukan tipe wanita yang mudah memperlihatkan kelemahannya. Malam tadi mungkin adalah momen di mana topeng kuat dan tegas yang biasa ia kenakan perlahan retak, memperlihatkan sisi lain dari dirinya—sisi yang rapuh, hangat, namun penuh rasa malu.
Denis menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang, kedua tangannya terlipat di belakang kepala. "Kamu lari, Vel... tapi aku tahu, kamu tidak bisa selamanya menghindar."
Tatapannya mengarah ke jendela yang mulai diterangi cahaya pagi. Di dalam hatinya, Denis bertekad—dia akan membuat Veltika berhenti berlari dan menerima bahwa perasaan di antara mereka tidak bisa lagi diabaikan.
***
Denis memandang undangan pernikahan itu dengan tatapan kosong. Nama Caroline Jatmiko dan Andung Bramanta tercetak rapi dengan tinta emas, seolah merayakan sebuah kebahagiaan yang justru menjadi pukulan telak baginya.
"Mama akan menikah dengan... ayah Veltika?" bisik Denis dalam hatinya, berusaha mencerna kenyataan yang tiba-tiba menghantamnya.
Caroline memperhatikan perubahan ekspresi putranya. "Denis? Kamu baik-baik saja, sayang?" tanyanya dengan nada lembut, tetapi penuh perhatian.
Denis segera memasang senyum tipis yang dipaksakan. "Iya, Mah... Aku cuma terkejut. Nggak nyangka Mama dan... Pak Andung akan menikah." Suaranya terdengar datar, berusaha menyembunyikan guncangan dalam hatinya.
Caroline tersenyum, mengira Denis hanya butuh waktu untuk menerima kabar ini. "Aku tahu ini mendadak, tapi aku berharap kamu mendukung keputusan Mama. Lagipula, keluarga kita dan keluarga Bramanta akan bersatu. Bukankah itu hal yang baik?"
Denis terdiam. Pikirannya kembali melayang ke masa lalu momen saat ia masih kecil, melihat ayahnya bertengkar hebat dengan ayah Veltika di restoran tempat peristiwa tragis itu terjadi. Kini, bayangan malam itu kembali menghantui, seolah mengingatkannya bahwa hubungan ini jauh lebih rumit daripada yang terlihat.
"Den, kamu nggak masalah, kan?" Caroline menyentuh bahu Denis, membawanya kembali ke realitas.
Denis menatap ibunya, mencoba menutupi keresahan di balik sorot matanya. "Nggak, Mah... Aku akan selalu dukung Mama. Kalau Mama bahagia, aku juga bahagia."
Tapi di dalam hatinya, Denis tahu, pernikahan ini akan membawa mereka semua kembali ke lingkaran konflik lama yang belum selesai. Terutama antara dirinya dan Veltika, wanita yang kini harus dihadapinya bukan hanya sebagai cinta, tetapi juga sebagai keluarga. Tidak ingin menyaksikan pernikahan itu, Denis beralasan ada urusan keluar negeri.
***
Masa sekarang.
Pagi itu terasa berbeda bagi Veltika. Matahari yang menembus tirai kamar menyinari wajahnya yang masih terlelap dalam pelukan Denis. Napas Denis terdengar tenang, dadanya yang bidang naik turun dengan ritme yang teratur.
Veltika menatap wajah lelaki itu dalam diam. Wajah tampan Denis terlihat begitu damai, seolah semua masalah dunia tak mampu mengganggunya. Tatapan Veltika tertuju pada garis rahang tegasnya, bulu matanya yang lentik, dan bibir tipis yang semalam menyentuhnya dengan lembut, namun penuh gairah.
"Kenapa aku bisa sejauh ini?" gumam Veltika dalam hati.
Jantungnya masih berdebar kencang, seperti enggan berhenti sejak malam yang intens itu. Ia berusaha menyangkal perasaannya, tetapi semakin ia memperhatikan Denis, semakin ia sadar, lelaki ini telah berhasil mendobrak dinding hatinya yang selama ini ia bangun dengan begitu kuat.
Veltika mengulurkan tangannya, dengan lembut menyentuh pipi Denis. Ia teringat semua momen bersama Denis, dari pertemuan singkat mereka saat masih remaja hingga malam tadi, di mana mereka akhirnya menyerah pada perasaan yang selama ini terpendam.
Denis menggeliat pelan, matanya mulai terbuka, menangkap sosok Veltika yang sedang memperhatikannya.
"Kamu sudah bangun?" tanya Denis dengan suara serak khas pagi hari.
Veltika tersenyum kecil, berusaha menyembunyikan kegugupannya. "Iya. Aku... cuma memperhatikan kamu."
Denis tersenyum tipis, lalu menarik Veltika kembali ke dalam pelukannya. "Kamu bisa memperhatikanku selama yang kamu mau. Aku nggak akan kemana-mana."
Kata-kata Denis membuat jantung Veltika berdebar semakin kencang. Dalam keheningan itu, ia tahu, perasaan ini lebih dari sekadar ketertarikan sesaat. Namun, di sudut hatinya, ia juga sadar bahwa hubungan mereka tidak akan pernah sederhana, terutama dengan pernikahan yang akan menyatukan keluarga mereka dalam waktu dekat.
Pagi itu, Veltika sudah berdiri di depan cermin, membenarkan blazer abu-abu yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Rambut hitam panjangnya ia tata rapi dalam gaya yang elegan. Pikirannya masih terngiang pada kejadian semalam bersama Denis, namun ia berusaha mengusirnya agar bisa fokus pada pekerjaan.
Di ruang makan, Bu Sri telah menyiapkan sarapan—omelet keju, roti panggang, dan segelas jus jeruk segar. Veltika duduk sambil menikmati sarapannya, namun sesekali ia melirik ke arah tangga, menunggu kehadiran Denis yang biasanya tidak terlihat pagi-pagi begini.
Tak lama, langkah kaki terdengar. Denis muncul dari arah tangga dengan gaya santainya—kaos putih polos dan celana jeans. "Pagi, Vel," sapa Denis dengan senyum khasnya, seolah tidak ada apa-apa yang terjadi semalam.
Veltika mengangkat alis, berusaha tetap tenang. "Pagi. Kamu nggak ada rencana keluar hari ini?"
Denis mengambil roti panggang dari piring Veltika dan menggigitnya tanpa malu. "Nggak juga. Aku pikir bisa antar kamu ke kantor."
Bu Sri yang sedang membereskan meja terdiam sesaat, matanya penuh tanda tanya. Ia jarang melihat keduanya seakrab ini. Biasanya, Veltika selalu menjaga jarak dengan Denis, namun pagi ini suasananya berbeda—terasa lebih hangat, lebih intim.
"Bu Sri, kopi aku mana?" tanya Denis santai, membuat Bu Sri tersentak dari lamunannya.
"Oh, iya, Mas Denis. Sebentar ya," jawab Bu Sri sambil melirik ke arah Veltika, yang hanya menunduk sambil menyeruput jusnya.
Setelah sarapan selesai, Denis berdiri di dekat pintu, menunggu Veltika yang sedang merapikan tas kerjanya. "Yuk, aku antar. Nggak usah bawa mobil sendiri hari ini."
Veltika menatapnya sejenak, lalu menghela napas pelan. "Baiklah. Tapi ini hanya sekali, jangan kebiasaan."
Denis tertawa kecil. "Kalau begitu, aku akan pastikan kamu suka diantar sama aku."
Bu Sri yang mendengar percakapan itu semakin penasaran, namun ia memilih diam. Ada sesuatu yang berubah antara mereka berdua, dan ia yakin perubahan itu akan membawa cerita yang lebih besar di rumah ini.
Di dalam mobil, suasana sedikit canggung. Denis yang duduk di kursi pengemudi sesekali melirik Veltika yang duduk dengan tenang di sebelahnya. Namun, wajah Veltika tampak serius, tidak seperti biasanya.
"Denis," suara Veltika akhirnya memecah keheningan. "Kita harus bicara."
Denis melirik sekilas, kemudian fokus kembali pada jalan. "Tentang apa? Semalam?" tanyanya dengan nada santai.
Veltika menghela napas panjang. "Bukan hanya tentang semalam, tapi semuanya." Ia menoleh, menatap Denis dengan tatapan tegas. "Aku nggak mau Bu Sri atau siapa pun di rumah tahu tentang… hubungan kita."
Denis tersenyum kecil, seolah tidak terpengaruh. "Kenapa? Aku pikir kita nggak perlu sembunyi-sembunyi."
"Denis," suara Veltika lebih tegas. "Aku serius. Hubungan kita rumit. Kamu tahu sendiri, situasi di rumah tidak mendukung. Bu Sri sudah mulai curiga, dan aku nggak mau ada gosip yang menyebar."
Denis terdiam sejenak, lalu menekan pedal rem saat lampu merah menyala. "Jadi, kamu mau kita pura-pura nggak dekat di rumah? Seperti dua orang asing lagi?"
"Ya," jawab Veltika tanpa ragu. "Aku butuh kamu untuk menjaga jarak, setidaknya di depan orang lain. Aku nggak mau masalah ini jadi bahan pembicaraan."
Denis menghela napas, tangannya mengetuk-ngetuk setir. "Oke, aku paham. Tapi kamu juga harus tahu, aku bukan tipe orang yang bisa berpura-pura terlalu lama." Matanya menatap dalam ke arah Veltika. "Aku nggak mau jadi rahasia yang kamu sembunyikan selamanya."
Veltika terdiam, tidak menyangka Denis akan mengatakan itu. Namun, ia tetap pada pendiriannya. "Ini hanya sementara, Denis. Sampai semuanya lebih jelas."
Lampu hijau menyala, dan Denis kembali melajukan mobil. "Baiklah," katanya akhirnya. "Tapi jangan salahkan aku kalau suatu saat aku ingin semua orang tahu tentang kita."
Perjalanan menuju kantor dilanjutkan dalam diam. Veltika menatap ke luar jendela, sementara Denis berusaha menekan perasaannya. Di satu sisi, mereka tahu perasaan itu nyata. Tapi di sisi lain, dunia mereka terlalu rumit untuk membiarkan segalanya berjalan dengan mudah.