Alinea Prasasti, seorang gadis berusia 25 tahun yang mengidap gangguan skizoafektif akibat trauma di masa lalu, berjuang untuk menemukan jalan hidupnya. Di usianya yang tidak lagi muda, ia merasa terjebak dalam ketidaktahuan dan kecemasan, tetapi berkat dukungan sepupunya, Margin, Aline mulai membuka diri untuk mengejar mimpinya yang sebelumnya tertunda—berkarier di bidang mode. Setelah bertemu dengan Dr. Gita, seorang psikiater yang juga merupakan mantan desainer ternama, Aline memulai perjalanan untuk penyembuhan mentalnya. Memasuki dunia kampus yang penuh tantangan, Aline menghadapi konflik batin, dan trauma di masa lalu. Tapi, berkat keberanian dan penemuan jati diri, ia akhirnya belajar untuk menerima semua luka di masa lalu dan menghadapi masa depannya. Namun, dalam perjuangannya melawan semua itu, Aline harus kembali menghadapi kenyataan pahit, yang membawanya pada pengakuan dan pemahaman baru tentang cinta, keluarga, dan kehidupan.
"Alinea tidak akan sempurna tanpa Aksara..."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon AMDee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Apanya yang mustahil, sih?"
Gadis yang diberikan pertanyaan itu masih belum juga berhenti berbicara dan berteriak histeris. Aline dan Ode yang saat itu berdiri di depan mereka dengan segera mendekati kedua gadis itu.
"Elin, kenapa ini? Ada masalah apa?" Ode bertanya baik-baik.
"Kak Ode!" gadis bertubuh gemuk yang sejak tadi berteriak-teriak itu langsung menghambur ke pelukannya Ode.
"Aduh! Uli, jangan begini, dong, berat."
Uli melepas pelukannya, cemberut.
"Kenapa tadi kamu teriak-teriak, huh?" Ode menatap Uli lalu beralih ke temannya yang bernama Elin.
Elin mengangkat bahu, mengisyaratkan bahwa ia tidak tahu apa-apa.
Ode mengamati Uli dari pakaian hingga sepatu yang ia kenakan. Semuanya bergaya edgy, mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki semua berwarna hitam, lipstik Uli juga gelap. Tapi entah kenapa hati gadis ini begitu melankolis, berbeda sekali dengan tampilan premannya.
Merasa terintimidasi oleh tatapan Ode, gadis itu pun buka suara. "Aku tuh lagi kesal tahu, Kak."
"Kesal? Memangnya apa yang membuat kamu kesal sampai kamu menghebohkan seisi gedung di kampus kita?" ketus Ode.
Aline melihat sekeliling. Benar saja, di sana ada beberapa orang yang memandang ke arah mereka dengan tatapan sinis. Aline mengerjapkan mata.
Wajah Uli mendung seperti langit di ufuk barat yang semakin terlihat gelap. Uli menunjukkan kartu mahasiswanya kepada Ode. "Aku salah ambil jurusan, Kak. Jurusan ini nggak sesuai sama bakat aku."
"Astaga. Jadi hanya karena ini kamu membuat polusi di kuping kami?"
"Ya, maaf. Aku kan lagi sedih, Kak. Aku maunya masuk ke fakultas A, eh malah dapat fakultas lain. Aku mau ganti jurusan tapi enggak dibolehin sama Ms. Jane. Nggak adil banget, kan? Mentang-mentang aku gendut, orang-orang di sekitarku sama sekali tidak mau peduli."
Dalam satu helaan napas, jeritan Uli terdengar lagi. ULI sampai terduduk di depan pintu belakang kampus dan menangis terisak-isak.
Elin dan Ode menggeleng-gelengkan kepalanya.
Aline menarik napas panjang. Aroma daun yang basah tercium di hidungnya. Begitu sejuk hingga membuat Aline berinisiatif untuk membujuk Uli agar Uli berhenti menangis.
Aline paham betul bagaimana perasaan Uli saat ini. Sebagai orang yang memiliki banyak pengalaman pahit di sekolah, Aline tahu apa yang saat ini dibutuhkan oleh Uli. Dukungan.
Aline memberanikan diri dan melangkahkan kakinya mendekati Uli. Ia menepuk punggung Uli dengan lembut.
"Aku tahu kamu kecewa. Aku juga mengerti bagaimana perasaan kamu saat ini." ujar Aline ketika Uli masih saja merengek pada Ode.
Uli menghentikan isak tangisnya, melirik ke Aline. “Memangnya kamu siapa? Kenapa tiba-tiba kamu bilang begitu? Kamu tahu apa soal aku, hah?”
Ketiga gadis itu memandang Aline hampir bersamaan.
Aline mengusap daun telinganya, ia tampak ragu-ragu hingga akhirnya mundur satu langkah, kemudian ia menarik napas panjang dan menggertakkan giginya. Tangannya mengepal. Sejenak ia terdiam dan memejamkan matanya.
Aline lalu tersenyum simpul. "Aku bukan siapa-siapa. Aku cuma mahasiswa baru sama seperti kamu. Tapi, aku memahami perasan kamu. Bukan tanpa alasan. Aku bisa bicara begini karena aku juga pernah mengalaminya.”
“Mengalaminya? Maksud kamu salah jurusan ini?
Aline mengangguk. “Bisa dibilang begitu. Yah, memang sih pada awalnya itu akan sedikit sulit sih, tetapi setelah kita mencoba untuk menerima dan menjalani semua itu, yang kita rasa mustahil itu malah terasa jauh lebih mudah."
Uli mengeluh. "Ya, mudah. Kamu bisa ngomong begitu karena kamu punya wajah yang cantik. Mau kamu salah atau bagaimana juga, sudah jelas orang-orang di luar sana akan berpihak sama kamu. Nah, kalau aku? Aku masuk ke sini saja lewat jalur beasiswa. Tujuan aku itu masuk ke fakultas seni fotografi. Tapi kalau sudah begini, apa yang harus aku lakukan? Tidak ada yang bisa aku banggakan. Kemampuan aku ada di lensa kamera bukan di Fakultas Desain."
Aline tersenyum ringan. Sepasang bola matanya bersinar indah. Ia menatap Uli, lalu meraih kedua tangannya.
"Jangan tertipu dengan penampilan wajah. Aku tidak seperti yang kamu pikirkan. Sejujurnya, aku juga tidak sempurna. Justru—aku iri melihat kamu yang sungguh-sungguh ingin mencapai impianmu. Aku yakin sekali kalau kamu itu jauh lebih kuat daripada aku. Masalah salah jurusan ini kan tidak seberapa besar. Kalau kamu sudah berniat untuk belajar dan menambah ilmu pengetahuan, kamu pasti bisa melewati jalur ini."
"Maksud kamu, aku harus tetap berjalan di jalur ini, walaupun jurusan desain itu sebenarnya bukan keahlian aku?"
Lagi-lagi Aline mengangguk. "Pelan-pelan saja. Kalau kamu memiliki keyakinan terhadap sesuatu, entah itu jalannya lurus atau berkelok, kamu pasti bisa melewati hal itu."
Uli tampak merenung dan berpikir. Aline mengira kata-katanya akan sedikit menentramkan hati gadis ini dan membuatnya berhenti menangis. Tetapi ternyata, dengan mengatakan hal seperti tadi, Aline justru membuat Uli semakin menangis.
Ketika Ode hendak mengangkat Uli, gadis itu menolak.
"Jangan sentuh! Aku hanya ingin menangis untuk sekali ini saja. Hu hu hu ... Aku belum pernah bertemu orang sebaik teman-temannya Kak Ode. Dia benar-benar membuat aku menangis."
Aline dan dua orang gadis itu saling melempar pandang.
Di dunia ini ada banyak alasan mengapa seseorang meneteskan air matanya. Ada yang menangis karena sedih, kecewa, haru, bahkan menangis karena gembira. Semua orang memiliki alasan dari setiap air mata mereka. Dan, alasan Uli menangis saat ini adalah, karena ia merasa terharu. Selama ini, Uli selalu berpikir, bahwa hanya ia saja yang menderita di bumi ini. Namun setelah bertemu Aline, Uli jadi yakin kalau di luar sana masih banyak orang yang senasib dengan dirinya.
Meskipun tadi Aline tidak menyebutkan masalahnya, Uli yakin bahwa Aline juga pernah mengalami berbagai hal buruk di kehidupan sebelumnya. Kalau tidak, mana mungkin Aline bisa mengatakan sesuatu yang membuat air matanya terjatuh. Memang benar kata ibunya, hanya orang yang pernah menderita saja yang dapat mengerti perasaan orang lain.
Sekejap, gadis itu menghentikan tangisnya.
"Kamu! Siapa namamu? Apa kita bisa berteman?"
Suasana gadis gemuk ini gampang berubah rupanya. Ia mengusap air matanya, lalu berdiri tepat di depan Aline.
Aline terperanjat. Kaki Aline gemetaran. Melihat posisi Uli berdiri seperti ini; sedang menatap lurus ke arah mata Aline sembari memasang ekspresi serius. Uli malah membuat Aline teringat pada teman-teman sekelas Aline sewaktu SMA. Mata Uli yang menyorotinya juga sama persis seperti tatapan mereka dahulu.
Aline mundur. Mendadak napasnya terasa sesak.
Tolong jangan kumat lagi, Al!
Tengkuk Aline mulai berkeringat. Aline memejamkan matanya, mencoba untuk mengatur napas dengan benar.
"Kamu baik-baik saja?" Elin bertanya.
Uli memegang bahunya tapi Aline segera menghempas tangan gadis itu.
Tidak bisa.
Aline tidak bisa melakukannya saat ini. Ia tidak bisa mengalihkan bayangan masa lalu itu. Ini sudah tidak bisa dibiarkan. Aline tidak bisa terus berada di sini. Jika ia memaksakan diri bertatapan dengan Uli, semuanya pasti akan kacau. Bahaya! Ini terlalu berbahaya!
Aline menelan ludah, mencoba untuk terlihat tenang. Pokoknya—bagaimanapun caranya, Aline harus bisa menghindar dari tatapan mereka.
"Hei, kamu baik-baik saja?" Uli merundukkan kepalanya, menatap wajah Aline yang dipenuhi keringat dingin.
Aline memalingkan muka. "A, Aku baik-baik saja. Ma..., maaf, aku ... Aku ada urusan sebentar. Aku harus pergi."
Tanpa menunggu persetujuan mereka, Aline buru-buru berlari ke gedung dua, masuk ke toilet wanita dan mengunci dirinya di salah satu bilik toilet.
"Kenapa ini terjadi lagi? Aku sudah belajar menghadapi masalah seperti ini selama lima tahun, tapi kenapa sekarang aku kumat lagi? Ini tidak boleh dibiarkan. Aku tidak ingin seperti ini terus." Aline berbicara sendiri.
Untunglah, saat itu tidak ada siapa pun yang mendengar perkataan Aline. Aline melihat pantulan dirinya di cermin lalu membasuh mukanya tiga kali. Ia mengeluarkan dua butir pil dan langsung menenggaknya tanpa air. Untuk saat ini hanya dengan cara itulah Aline bisa kembali tenang.
Aline bersandar di tembok wastafel. Kepalanya mendongak ke atas, menatap langit-langit putih yang mulai sedikit menguning di kedua sisinya. Ia menghela napas. Aroma lemon yang keluar dari pengharum ruangan tercium segar. Itu memang kamar mandi, namun suasana sepi di sana membuat Aline sedikit merasa nyaman.
"Tapi aku tidak bisa bersembunyi di sini terus."
Aline merapikan pakaiannya, hendak pergi keluar. Namun saat ia tiba di depan pintu—
Bruk!
Aline tak sengaja bertabrakan dengan dua mahasiswa yang tampaknya baru saja keluar dari Fakultas Bisnis.
"Bagaimana, sih? Lihat-lihat dong!"
Aline meminta maaf. Ia sampai membungkuk di hadapan mereka tapi kedua orang itu sama sekali tidak menghiraukan permintaan maaf Aline.
"Lain kali matanya dipakai sewaktu berjalan."
Aline merasa heran. Mereka tetap menggerutu meskipun Aline telah meminta maaf beberapa kali.
Sembari berjalan, pikiran Aline mengembara ke mana-mana. Aline merasa berat menjalani harinya di kampus ini. Walau ia belum sempat belajar di kelas, tapi sudah ada saja kejadian yang seperti ini. Bagaimana dengan orientasi besok coba? Apa Aline bisa menghadapi kelas dengan orang-orang baru di satu ruangan?
Aline menggeleng. Rumit sekali ternyata kuliah dengan kondisi yang tidak stabil. Ia jadi teringat pada ucapan Margin ketika membawanya bertemu dengan Dr. Gita. Inikah maksud Margin menitipkannya di asrama? Inikah maksud dari ucapan Margin, agar Aline dapat menguasai ketakutannya sebelum masuk kampus? Apa ini maksudnya.
Aline mendesah pelan. Ia berjalan ke luar gerbang mengarah ke halte bus.
Aku harus secepatnya bertemu Dr. Gita.
Namun, baru saja Aline sampai beberapa menit di halte bus. Aline teringat pada sesuatu yang amat penting. Aline kembali ke kampus, sibuk berlarian dari gerbang timur ke gedung dua di arah barat.
Untunglah—toilet itu masih kosong, lantai dan wastafelnya masih kering. Sama seperti saat ia meninggalkan ruangan itu. Tisu toilet yang digantung dan hampir habis itu pun masih berada di tempat semula. Tidak ada tanda-tanda bahwa ada orang yang masuk setelahnya. Aline menghela napas lega. Ia mulai bergerak, mencari-cari sesuatu di dalam sana.
Pokoknya tidak boleh ada yang menemukan itu, pikir Aline.
"Di sini juga tidak ada." Aline meremas rambutnya. Ia mulai kewalahan. Roman mukanya pucat sekali. Keringat dingin pun mengucur di belakang telinganya.
Aline masih mencari di wastafel, dan tempat-tempat lain, hingga sudut terkecil di kamar mandi itu.
"Kamu mencari ini?"
Deg. Jantung Aline hampir copot mendengar suara itu. Ia yang sedang jongkok di dekat tong sampah hampir tak bisa bergerak. Otot-ototnya seakan lumpuh. Aline menunduk. Apa pun yang terjadi, sebisa mungkin Aline tidak boleh menengok ke belakang.
Klik!
Terdengar bunyi pintu yang dikunci. Tak lama, suara langkah kaki yang berderap mulai mendekatinya.
"Aline," Ode membantu Aline untuk berdiri.
Aline terpaku. Ia tak berani memandang wajah Ode.
"Kamu kembali untuk mencari obat ini, kan?"
Bibir Aline terasa kelu. Aline hanya bisa menunduk pasrah ketika Ode menunjukkan sebuah tabung berukuran lima senti meter itu di hadapannya.
Ode meraih tangan Aline dan menempatkan botol obat itu di telapak tangannya.
"Lain kali berhati-hatilah dengan ini. Masih untung aku yang menemukannya, kalau itu orang lain..." Ode menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kamu tahu ‘kan, bagaimana jadinya kalau mereka sampai tahu?"
Aline melihat botol kecil transparan itu. Pil-pil berwarna putih masih memenuhi setengah dari tabung. Aline menggenggam botol itu kuat-kuat. Ia tak percaya kalau Ode akan menemukan dan tahu bahwa obat itu kepunyaan Aline.
Aline memejamkan mata sekilas. Ia menggertakkan giginya, mengepalkan tangannya kuat-kuat. Suara hela napas mereka terdengar berseberangan. Aline memberanikan diri menatap wajah oval Ode. Tak disangka, sejak tadi mata Ode yang sipit dan berkacamata itu juga sedang memperhatikan Aline.
Aline menelan ludah.
"Bagaimana Kakak tahu jika obat ini milikku?" tanya Aline disertai dengan ketakutannya.
"Oh, jadi itu bukan punya kamu, ya?" Ode mendelik. Suaranya terdengar sinis.
Aline terdiam, menurunkan wajahnya. Kalau sudah begini, Ode pasti akan mencelanya. Begitu yang ada dalam pikiran Aline.
Ode menggelengkan kepala, menarik napas perlahan-lahan. "Kamu nggak perlu bohong, Al. Aku sudah tahu semuanya."
Aline melongo. Alisnya saling bertaut bingung.
"Sebenarnya, semenjak kamu melarikan diri dari kami, aku diam-diam mengikuti kamu. Sayangnya, saat aku sampai di sini kamu sudah tidak ada. Begitu aku akan pulang, aku tidak sengaja menemukan botol obat itu di dekat wastafel. Tadinya aku sempat kaget melihat pil-pil itu. Tetapi, setelah aku berpikir tentang sikap kamu yang tiba-tiba berubah aneh, aku langsung berpikir bahwa obat itu pasti milik kamu." jelas Ode, mata sipitnya tak lepas memperhatikan gelagat Aline yang mulai tidak tenang.
Aline semakin menunduk.
"Kakak tahu ini obat apa?" tanya Aline dengan suara yang gemetaran.
"Aku tahu. Itu adalah obat antidepresan, benar?"
Deg! Aline membelalak. Ia hampir limbung. Bagaimana mungkin Ode mengetahui obat itu? Dr. Gita sudah membuat tampilan obatnya tampak seperti vitamin biasa, tapi kenapa Ode bisa mengetahui jenis obatnya?
Tidak. Di kampus ini tidak boleh ada yang tahu tentang penyakitnya. Sebisa mungkin Aline juga ingin menutup rapat-rapat masalah ini, tetapi sekarang ... Aline merasa terancam. Ia sudah tidak dapat berkutik lagi. Gadis di hadapannya ini telah mengetahui rahasia Aline sepenuhnya.
Seolah mengetahui ketakutan Aline, gadis itu mendekat dan menaruh tangannya di pergelangan tangan Aline.
"Kamu jangan cemas. Aku tidak akan mengatakan kepada siapa pun tentang masalah ini. Tapi kamu juga harus hati-hati ketika kamu menggunakan obat itu."
Aline mengangkat wajah. "Apa Kakak bisa menjamin, kalau Kakak bisa menjaga rahasia aku?"
Ode mengangguk yakin. "Kamu bisa mempercayai aku."
"Bagaimana caranya?"
"Dengan menyimpan rahasia aku," jawab Ode enteng. "aku akan memberitahu kamu tentang siapa aku sebenarnya.”
Aline mengernyit.
Ode menundukkan kepala, jarinya saling bertaut di depan dadanya. Ia menarik napas, mimik mukanya kelihatan sedih namun dengan segera ia mengembuskan napas panjang dan berbicara.
"Ada dua rahasia yang aku miliki. Tetapi untuk saat ini, aku hanya akan mengatakan rahasia terbesar aku sebagai jaminannya,”
Ode berbalik, memandang dirinya di cermin. "Kamu tahu? Aku adalah gadis yang menyedihkan. Aku bukan anak dari papa aku. Ibuku dulu berselingkuh dengan pria lain, dan selama ini aku hidup dalam peraturan ibuku. Ibu terus mengontrol kehidupan aku—memaksa aku untuk melakukan semua kehendaknya, seolah-olah aku hanyalah boneka baginya. Kemudian, beberapa tahun lalu, papa aku jatuh sakit semenjak beliau tahu kalau selama ini ibuku telah membohonginya. Dan—semenjak saat itu, papa pun masuk ke rumah perawatan. Beliau telah kehilangan akal sehatnya. Papa sama sekali tidak mengenal aku. Setiap kali melihat wajah aku, beliau marah. Dan, karena hal itu, beliau juga harus mengonsumsi obat seperti kamu," Ode menatap Aline dengan sendu.
"Aku cuma anak haram, Al." lanjut Ode sembari menelan air liurnya, menahan air bening yang sudah terbendung di sudut matanya.
Sepasang mata Aline berkaca-kaca. Ia menggelengkan kepalanya. "Kenapa Kakak mengatakan hal seperti itu kepada aku?"
Ode tersenyum datar. Helaan napasnya terdengar berat. "Sebagai jaminan. Sekarang kita sama-sama impas. Kita memegang rahasia yang ingin kita sembunyikan dari orang-orang. Jadi, andai salah satu dari kita ada yang membocorkannya, kamu tahu kan apa yang akan terjadi?"
Aline menelan ludahnya lagi. Tidak, seharusnya semua ini tidak perlu terjadi. Seharusnya tidak ada yang mengetahui rahasia-rahasia mereka. Tidak dengan Ode maupun Aline.
Dada Aline terasa sesak. Aline mencoba mengatur napasnya kembali. Ia menatap Ode sekali lagi dengan perasaan pilu. "Aku percaya Kakak. Dan sebisa mungkin, aku akan menjaga rahasia Kakak dengan baik."
Ode menempatkan sebelah tangannya di bahu Aline. "Terima kasih, kamu sudah mau mempercayaiku. Aku juga akan melakukan hal yang sama denganmu."
Aline mengangguk. "Aku juga berterima kasih karena Kakak sudah baik kepada aku."
Ode menggeleng lalu meraih tangan Aline.
Gadis itu berkata seolah tidak ada beban yang dipikulnya, senyumannya melengkung di bibir kecilnya.
"Mulai hari ini, kamu boleh menganggap aku sebagai kakak kamu. Aku tidak akan membiarkan kamu sendirian dalam keadaan apa pun. Dan, jika kamu ada masalah atau kamu membutuhkan bantuan, jangan sungkan-sungkan untuk menghubungi aku. Kamu mengerti?"
Aline mengangguk dan berterima kasih lagi.
"Baguslah. Sekali-sekali, kamu datanglah ke auditorium, aku akan menunjukkan tempat rahasiaku kepadamu.." Ode tersenyum.
"Auditorium?"
"Maksudku studio kerjanya Raga. Kamu boleh datang ke sana jika kamu membutuhkan aku. Atau kamu butuh tempat untuk menenangkan diri."
Aline terlihat berpikir. "Bukankah auditorium itu adanya di bangunan tiga?"
Ode menggeleng. "Yang di sana itu disebutnya aula singgah. Kalau kita mengadakan pertemuan, upacara, dan pertunjukan memang di aula. Tapi kalau auditorium, hanya ada satu di Trapunto. Dan itu adanya di gedung utama. Ya, bisa dibilang auditorium itu seperti markas besarnya mahasiswa dengan prestasi gemilang begitu. Mereka diberi tempat khusus karena mereka telah berkontribusi penuh untuk sekolah. Raga adalah salah satu yang memiliki fasilitas itu. Tapi, ya... seperti yang kamu tahu, Raga itu sering absen dari kampus. Karena itu dia kasih aku akses masuk ke auditorium supaya ada yang mengurus ruangannya."
Aline mangut-mangut. Ia belum tahu kalau ada sistem seperti ini di Trapunto. Aline memang pernah mendengar ada sebuah ruangan yang dikhususkan untuk menyimpan koleksi alumni dan mahasiswa berprestasi, tapi Aline tidak pernah tahu jika ruangan yang dimaksud itu adalah ruang auditorium yang sempat ia masuki tadi.
Mungkin kebijakan di kampus ini juga sudah berubah. Aline berpikir, nanti sepulangnya dari sini, Aline akan bertanya pada Dr. Gita sekalian konsultasi tentang masalahnya.
Ponsel Ode berdering kencang.
"Aduh, ini anak tidak bisa sabar sebentar apa?"
Ode menjawab panggilan itu tapi sesaat kemudian ia pun uring-uringan.
"Ada apa, Kak?"
"Ah, bukan apa-apa. Ini kakak aku. Aku sudah dijemput di depan. Katanya papa aku kumat lagi." Wajah Ode kelihatan muram.
"Semoga papa Kak Ode cepat sembuh, ya."
"Ya, doakan saja, ya. O ya, kamu hari ini tidak ada jadwal, kan? Habis dari sini kamu mau ke mana?"
"Aku mau langsung pulang saja, Kak."
"Ya sudah, bareng aku saja kalau begitu. Rumah kamu di mana?"
"Jakarta Barat."
"Eh, astaga. Jadi kamu pulang pergi dari Jakarta Barat ke Jakarta Selatan?"
"Begitulah."
"Ya Tuhan! Pantas saja tadi pagi kamu terlambat. Duh, kalau saja papa aku tidak anfal, mungkin aku bisa antar kamu pulang."
"Tidak apa-apa, Kak. Aku bisa pulang sendiri."
"Kamu yakin, nih? Kondisi kamu bagaimana?"
"Sudah jauh lebih baik."
"Serius?"
"Ya, Kak. Aku baik-baik saja."
"Syukurlah kalau begitu. Hati-hati kamu. Kalau ada apa-apa di jalan telepon aku saja. Ini, simpan kartu nama aku."
Aline menerima kartu nama berwarna Scarlett itu.
"Terima kasih, untuk perhatian kakak."
"Jangan berterima kasih. Ini bukan apa-apa. Sekarang kan kita sudah menjadi adik dan kakak. Kita semua yang ada di sini adalah keluarga."
Keluarga?
Bola mata Aline tampak berkaca-kaca mendengar hal itu. Andai saja ia benar-benar memiliki keluarga yang utuh.
Ode memeluknya sesaat. Mereka pun keluar bersamaan, lalu mereka berpisah tepat di depan gedung utama. Aline berjalan ke halte bus, sedangkan Ode berlari ke halaman parkir, masuk ke dalam mobil putih, berbincang dengan seseorang.