Buku ini adalah lanjutan dari buku Tabib Kelana.
Menceritakan perjalanan hidup Mumu yang mengabadikan hidupnya untuk menolong sesama dengan ilmu pengobatannya yang unik.
Setelah menikah dengan Erna akan kah rumah tangga mereka akan bahagia tanpa ada onak dan duri dalam membangun mahligai rumah tangga?
Bagai mana dengan Wulan? Apa kah dia tetap akan menjauh dari Mumu?
Bagai mana dengan kehadiran Purnama? Akan kah dia mempengaruhi kehidupan rumah tangga Mumu.
Banyak orang yang tidak senang dengan Mumu karena dia suka menolong orang lain baik menggunakan ilmu pengobatannya atau menggunakan tinjunya.
Mumu sering diserang baik secara langsung mau pun tidak langsung. Baik menggunakan fisik, jabatan dan kekuasaan mau pun melalui serangan ilmu yang tak kasat mata.
Akan kah hal tersebut membuat Mumu berputus asa dalam menolong orang yang membutuhkan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Muhammad Ali, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Yang Tidak Bisa Bertahan
Dengan sigap, Mumu menarik napas dalam-dalam, mengedarkan tenaga dalamnya untuk melindungi dirinya.
Serangan itu datang bertubi-tubi, berupa gelombang energi hitam yang menyelimuti kedai.
Namun, Mumu tetap tenang.
Walau pun masih muda tapi Ia sudah berpengalaman menghadapi serangan seperti ini.
Mumu sudah sering mengalami serangan santet dan ilmu hitam seperti ini sehingga ia tidak kelihatan gugup sama sekali karenanya.
Mumu segera menyiapkan dirinya untuk bertarung. Dengan satu gerakan cepat, ia memusatkan tenaga spiritual dan tenaga dalamnya dan memancarkannya ke arah serangan tersebut.
Adu ilmu dan kesaktian pun tak terhindarkan. Gelombang energi hitam dan cahaya kekuatan spiritual serta tenaga dalam Mumu saling bertubrukan di udara, menimbulkan getaran hebat di sekitar kedai.
Anehnya kejadian di dalam kedai makan ini tidak sampai terekspos keluar seolah-olah merupakan dua dunia yang berbeda.
Wanita tua itu berteriak panik, namun Mumu tetap fokus. Ia tahu musuhnya kuat, sehingga Mumu tidak berani lengah sedikit pun.
Satu hal yang pasti, karena merasa di jalan yang benar sehingga Mumu yakin dengan kekuatannya bisa mengalahkan ilmu hitam tersebut.
Setelah beberapa saat, Mumu berhasil menemukan titik lemah dari serangan musuh. Dengan satu serangan pamungkas, ia memusatkan seluruh tenaga dalamnya dan melumpuhkan musuh yang tak terlihat itu.
"Aaaaaaaaaaaaa....!!!"
Terdengar jeritan yang memekak kan telinga. Namun tentu saja jeritan itu tidak sampai keluar. Hanya sebatas di dalam kedai makan itu saja.
Kira-kira sepeminuman teh kemudian, jeritan itu hilang dengan sendirinya.
Udara kembali tenang. Rumah makan yang awalnya tampak kumuh, kusam dan bobrok kembali kelihatan bersih seperti semula.
Hanya makanan yang sudah terlanjur basi saja yang tidak bisa dikembalikan seperti semula.
Mumu tak tahu pasti apa yang terjadi dengan orang yang menggunakan ilmu hitam tersebut.
Yang jelas, lebih kurang seminggu kemudian, kedai makan ini kembali ramai dikunjungi orang dan malah kedai makan yang tak jauh dari sini malah tiba-tiba tutup dan orangnya pun tak tahu pergi ke mana.
...****************...
Malam itu, awan gelap menggantung rendah di langit Jogja, menutupi bintang-bintang yang biasanya bersinar terang.
Di sebuah rumah sederhana di pinggir kota, seorang pemuda bernama Raka duduk termenung di teras. Raka bukanlah orang kaya.
Dia bekerja sebagai tenaga honorer di salah satu perkantoran. Meski begitu, dia selalu tersenyum, terutama karena kehadiran seorang gadis yang membuat hatinya selalu berbunga. Nadya!
Nadya adalah segalanya bagi Raka. Dia adalah gadis cantik, penuh perhatian, dan berasal dari keluarga terpandang.
Hubungan mereka bagaikan kisah dongeng, cinta yang tumbuh di antara dua dunia yang berbeda, antara si kaya dan si miskin.
Meski begitu, Raka tahu bahwa cinta mereka tidak akan diterima dengan mudah oleh keluarga Nadya, terutama ayahnya, Tuan Haryanto, yang terkenal sebagai pengusaha kaya raya dan berpengaruh.
Raka menarik napas dalam, mengingat momen ketika Nadya pertama kali memperkenalkannya kepada ayahnya.
Tatapan dingin dan angkuh dari Tuan Haryanto masih terpatri di benaknya.
Dengan nada yang nyaris meremehkan, Sang Ayah bertanya apa yang bisa Raka tawarkan kepada putrinya.
Raka hanya bisa menjawab dengan keyakinan dan ketulusan bahwa dia akan berusaha membahagiakan Nadya, apapun yang terjadi.
Namun, tatapan itu berkata lain. Seakan berkata bahwa cinta tidak cukup, bahwa uang dan status adalah segalanya.
Hari-hari berlalu dengan ketidakpastian.
Sebenarnya sejak perjumpaan dengan Ayah Nadya, dia sudah melarang anaknya untuk tidak meneruskan hubungan dengan Raka, namun Nadya tak peduli, dia sering menyelinap keluar dari rumah untuk bertemu dengan Raka di tempat-tempat rahasia.
Mereka berbagi tawa, cinta, dan mimpi tentang masa depan yang indah bersama.
Nadya tak pernah menceritakan tentang larangan ayahnya kepada Raka.
Tapi Raka tahu, ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Sesuatu yang selalu membuatnya merasa resah setiap kali memandang mata Nadya yang tampak menyimpan duka dan rahasia.
Sampai pada suatu malam yang gelap dan hujan deras, segalanya berubah. Raka baru saja pulang dari bekerja karena kebetulan hari ini harus lembur.
Raka dikejutkan oleh kedatangan beberapa pria bertubuh kekar di depan rumahnya.
Mereka mengenakan pakaian hitam-hitam, dan wajah mereka tertutup oleh topeng.
Tak ada peringatan, tak ada kata-kata, hanya tindakan brutal yang langsung menghantam tubuhnya.
Mereka menarik Raka dengan kasar, memukulinya tanpa ampun, lalu menyeret tubuhnya yang sudah lemah ke sebuah gang sempit yang jauh dari keramaian. Di sana, mereka melanjutkan penyiksaan yang tak henti-hentinya.
Raka merintih kesakitan, darah mengalir dari bibirnya yang pecah, dan tulang rusuknya terasa seperti hancur di dalam tubuhnya.
Di antara derita itu, salah satu pria tersebut berbicara dengan nada dingin,
“Ini peringatan dari Tuan Haryanto. Jangan pernah mendekati Nadya lagi. Kamu bukan siapa-siapa. Ini bukan duniamu.”
Setelah kata-kata itu terucap, salah satu pria mengangkat sebuah balok kayu besar dan memukul punggung Raka dengan kekuatan penuh.
Suara tulang yang patah terdengar jelas di antara suara hujan yang deras. Raka terjatuh, tubuhnya kaku dan tak lagi bisa bergerak.
Sakit yang luar biasa menguasai seluruh tubuhnya. Dia berteriak dalam hatinya, namun suara itu tak pernah keluar.
Pria-pria itu meninggalkannya begitu saja di gang tersebut, tergeletak tanpa daya.
Raka mencoba bergerak, tetapi tubuhnya seakan menolak untuk menurut.
Dia terbaring di sana selama berjam-jam, sementara hujan membasahi tubuhnya. Pikirannya mulai mengabur, dan kesadaran perlahan hilang.
Ketika pagi menjelang, seseorang menemukannya dan menelpon ambulance yang membawanya ke rumah sakit.
Tubuh Raka rusak parah. Tulang punggungnya hancur, menyebabkan kelumpuhan dari pinggang ke bawah.
Dia hanya bisa terbaring di ranjang, memandangi langit-langit ruangan rumah sakit tanpa bisa merasakan kakinya lagi.
Hari demi hari berlalu, Raka mencoba bertahan dengan sisa-sisa harapannya. Satu-satunya yang membuatnya terus bertahan adalah keyakinan bahwa Nadya akan datang.
Bahwa cintanya, seberapa pun sulitnya, tidak akan meninggalkannya.
Namun, waktu terus berlalu dan Nadya tak kunjung datang. Raka mulai meragukan segalanya. Apakah cinta mereka begitu rapuh? Apakah benar status sosial begitu berkuasa hingga memisahkan mereka?
Akhirnya, suatu hari, pintu kamarnya terbuka. Nadya masuk dengan langkah perlahan.
Matanya merah dan sembab, menunjukkan bahwa dia sudah lama menangis. Raka tersenyum tipis, meski hatinya penuh dengan pertanyaan.
“Nadya,” suara Raka terdengar lemah. “Kenapa kamu lama sekali?”
Nadya mendekat, duduk di samping tempat tidurnya, tapi dia tidak bisa menatap mata Raka.
Ada keheningan yang mencekam di antara mereka, sebelum akhirnya Nadya berkata dengan suara gemetar,
“Raka, aku... aku harus pergi.”
Raka merasakan jantungnya serasa berhenti berdetak. “Pergi? Apa maksudmu?”
Nadya menangis, air matanya mengalir tanpa henti.
“Aku... aku tak bisa melawan ayahku lagi. Dia sudah membuat semuanya terlalu sulit. Aku harus pergi, Raka. Aku harus meninggalkanmu.”
Kata-kata itu menghantam Raka lebih keras daripada pukulan apapun yang dia terima malam itu.
“Jadi, kamu benar-benar meninggalkanku? Setelah semua yang kita lalui?”
Nadya menggelengkan kepala, tetapi tangisnya semakin kencang.
“Aku tak punya pilihan lain. Ini bukan hanya tentang cinta kita, Raka. Ayahku... dia mengancam akan melakukan hal yang lebih buruk jika kita terus bersama. Aku tak bisa melihatmu menderita lebih jauh.”
Raka terdiam. Dia ingin marah, ingin berteriak, tetapi tak ada tenaga yang tersisa dalam dirinya. Yang tersisa hanyalah kesedihan yang dalam.
“Jadi, semua ini... sia-sia? Cinta kita tidak berarti apa-apa?”
Nadya menangis semakin keras. “Aku mencintaimu, Raka. Tapi cinta saja tidak cukup.”
Setelah mengucapkan kata-kata itu, Nadya berdiri dan beranjak pergi, meninggalkan Raka sendirian di kamar rumah sakit yang sunyi.
Raka hanya bisa menatap kepergiannya, tidak mampu mengejarnya, bahkan jika dia mau.
Saat pintu tertutup, Raka menyadari bahwa hidupnya telah berubah selamanya.
Bukan hanya tubuhnya yang lumpuh, tetapi hatinya juga hancur, hancur oleh cinta yang tak bisa bertahan melawan dunia yang kejam.
Kalau cuma dipukul tidak sampai babak belur tidak akan kapok.
padahal masih bisa dilanjut....😄👍🙏
bersambung...