Hanya karena logam mulia dan wasiat yang di punya oleh kakek masing-masing membuat Nathan dan Tiffani berakhir di jodohkan. Tiffani tak menyangka bahwa dia harus menikah dengan laki-laki terpandang yang terkenal dari keluarga sendok emas. Sedangkan Nathan hanya bisa pasrah dengan masa depannya setelah dia mendapatkan garis keturunan sebagai calon penerus perusahaan Kakeknya, salah satunya dengan menikahi gadis yang tak pernah dia duga sebelumnya. Bahkan perjodohan ini membuat Nathan harus menyerah untuk menikahi sang pujaan hatinya yaitu Elea.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekeping Logam Berbentuk Hati
Di ruang tengah Nenek tengah duduk di sofa sambil menyeduh teh di atas meja. Sudah menjadi kebiasaan bahwasannya Nenek sangat menyukai nge-teh di pagi hari. Dua orang laki-laki masuk ke dalam rumah dan langsung menemui Nenek.
"Selamat pagi Nek.” Sapa kedua laki-laki berjas tersebut kompak.
“Silahkan duduk.” Nenek mempersilahkan.
Kedua pemuda itu duduk lantas Nenek mengeluarkan kotak dia taruh di meja di hadapan dua orang laki-laki yang merupakan suruhan Nenek. Selanjutnya Nenek juga memberi amplop putih dan amplop berwarna biru dengan isi yang berbeda.
“Itu untuk kalian.” Tunjuk Nenek pada amplop putih.
“Kalian sudah menemukan rumahnya kan?” tanya wanita yang sudah berusia setengah abad tersebut.
Kedua pemuda tersebut kompak mengangguk. “Sudah Nek.” Dua pemuda itu merupakan pesuruh Nenek yang di mandatkan untuk mencari tahu mengenai teman dari mendiang suaminya.
“Temui mereka dan mintai mereka benda yang sama yang ada di kotak, lalu kotak biru ini juga untuk mereka.” Nenek menjelaskan alasan kenapa Nenek menyuruh mereka kemari.
“Maaf Nek kalau boleh tahu apa isi dari amplop tersebut?” tanya salah satu pemuda kepada Nenek.
Nenek tersenyum. “Undangan agar mereka menemui saya di rumah ini.”
“Baik Nek, kami pamit sekarang.”
Kedua pemuda tersebut mengambil kotak kayu beserta amplop yang berada di meja lantas keduanya meninggalkan Nenek sendirian. Nenek mengambil cangkir bermotif bunga anggrek berwarna biru lantas kembali meminum tehnya.
***
Siang ini saat musim panas cuaca sangat terik rasa-rasanya matahari tepat berada di atas kepala, Pak Dion tengah sibuk di kedai lauk pauknya tengah bebersih seusai kedainya di serbu oleh karyawan yang membeli lauknya untuk digunakan makan siang.
Mobil mewah berhenti tepat di depan kedai, membuat Pak Dion yang berada di balik dapur melongok ke arah luar dan melihat persedian lauk pauknya yang tinggal sedikit. Kedua pemuda dengan setelan jas turun dari mobil dan masuk ke dalam kedai Pak Dion.
Pak Dion mengeringkan tangannya yang basah lantas keluar dari bilik dapur menyambut kedua pemuda bersetelan jas dengan senyuman yang ramah. “Mau membeli buat makan siang?”
"Permisi Pak." Sapa salah satu pemuda tersebut kepada Pak Dion.
"Iya silahkan di pilih mau lauk yang mana?” Pak Dion bertanya kembali kepada pemuda di hadapannya.
Mendengar apa yang dikatakan oleh penjual lauk, membuat dua pemuda tersebut saling menatap satu sama lain. Hingga akhirnya mereka mantap untuk mengutarakan maksud mereka untuk tidak membeli makan.
"Kami mau menanyakan rumah orang Pak."
"Ah iya, siapa namanya?” Pak Dion yang merasa tertipu bahwa kedua orang tersebut tidak membeli di kedainya, melainkan untuk bertanya rumah seseorang karena memang kedai Pak Dion berada di dekat jalan.
"Rumahnya Ibu Sarah."
Mendengar nama istrinya yang di sebut membuat Pak Dion kaget namun dia mencoba menetralkan ekspresi wajahnya. "Memangnya ada apa ya?"
Bukannya memberi tahu di mana keberadaan rumahnya, Pak Dion malah bertanya urusan apa yang membuat dua pemuda ini mencari istrinya, apalagi dilihat dari mobil yang di bawa dan juga setelan jas yang dipakai terlihat bahwa mereka bukan orang sembarangan. Pak Dion takut jika dua pemuda ini menagih hutang kepada istrinya, bisa saja istrinya mengambil pinjaman tanpa sepengetahuannya.
"Maaf Pak kita tidak bisa memberitahukan alasannya. Beritahu saja pada kita di mana rumah Ibu Sarah." Pemuda satunya lagi kembali bersuara.
Pak Dion terdiam memutar otak, sampai akhirnya dia tidak tahan dan bertanya hal yang membuat penasaran. "Apa kalian penagih hutang?" tanya Dion takut-takut dengan nada rendah.
Kedua pemuda tersebut saling tertawa saat mendengar pertanyaan Pak Dion, sampai akhirnya mereka menyadari tingkahnya dan kembali menetralkan ekspresi. "Kalau Bapak tidak bisa beri tahu biar kami tanya orang lain saja." ucap kedua pemuda itu pada akhirnya.
"Tunggu! tunggu!" Pak Dion kelimpungan saat kedua pemuda itu sudah membalikkan badan dan akan keluar dari kedai.
"Ada apa lagi Pak?" salah satu pemuda kembali meladeni ucapan Pak Dion.
"Saya antarkan tapi tunggu biar saya tutup kedai saya dulu."
Karena merasa tidak enak salah satu pemuda mencegah Pak Dion, "Tidak perlu Pak, tunjukkan saja di mana rumahnya."
"Sudah tidak apa, memang saya mau tutup kedai sebentar sekalian ambil bahan di rumah. Sarah itu istri saya." Pak Dion yang sudah menutup kedainya siap untuk pergi mengantar dua orang laki-laki itu.
Mendengar apa yang dikatakan Pak Dion, salah satu pemuda itu tampak geram dengan tingkah Pak Dion. "Kenapa tidak bilang dari tadi pak."
"Kalian tidak bertanya, lagian saya pikir kalian sudah tahu kalau saya suaminya." Jawab Pak Dion sedikit sarkasme dan langsung jalan begitu saja agar kedua pemuda itu mengikutinya, setelah berhasil mengunci kedainya.
"Mau kemana Pak, naik mobil saja."
Maklum saja jarak rumah Pak Dion ke kedai hanya beberapa meter dari rumahnya, maka dari itu sehari-hari Pak Dion ke kedai hanya berjalan kaki. Pak Dion yang akan mengantarkan pemuda tersebut dengan jalan kaki, namun urung hingga akhirnya masuk ke mobil BMW mewah. Baru kali ini Pak Dion bisa menaiki mobil mewah dia sampai menganga melihat bagaimana kemewahan interior mobil itu.
Beberapa menit kemudian, Pak Dion kembali bersuara. "Sudah berhenti! ini rumahnya."
Setelahnya Pak Dion mempersilahkan kedua pemuda tersebut untuk masuk, di rumah sederhana yang terletak di komplek padat penduduk. Kedua pemuda tersebut duduk bersila sambil membawa barang yang tadi di bawakan oleh Nenek. Sedangkan Pak Dion masuk ke dalam untuk menghampiri istrinya.
"Bu, lihat di luar ada orang yang mencari Ibu." Pak Dion berbisik ke arah istrinya yang sibuk menyiapkan makanan yang nanti akan di bawa ke kedai.
"Memangnya siapa Pak?" Bu Sarah menghentikan aksinya yang sedang memasukkan lauk pauk ke dalam kotak.
"Tidak tahu Bapak, bu. Apa ibu ambil pinjaman lagi?"
Satu pukulan dari Bu Sarah melayang pada lengan Pak Dion, "Bapak ini sembarangan kalau ngomong."
Pak Dion mengusap lengannya akibat pukulan yang didapatkan dari istrinya cukup keras. Dengan langkah pelan penuh kehati-hatian Ibu Sarah beserta Pak Dion keluar untuk menemui tamu. Melihat dua pemuda dengan setelan jas mahal membuat Bu Sarah tersentak. Kedua pemuda tersebut tersenyum melihat kehadiran seseorang yang ingin mereka temui akhirnya muncul.
Melihat Bu Sarah keluar, kedua pemuda tersebut kompak berdiri dan menyapa. “Halo Bu.”
"Ah ya, Maaf ada perlu apa ya?" Tanya Bu Sarah ramah.
"Saya orang suruhan dari SUN Group."
Pemuda satu lagi menaruh kotak kayu di meja dan membukanya memperlihatkan logam emas berbentuk setengah love. Bu Sarah dan Pak Dion saling berpandangan keduanya merasa tak asing dengan logam tersebut.
"Apa ibu punya logam seperti ini?"
Bu Sarah menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Sepertinya iya." Jawabnya ragu.
"Bu itu kan logam dari Bapak mertua yang dikasih buat ibu, yang berada di bawah meja makan." Bisik Pak Dion tepat di telinga istrinya.
Mendengar perkataan suaminya, bola mata Bu Sarah melebar. "Ah iya benar." Ucapnya senang.
"Bisa di tunjukkan kepada kami."
"Tunggu sebentar." Pak Dion bangkit berdiri untuk menunjukkan setengah logam yang di cari oleh kedua pemuda itu.
Berbeda dengan kepunyaan Kakek Surya yang merupakan pendiri SUN Group, logam kepunyaan Bu Sarah sangat berbeda. Warna emasnya sudah tak kentara lagi terdapat banyak noda menghitam, maklum saja karena benda tersebut tidak terawat dan malah di buat untuk menggajal kaki meja makan yang tidak seimbang.
Keluarga Tiffani, lebih tepatnya ibunya mendapatkan salah satu warisan yaitu logam tersebut dari ayahnya. Namun lambat laun keluarga Tiffani merasa bahwa logam itu tidak memiliki nilai jual hingga akhirnya saat mereka kesulitan karena kaki meja makan mereka tidak seimbang akibat di makan usia membuat mereka menggunakan benda itu.
Kedua pemuda itu menerima logam emas dari Pak Dion dan meyatukan dengan setengahnya lagi yang berada di kotak. Logam tersebut cocok, hingga membentuk hati. Kedua pemuda pesuruh Nenek tersebut merasa lega.
"Logam ini saya bawa dulu, sebagai gantinya perwakilan SUN Group mengundang keluarga sekalian untuk makan bersama." Pemuda itu menyerahkan amplop yang berisi undangan untuk keluarga Pak Dion.
"SUN Group?" Bu Sarah dan Pak Dion menganga tak percaya mereka di undang oleh pesohor terkenal, yaitu keluarga kaya yang terkenal di penjuru Indonesia.
"Iya, kalau begitu kami permisi dulu."
Kedua pemuda itu bangkit. Namun, Bu Sarah baru teringat dan menawarkan mau minum apa tapi keduanya menolak dengan alasan kalau masih ada urusan lain. Hingga akhirnya mereka mengantarkan pemuda itu keluar dari rumah. Melihat mobil yang di bawa oleh kedua pemuda itu sekarang gantian Bu Sarah yang melongo.
***
Tiffani yang baru saja pulang dari kampus turun dari bus dan jalan kaki ke rumahnya, dia juga melewati kedai milik Ayahnya yang tutup. Netranya melihat pemandangan mobil mewah terparkir di depan rumahnya selain itu terdapat dua laki-laki dengan setelan jas keluar dari rumahnya yang ternyata pemilik mobil itu. Sementara itu kedua orang tuanya tampak tersenyum sumringah mengantar kepulangan tamunya tersebut.
Melihat pemandangan ini, membuat Tiffani sudah berpikir bahwa keduanya orang tuanya pasti baru saja mengambil pinjaman kembali. Setelah kepergian mobil tersebut, Tiffani bergegas berlari menuju ke rumahnya.
Perempuan tersebut langsung masuk ke dalam rumah dan malah mengomel menanyakan siapa kiranya dua laki-laki yang dilihatnya tadi. "Siapa yang datang tadi pakai mobil mewah itu?"
"Orang suruhan SUN Group." Jawab ayahnya enteng.
Mendengar nama yang di ucapkan oleh Ayahnya, Tiffani tahu bahwa perusahaan tersebut sangat terkenal sekali namanya. Namun anehnya ada hal lain yang mengganjal di pikiran Tiffani, tapi dia tidak mempermasalahkan lebih jauh kiranya hal apa itu. Dia menatap kedua orang tuanya bergantian, ibunya yang disibukan dengan mengemas bahan makanan kembali sedangkan ayahnya tengah memperbaiki kaki meja makan.
"Pinjaman lagi kan?" Tiffani yang akan masuk ke dalam kamarnya namun berhenti di ambang pintu sampai akhirnya mengutarakan pertanyaan itu.
Pak Dion bangkit dan mengambil amplop di meja makan lantas menyerahkan kepada putrinya itu. "Kamu baca sendiri."
Pak Dion sangat paham bahwa putrinya itu sangat jengkel dengan kedua orang tuanya yang tidak bisa mengatur ekonomi. Apalagi keluarga mereka sering di datangi oleh rentenir, aset yang dulu mereka punya juga tinggal sedikit karena mereka jual digunakan untuk membayar hutang. Jujur sebagai kepala keluarga Pak Dion merasa bersalah akan hal itu.
TIffani masuk ke dalam kamar dengan amplop yang tadi di berikan oleh ayahnya. Dia terduduk di ranjang, melepaskan tote bag yang menggantung di lengannya. Tiffani membaca isi undangan yang ada di dalam amplop.
"Makan bersama? satu keluarga?"
“Tunggu-tunggu tapi aku merasa ada hal lain yang aku tahu mengenai SUN Group tapi apa?” Tiffani mengernyit memikirkan sesuatu.
Tiffani merasa bingung, kenapa keluarga miskin seperti keluarganya di undang oleh pemilik perusahaan mewah. Namun Tiffani tak ingin larut ke dalam pertanyaan di otaknya setelah membaca isi dari amplop tersebut, dia memilih bersiap-siap untuk bekerja paruh waktu di cafe kepemilikan temannya.
Setiap hari sepulang kuliah dengan jam yang fleksibel Tiffani bekerja di cafe temannya. Gaji yang di dapat juga tak seberapa namun Tiffani bersyukur walaupun begitu dengan gaji yang didapat ia bisa pergi bermain dari hasil membantu temannya itu. Tak hanya itu Tiffani juga mempunyai penghasilan lain yaitu dengan menjadi asisten dosen.