Enam tahun silam, dunia Tama hancur berkeping-keping akibat patah hati oleh cinta pertamanya. Sejak itu, Tama hidup dalam penyesalan dan tak ingin lagi mengenal cinta.
Ketika ia mulai terbiasa dengan rasa sakit itu, takdir mempertemukannya dengan seorang wanita yang membuatnya kembali hidup. Tetapi Tama tetap tidak menginginkan adanya cinta di antara mereka.
Jika hubungan satu malam mereka terus terjadi sepanjang waktu, akankah ia siap untuk kembali merasakan cinta dan menghadapi trauma masa lalu yang masih mengusik hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mobil Bergoyang
Enggak ada yang bisa dibandingkan dengan rasa dan bau hujan di musim ini.
Pas pikiran itu lewat di kepala gue, tangan hangatnya menyentuh pipi gue dan geser ke tengkuk, menghilangkan tenaga dari lutut gue dan udara dari paru-paru gue.
Tinggi badannya sekarang jadi tameng dari sebagian besar hujan, tapi gue tetap merem dan mengarah ke langit. Bibirnya pelan-pelan turun ke bibir gue, dan gue malah membandingkan rasa dan bau hujan sama ciumannya.
Ciumannya jauh, jauh lebih baik.
Bibirnya basah kena hujan, dan sedikit dingin, tapi dia menyeimbangkan itu dengan sentuhan hangat lidahnya yang menggesek lidah gue.
Hujan yang turun, kegelapan yang mengelilingi kita, dan dicium kayak begini bikin gue merasa kita benaran lagi di atas panggung, dan cerita kita baru saja sampai ke puncaknya.
Rasanya kayak hati, perut, dan jiwa gue semuanya berlomba-lomba buat keluar dari diri gue dan masuk ke dia.
Kalau selama dua puluh tiga tahun hidup gue digambar di grafik, momen ini pasti jadi puncaknya.
Gue harusnya mungkin sedih dan kecewa dengan hal ini. Gue pernah punya beberapa hubungan yang serius di masa lalu, tapi gue enggak bisa ingat satu pun ciuman dari cowok-cowok itu yang bikin gue merasa kayak begini.
Gue bahkan enggak ada dalam hubungan percintaan sama Tama tapi bisa merasa sebegitunya sama dia harusnya bikin gue berpikir, tapi gue terlalu fokus sama bibirnya buat memikirkan hal itu.
Hujan berubah jadi deras banget, tapi kayaknya enggak ada di antara kita yang terganggu. Tangan dia turun ke punggung bawah gue, dan gue menggenggam bajunya, tarik dia lebih dekat. Mulutnya pas banget sama mulut gue, kayak dua potongan puzzle yang akhirnya ketemu.
Satu-satunya hal yang mungkin bisa memisahkan gue dari dia sekarang adalah sambaran petir.
Hujannya semakin deras sampai gue enggak bisa napas. Baju gue menempel ke bagian tubuh yang gue enggak pernah tahu kalau bisa ditempeli baju. Rambut gue basah banget sampai enggak bisa menyerap air lagi.
Gue dorong dia sampai bibirnya lepas dari bibir gue, terus gue mengubur kepala di bawah dagunya dan menunduk biar bisa napas tanpa tenggelam. Dia melingkarkan tangannya di sekitar bahu gue dan mengarahkan gue. Dia mengangkat jaketnya di atas kepala gue. Langkahnya makin cepat, dan gue mengikuti iramanya sampai kita berdua lari-lari kecil.
Akhirnya kita sampai di mobil gue, dan dia membawa gue ke pintu sisi pengemudi, masih melindungi gue dari hujan. Pas gue sudah di dalam mobil, dia buru-buru ke sisi penumpang. Begitu kedua pintu kita tertutup, hening di dalam mobil bikin napas kita yang berat terdengar lebih jelas.
Gue urai rambut ke belakang kepala, terus memeras air yang berlebih dari situ. Airnya mengalir ke leher, punggung, dan jok mobil gue. Ini pertama kalinya gue senang punya jok mobil dari kulit.
Gue sandarkan kepala ke belakang dan menghela napas panjang, terus mencuri pandang ke arahnya.
"Gue enggak pernah basah kayak gini seumur hidup." Kata gue.
Gue lihat senyum perlahan menyebar di wajahnya. Jelas banget pikirannya menyasar ke hal yang enggak-enggak gara-gara pernyataan gue barusan. "Mesum," bisik gue sambil bercanda.
Dia angkat alisnya dan menyengir. "Gara-gara lo." Dia menjepit pergelangan tangan gue pakai jarinya dan tarik gue lebih dekat. "Sini deh."
Gue buru-buru mengecek sekitar kita, tapi hujannya turun begitu deras sampai gue enggak bisa melihat ke luar. Itu berarti enggak ada yang bisa melihat kita ke dalam juga.
Gue mengatur posisi gue di atas dia dan duduk di pangkuannya, sementara dia mendorong kursi ke belakang sejauh mungkin. Tapi, dia enggak langsung mencium gue.
Tangannya malah meluncur turun ke lengan gue dan berhenti di pinggul gue.
"Gue belum pernah ngelakuin ini di mobil sebelumnya," katanya dengan sedikit harapan.
"Gue juga belum pernah ngelakuin ini sama kapten sebelumnya," bales gue.
Dia taruh tangannya ke bawah atasan seragam gue, menaikkan tangannya ke perut sampai ketemu sama Bra gue. Dia mengecup kedua tombol analog gue, terus maju ke depan buat mencium gue. Ciumannya enggak bertahan lama, karena dia buru-buru melepasnya buat ngomong lagi. "Gue juga belum pernah ngelakuin ini sebagai kapten."
Gue senyum. "Gue belum pernah ngelakuin ini pake seragam medis."
Tangannya menggeser ke punggung gue, terus masuk ke dalam pinggang celana gue. Dia tarik pinggul gue ke arahnya sambil sedikit memiringkan badannya, langsung bikin pegangan gue di bahunya makin erat dan desahan keluar dari bibir gue.
Mulutnya pindah ke telinga gue sementara tangannya mulai bikin ritme di antara kita dengan tarik pinggul gue lagi. "Sekeren apapun lo kelihatan pake seragam, gue lebih pengen lo ngelakuin ini tanpa baju sama sekali."
Gue malu seberapa gampang kata-katanya bikin gue mendesah. Gue juga malu seberapa cepat suaranya bisa bikin gue lepas kontrol, sampai-sampai gue mungkin lebih ingin melepas baju gue daripada dia. "Please jangan bilang kalo lo udah persiapin ini," suara gue berat karena gue enggak tahu masih ada di bumi atau di planet yang lain.
Dia geleng-geleng kepala. "Cuma karena gue tahu bakal ketemu lo malam ini, bukan berarti gue datang dengan rencana." Rasa kecewa langsung merayap di diri gue. Dia bangun dari kursi dan pindahkan tangannya ke kantong belakang. "Tapi gue datang dengan harapan."
Dia tarik kondom dari dompetnya sambil senyum, dan kita berdua langsung gerak cepat.
Tangan gue lebih cepat membuka kancing celananya daripada bibir kita bertemu. Dia ambil tangannya ke punggung gue buat buka Bra gue, tapi gue geleng kepala.
"Biarin aja," kata gue sambil megap-megap. Makin sedikit baju yang kita lepas, makin cepat kita bisa pakai lagi kalo ketahuan.
Tapi dia tetap menggulung tali Bra gue, walaupun gue protes. "Gue enggak mau ,kecuali gue bisa ngerasain lo langsung nempel di gue."
Wow. Oke, kalau begitu.
Pas Bra gue terbuka, dia langsung angkat kaos gue melewati kepala, dan jarinya mulai selip di bawah tali Bra. Dia tarik talinya sampai turun dari lengan gue, dan Bra-nya jatuh.
Dia lempar Bra itu ke kursi belakang, lalu dia juga melepas kaosnya. Setelah kaos dia ikutan menyusul Bra gue di kursi belakang, dia peluk gue dan menarik gue mendekat sampai dada kita yang tanpa busana saling bersentuhan.
Kita berdua langsung tarik napas dalam-dalam. Hangatnya tubuh dia bikin gue enggak mau jauh-jauh. Dia mulai mencium leher gue, napasnya yang berat terasa di kulit gue.
"Lo enggak tahu apa yang lo lakuin ke gue," bisiknya di leher gue.
Gue senyum, karena gue baru saja memikirkan hal yang sama.
"Oh, gue rasa gue tau," jawab gue.
Tangan kirinya menggenggam salah satu boba gue, dan dia mendesah pelan saat tangan kanannya masuk ke dalam celana gue.