Cintailah pasanganmu sewajarnya saja, agar pemilik hidupmu tak akan cemburu.
Gantungkanlah harapanmu hanya pada sang pencipta, niscaya kebahagiaan senantiasa menyertai.
Ketika aku berharap terlalu banyak padamu, rasanya itu sangat menyakitkan. Kau pernah datang menawarkan kebahagiaan untukku tapi kenapa dirimu juga yang memberiku rasa sakit yang sangat hebat ?
~~ Dilara Annisa ~~
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunda Yuzhi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Anak Teman Ayah
Fikri menatap lekat wajah cantik milik Dilara yang sedang tertidur pulas. Ada kesenduan tersorot dari kilatan cahaya matanya. Segudang kegelisahan tergambar jelas dan sangat singkron dengan raut wajahnya yang terlihat gamang.
Setelah melepas rindu yang terpendam dari perpisahan seminggu lebih, Dilara langsung tertidur dengan pulas dalam pelukan sang suami. Wajah damai dalam tidurnya seakan menjelaskan dia baik-baik saja.
Tapi nyatanya itu salah. Fikri tidak tahu, apa yang sedang dipendam oleh Dilara saat ini. Dia tidak tahu, saat Dilara melayaninya tadi, Dilara menahan rasa sakit di perut bagian bawah yang sangat mengganggu. Tapi wanita cantik itu berusaha terlihat baik-baik saja.
Dan Fikri juga tidak peka, saat Dilara menanti penjelasan darinya tentang dia mengaku ada di Menado tapi ternyata ada di Makassar. Yang langsung dialihkan pembicaraan, dia tidak tahu bahwa istrinya menahan perih di dalam hatinya, meskipun Dilara tidak memaksanya memberi penjelasan.
" Maafkan abang, sayang ! Abang pasti akan menjelaskan semuanya padamu secepatnya. Setelahnya semua akan kembali normal dan baik-baik saja. Abang sangat mencintaimu, tak ada seorangpun yang bisa membuat abang jatuh cinta berkali-kali selain dirimu. " Gumam Fikri pelan sambil mengusap lembut pipi mulus sang istri lalu mengecup penuh cinta pucuk kepalanya.
Fikri mengurai pelan pelukannya lalu bangkit dengan perlahan dari tempat tidur. Pergerakannya dibuat selembut mungkin agar tidak mengganggu tidur lelap sang istri, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
" Apa yang abang sembunyikan dariku, bang ? " Ternyata Dilara belum benar benar tertidur, dia hanya memejamkan matanya untuk menyamarkan rasa sakit. Wanita cantik itu membuka matanya saat mendengar gemericik air dari kamar mandi. Setetes cairan bening meluncur deras membasahi bantal yang ditidurinya.
Dilara menoleh ke arah jendela yang gordennya tersingkap sempurna. Langit sore yang tadinya berwarna biru agak gelap, ternyata sudah berganti warna menjadi jingga. Senja telah menyapa dan Dilara segera bangkit dengan tubuh yang terasa lemas. Dia duduk menyandarkan tubuhnya di headboard ranjang.
" Aku harus kuat. Jika nanti kenyataan di depan nanti menyakitiku, aku harus kuat. " Gumamnya menyemangati dirinya sendiri.
" Klek "
Pintu kamar mandi terbuka, seiring dengan tubuh kekar keluar dari bilik itu. Tubuh berkulit sawo matang itu hanya berbalut handuk sebatas pinggang. " Kok sudah bangun, sayang ? Abang kira kamu masih tidur. " Ujar Fikri lembut seraya berjalan mendekat ke arah istrinya. Terlihat tetes air menetes dari sela rambutnya yang basah, semakin menambah kesan sexi.
Dilara tersenyum tipis dan menarik selimut untuk menutupi tubuhnya sebatas dada. " Abang sudah mandi ? " Bukannya menjawab, Dilara melempar pertanyaan yang sudah jelas dia tahu jawabannya.
Fikri tersenyum lembut. Pria keturunan Arab itu duduk di tepi ranjang dan menghadapkan tubuhnya ke arah Dilara, lalu menggenggam lembut tangan halus itu. " Mau mandi juga ? Ayok sini abang gendong ke kamar mandi. Abang perhatikan tubuhmu lemas sekali dan wajahmu sedikit pucat. Maafkan abang kalau sudah membuatmu lelah tadi. Habisnya abang sangat merindukanmu. " Ucap Fikri diiringi kekehan kecil bermaksud menggoda Dilara. Dia sangat merindukan wajah istrinya yang tersipu malu kalau digoda seperti itu.
" Biar Lara mandi sendiri. " Sahut Dilara menggeleng pelan, lalu meraih bajunya yang teronggok di sampingnya. Raut wajahnya yang datar membuat Fikri sedikit bingung. Biasanya Dilara akan merengek manja bila dia menggodanya.
" Ra ! " Seru Fikri saat melihat Dilara terhuyung ketika kakinya menapak lantai.
" Lara tidak apa-apa. " Ucap Dilara lirih lalu menepis pelan tangan sang suami ketika Fikri menahan bobot tubuhnya yang sedikit oleng.
" Kamu kenapa, Ra ? wajahmu pucat, sayang ! Itu yang kamu bilang baik-baik saja ? " Sentak Fikri sedikit kesal mendapat penolakan Dilara.
Dilara mengangkat wajahnya lalu menatap wajah kesal sang suami. " Karena memang aku baik-baik saja. Abang saja yang terlalu khawatir. " Sahut Dilara pelan tapi suaranya sedikit bergetar menahan perih menerima bentakan dari Fikri.
Suasana hatinya yang lagi sensitif ditambah lagi rasa perih di perut bagian bawahnya, membuat mood Dilara semakin hancur. Andai dia hanya sendiri di kamar saat ini, dia pasti sudah berteriak menangis.
" Ra..kamu kenapa sih terlihat aneh hari ini ? Kamu lebih banyak diam dan sepertinya tidak ingin abang dekat-dekat denganmu. " Cecar Fikri kesal.
" Apa abang punya salah sama kamu ? Bilang kalau abang punya salah. Jangan bikin abang bingung. " Imbuhnya lagi dengan napas sedikit memburu menahan emosi.
Sepertinya Fikri belum juga menyadari kesalahannya. Itulah laki-laki, dia akan cepat dan sensitif membaca kesalahan pasangannya, tapi tidak pernah merasakan salah padahal sudah melakukan kesalahan fatal berulang-ulang. Andai mengetuk kepala suami itu tidak berdosa, Dilara ingin sekali mengetuk kepala laki-laki tampan itu pake centong nasi, biar otaknya sedikit terbuka.
" Maaf, kalau sikap Lara bikin abang tidak nyaman. Sungguh, Lara baik-baik saja. Abang tidak usah khawatir. " Ujar Dilara lembut tanpa emosi lalu membalikkan badannya, meninggalkan Fikri yang semakin frustasi dengan tingkah istrinya tidak seperti biasanya.
♡♡♡
Di meja makan terlihat sepi. Hanya denting sendok beradu dengan piring mengisi kesenyapan makan malam sepasang suami istri itu.
" Ra..! weekend nanti kita liburan ke Danau Tambing yuk. " Celetuk Fikri setelah menyelesaikan makannya lalu meletakan sendok dan garpu di atas piring." Kita camping semalam di sana. " Imbuhnya lagi, seraya menatap ke arah Dilara.
" Iya, bang. Lara mau " Tukas Dilara antusias. Senyum sumringah merekah sempurna di bibir mungilnya,dia ikut meletakkan sendoknya di atas piring karena makanannya sudah habis.
Fikri tersenyum lalu mengusap lembut rambut lurus sepunggung sang istri. Dia lega, sang istri sudah tersenyum ceria lagi.
" Selalu cantik dan menggemaskan. " Ujarnya seraya mencubit pelan pipi istrinya yang terlihat sedikit tirus dari biasanya.
" Iya dong ! Siapa dulu suaminya ..he...he.. ! " Kekeh Dilara yang telah kembali mood-nya. Hanya dengan bayangan dia quality time dengan suaminya nanti, berhasil membuat suasana hatinya seketika menjadi baik.
" Ulu ulu...itu istrinya Fikri ! " sahut Fikri sambil men-dusel hidungnya di pipi mulus Dilara.
" Aah...bang ! Geli ! " Pekik Dilara menahan kepala Fikri yang condong ke arahnya.
Mba Ina yang kebetulan melihat adegan itu, ikut tersenyum bahagia. Wajah murung sang majikan beberapa hari ini sedikit membuatnya ikut sedih. " Bahagia selalu bu Lara. Semoga kalian langgeng sampai maut memisahkan. " Gumam art itu menatap punggung suami istri itu yang meninggalkan meja makan, kemudia dia beranjak untuk membereskan piring kotor.
" Ayah ! "
" Bunda ! "
Suara cempreng khas anak kecil mengejutkan Dilara dan Fikri yang sedang menonton di ruang keluarga.
Dilara mengangkat kepalanya yang sedang bersandar di bahu Fikri. " Assalamualaikum sayangnya, bunda ! " Sambut Dilara berhasil menyindir gadis kecil itu sampai tersipu malu.
" He..he... Waalaikum salam ! Maaf, Cilla lupa. " Ujar Cilla cengengesan sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal lalu bergerak malu-malu ke arah Dilara dan Fikri.
Dilara dan Fikri terkekeh geli. " Kebiasaan ! Makanya sering lupa. " Ucap Fikri sambil mengulurkan tangannya menyambut tubuh sang keponakan. Dipeluknya erat tubuh gembul itu lalu menghujaninya dengan ciuman bertubi-tubi.
Cilla terkikik geli. " Ayah ! Geli ayah ! Itu tumis ayah Cilla geli bikin. " Pekik gadis kecil menggeliat kegelian.
" Sama siapa ke sini, hmm ? " Tanya Fikri tanpa menghentikan ciumannya.
" Cama ncus. Cilla tinggal lali-lali ncus. Ncus tidak bisa kejal kaki lali-lali Cilla..haa..haa.! " Jawab gadis kecil itu, sangat senang meninggalkan suster pengasuhnya..
" Astaga, Cilla kebiasaan deh. Kenapa harus lari, nak. Kalau Cilla jatuh gimana ? " Ucap Dilara menimpali Cilla.
" Dek Cilla Huuh..huuh...kebia saan tinggalin sus. Sus tt tidak bisa kejjaar ! " Celetuk seseorang yang baru datang dengan napas tersengal.
" Huh..ncus yang tidak setelong. Masa kalah cama Cilla. " Cibir Cilla pada wanita berbadan tambun itu sambil terkekeh meledek.
" Wanita itu men-cebik ." Cilla tidak kasian sama sus. Badan sus berat dibawa lari. " Sahut suster itu lalu duduk selonjoran di lantai.
" Makanya ncus olah laga cupaya langsing bunda badan sepelti. " Tukas Cilla tidak mau kalah, yang hanya ditanggapi cebikan bibir sang pengasuh. Sepertinya perdebatan seperti ini sudah biasa antara pengasuhnya dan Cilla.
" Cilla, sayang ! Tidak naik bicara begitu sama yang lebih tua. Tidak sopan namanya. " Tegur Dilara tegas walaupun dengan suara lembut.
" Maaf bunda. Tidak lagi bicala sopan tidak. " Ucap Cilla lirih sambil menunduk dengan wajah penuh rasa bersalah.
" Minta maafnya sama sus, bukan ke bunda ! " Timpal Fikri tersenyum lembut.
Cilla segera turun dari pangkuan Fikri. " Ncus ! Cilla minta maaf, ya ! Cilla lilap. Cilla janji, ulang tidak lagi. " Ucap Cilla sungguh-sungguh dengan wajah dibuat sememelas mungkin.
" Ha..haa...apa Lilap ? Khilaf Cilla...issh ! " Ledek suster berbada subur itu pada Cilla. Sepertinya dia senang mendapat bahan ledekan buat majikan kecilnya itu. Fikri dan Dilara ikut tersenyum melihat tingkah suster dan Cilla yang sepertinya tidak pernah akur.
" Aa...itu Cilla mau kata. " Cilla tidak menanggapi ledekan susternya. Segera dia naik kembali ke pangkyan Fikri tanpa menunggu kata memaafkan dari sang pengasuh.
Pengasuh itu bangkit dari tempatnya dan segera melangkah ke arah dapur. " Saya ijin masuk dulu, Bu. Pak ! " Ucapnya hormat. Dia sadar posisinya yang hanya seorang pengasuh tidak seharusnya ada di situ.
Fikri dan Dilara hanya mengangguk lalu mengalihkan perhatian mereka pada Cilla.
" Ayah di mol cama capa. Anak anak Cilla macam peluk-peluk ayah, Cilla tidak mau. " Celetuk Cilla tiba-tiba memprotes Fikri.
Kening Fikri dan Dilara sontak berkerut mencoba mencerna apa maksud ucapan Cilla.
" Ayah di mol, kaki jalan-jalan. Tulus kicil anak peluk kaki ayah. Begitu ! " Ucap Cilla lagi coba menjelaskan maksudnya dengan gestur mempraktekan pelukan.
" Ooh...ayah lagi di mol. Terus ada anak kecil peluk ayah, begitu ? " Dilara coba meluruskan penjelasan Cilla.
Seketika tubuh Fikri menjadi kaku. Bola matanya liar mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaan sang ponakan.
" Aah...ii-itu.. Anak teman ayah Cilla. Kebetulan ayah ketemu teman ayah di mall. Anaknya manja sekali sama ayah. " jawab Fikri sedikit gugup. Dan Dilara tau itu. Dia sangat tau kala mana suaminya akan berkata jujur dan kala mana suaminya akan berbohong. Kebersamaan mereka selama lima tahun, sudah cukup untuk mengenali karakter sang suami.
" Tapi, mana papana ? Cilla tidak papana liat cama ayah. Cilla liat cuma mamana. "
" Deg.. "
lanjut thor
..