Annisa memimpikan pernikahan yang bahagia bersama lelaki yang dicintainya dan mencintainya. Tetapi siapa sangka dirinya harus menikah atas permintaan sang Kakak. Menggantikan peran sang Kakak menjadi istri Damian dan putri mereka. Clara yang berumur 7 tahun.
Bagaimana nasib Annisa setelah pernikahannya dengan Damian?
Mampukah Annisa bertahan menjadi istri sekaligus ibu yang baik untuk Clara?
Temukan kisahnya hanya di sini!^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Salah paham
Plak!
Annisa memegangi pipinya yang berdenyut akibat tamparan dari Damian, suaminya. Lelaki itu menatap tajam serta lekat ke arah Annisa sebelum mencengkeram kedua bahu Annisa, memaksanya untuk melihat netra Damian yang menyala marah.
“Kau ingin menjadi jal*ng, Annisa?” tanyanya serak yang tentu dibalas gelengan oleh Annisa.
Lelaki itu tengah terbakar api cemburu setelah melihat kebersamaan Annisa dengan Robert, rekan kerjanya.
Damian menatap Annisa dengan kemarahan yang semakin membara, seolah-olah api cemburu yang menyulut hatinya semakin berkobar-kobar. Suaranya gemetar, penuh dengan luapan amarah dan kekecewaan yang telah lama terpendam, "Kau pikir aku buta? Aku lihat bagaimana Robert memandang mu!"
Tatapan tajamnya seakan menembus Annisa, membuat wanita itu terdiam kaku, hatinya mencelos. Masih terkejut dengan tamparan yang baru saja mendarat keras di pipinya, Annisa merasakan panas di wajahnya bercampur dengan perasaan takut dan sedih. Air mata yang menggenang di sudut matanya mulai jatuh, membasahi pipinya yang perih. Ia mencoba mengatur napas, suaranya serak ketika ia akhirnya berbicara,
"Mas Damian, aku... aku hanya bekerja dengannya. Tidak ada yang lebih dari itu. Aku tak pernah berpikir untuk menyakitimu," suaranya pecah, terbata-bata, mencoba menenangkan suaminya yang terlihat semakin marah.
Namun, Damian tampaknya tidak mendengarkan. Kata-kata Annisa seolah terbang ditiup angin. Wajah lelaki itu semakin keras, dan cengkeramannya di kedua bahu Annisa semakin kuat, membuat Annisa merasakan sakit yang semakin menusuk.
"Jangan berani-berani berbohong padaku, Annisa! Aku bisa melihat dengan jelas apa yang terjadi. Aku takkan pernah memaafkan pengkhianatan, apa pun alasannya." Suaranya rendah namun penuh ancaman, dan sorot matanya membuat Annisa merasa seolah terpojok.
Tubuh Annisa mulai gemetar, bukan hanya karena rasa sakit fisik yang dirasakan, tapi juga karena ketakutan yang mulai merayap perlahan. Hubungannya dengan Damian kini terasa seperti jebakan yang tak bisa ia lepaskan, semakin erat menggenggam tanpa memberi ruang untuk bernapas.
"Mas Damian, tolong... Aku tidak pernah melakukan apa yang kau pikirkan. Aku setia padamu. Percayalah padaku, aku tidak akan pernah mengkhianatimu," Annisa memohon dengan suara bergetar, air matanya mengalir semakin deras.
Tapi Damian tetap tidak bergerak. Tatapannya tetap dingin dan penuh kecurigaan. Ia melepaskan cengkeramannya dengan kasar, membuat Annisa terhuyung ke belakang, hampir terjatuh.
"Kita lihat saja nanti. Kalau aku melihatmu lagi dengan dia, aku tidak akan segan-segan membuatmu menyesal, Annisa. Kau akan tahu seperti apa aku saat benar-benar marah," katanya dengan nada dingin yang membuat Annisa semakin terpuruk.
Tanpa menunggu jawaban, Damian berbalik dan berjalan keluar dengan langkah berat, meninggalkan Annisa yang kini jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya gemetar, mencoba menahan rasa sakit yang masih terasa di pipinya. Namun, lebih dari rasa sakit fisik, hatinya kini terasa hancur, seolah tidak ada lagi harapan untuk memperbaiki apa yang rusak dalam rumah tangganya.
Tangannya terangkat pelan, menyentuh pipi yang memerah, merasakan denyutnya yang semakin menyakitkan. Air mata yang jatuh tidak berhenti, dan ia hanya bisa berharap bahwa semua ini hanyalah mimpi buruk yang bisa segera berakhir. Namun, di sudut hatinya yang terdalam, Annisa tahu bahwa kenyataan ini jauh lebih kejam daripada mimpi mana pun.
Annisa dan Damian menikah dua tahun yang lalu, dalam sebuah pernikahan yang tidak pernah ia bayangkan akan terjadi. Pernikahan itu bukanlah hasil dari kisah cinta yang romantis atau pilihan hati, melainkan amanah yang harus dipikulnya setelah kematian Arum, kakak perempuannya.
Arum adalah cinta pertama dan satu-satunya bagi Damian. Mereka telah membangun kehidupan bersama hingga lahirnya Clara, anak perempuan mereka yang kini berusia tujuh tahun. Kehilangan Arum secara mendadak meninggalkan luka mendalam di hati Damian dan kekosongan besar dalam hidup Clara. Annisa, dengan segala kesedihan dan rasa tanggung jawab terhadap keluarga, menerima tugas yang berat: menggantikan Arum sebagai istri Damian dan ibu bagi Clara.
Namun, sejak awal, Annisa tahu bahwa ini bukan pernikahan yang normal. Meskipun dia mencintai Damian dengan tulus, hatinya penuh dengan harapan bahwa suatu hari Damian akan mencintainya kembali, kenyataannya jauh dari apa yang ia impikan. Damian tak pernah bisa melihat Annisa lebih dari bayangan Arum. Di matanya, Annisa hanyalah pengganti, seseorang yang datang karena kewajiban, bukan karena cinta. Setiap kali Damian menatapnya, Annisa merasakan jarak yang begitu besar, seolah-olah ia selalu dibandingkan dengan kakaknya yang tak tergantikan.
Hari-hari mereka dipenuhi keheningan yang berat. Damian jarang berbicara banyak padanya kecuali untuk hal-hal yang penting. Bahkan ketika mereka bersama, kehadiran Arum selalu terasa mengintai di antara mereka. Damian sering kali masih mengingat Arum dalam kata-katanya, pandangannya, dan bahkan dalam cara ia merawat Clara.
Clara sendiri, meskipun telah menerima Annisa sebagai figur yang merawatnya, masih sangat merindukan ibunya. Setiap kali Clara menyebut nama Arum, Annisa merasakan sakit yang tajam di hatinya, menyadari bahwa ia tidak akan pernah bisa sepenuhnya mengambil posisi kakaknya dalam hidup Damian maupun Clara.
Annisa mencoba menenggelamkan kesedihannya dalam pekerjaannya. Di kantor, ia menemukan tempat untuk sejenak melarikan diri dari tekanan rumah tangga yang terasa semakin berat. Robert, rekan kerjanya, sering kali menjadi tempatnya bercerita tentang tekanan yang ia rasakan, meski percakapan mereka tak pernah lebih dari sekadar rekan kerja. Bagi Annisa, Robert hanyalah seorang teman yang memberikan ruang untuknya bernapas. Namun, bagi Damian, kebersamaan Annisa dengan pria lain adalah sesuatu yang tak bisa diterima.
Damian, yang masih hidup dalam bayang-bayang masa lalu dan rasa kehilangan Arum, mulai dipenuhi oleh rasa cemburu yang irasional. Ia tak bisa menerima bahwa Annisa, istri yang dianggapnya seharusnya setia menjalankan perannya sebagai ibu dan istri pengganti, bisa memiliki kehidupan di luar dirinya. Setiap kali Annisa pulang terlambat atau menceritakan hari-harinya di kantor, wajah Damian selalu menegang. Diam-diam, ia merasa bahwa Annisa sedang mencari kebahagiaan di luar pernikahan mereka, sesuatu yang tak pernah ia duga akan terjadi.
Suatu hari, setelah melihat Annisa dan Robert tertawa bersama saat mereka kebetulan bertemu di sebuah acara kantor, kemarahan Damian mencapai puncaknya. Ia tidak bisa lagi menahan api cemburu yang membakar hatinya. Setibanya di rumah, tanpa menunggu penjelasan apapun, Damian menampar Annisa dengan keras, membuatnya terkejut dan jatuh terdiam. Pipi Annisa yang memerah tidak hanya karena tamparan itu, tapi juga karena luka yang lebih dalam—luka karena pernikahan ini tak pernah berlandaskan cinta, dan kini bahkan rasa hormat pun seolah-olah hilang.
Dengan suara gemetar dan amarah yang tak terbendung, Damian menatap Annisa tajam. "Kau ingin menjadi jalang, Annisa? Kau pikir aku tidak melihat apa yang terjadi antara kau dan Robert?"
Annisa terguncang. Ia mencoba menjelaskan dan tangisannya tertahan.
Namun, Damian tak mendengarkan. Bagi Damian, pengkhianatan adalah sesuatu yang tidak bisa diterima. Kehilangan Arum sudah menghancurkannya, dan sekarang, meskipun Annisa tidak melakukan apa-apa, Damian merasa bahwa dia sedang dihadapkan pada ancaman kehilangan lain, kehilangan kendali atas hidup yang telah rusak sejak Arum pergi.
Damian mencengkeram bahu Annisa dengan kuat, memaksanya menatap matanya yang dipenuhi kemarahan.
"Aku tidak akan membiarkanmu mempermalukan aku, Annisa. Jika aku melihatmu lagi dengan dia, kau akan menyesal seumur hidup." Kata-kata itu dingin, penuh ancaman, dan tanpa sedikit pun rasa belas kasih.
Annisa gemetar, menahan sakit tidak hanya di pipinya yang masih berdenyut, tetapi juga di hatinya yang semakin hancur. Ketakutan menyelimutinya, tapi yang paling membuatnya takut bukanlah ancaman Damian, melainkan kenyataan bahwa cinta yang selama ini ia harapkan dari suaminya mungkin tidak akan pernah datang.
Setelah melepaskan cengkeramannya, Damian meninggalkan Annisa yang terduduk lemas di lantai. Tubuhnya gemetar, menahan tangis yang akhirnya pecah. Di antara isakannya, Annisa menyadari bahwa apa yang ia jalani selama dua tahun ini hanyalah bayangan dari kehidupan yang seharusnya. Cinta yang ia berikan kepada Damian tidak pernah terbalas, dan dirinya hanyalah sosok yang diinginkan karena kewajiban, bukan karena cinta.
Dalam keheningan rumah yang sunyi, Annisa merasa lebih kesepian dari sebelumnya, terperangkap dalam pernikahan yang tidak hanya tanpa cinta, tetapi juga tanpa harapan untuk bisa diperbaiki.