Satu persatu teror datang mengancam keselamatan Gio dan istri keduanya, Mona. Teror itu juga menyasar Alita, seorang anak yang tidak tahu apa-apa. Konon, pernikahan kedua Gio menjadi puncak kengerian yang terjadi di rumah mewah milik Miranda, istri pertama Gio.
“Apakah pernikahan kedua identik dengan keresahan?”
Ada keresahan yang tidak bisa disembuhkan lagi, terus membaji dalam jiwa Miranda dan menjadi dendam kesumat.
Mati kah mereka sebagai tumbal kemewahan keluarga Condro Wongso yang terus menerus merenggut bahagia? Miranda dan Arik kuncinya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon skavivi selfish, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rumah Kutukan Istri Pertama ⁵
Sebelum Mona berhasil lepas dari cengkeraman Gio, dia berusaha melawan rasa takutnya dengan mendorong kepala Gio ke belakang selagi sosok perempuan berambut panjang acak-acakan dan amat mencolok mata itu melihatnya dengan berang.
“Aku tidak bermaksud mengganggu, jadi jangan ganggu!” teriaknya sambil berlari keluar kamar.
Dalam keadaan cemas dan ketakutan, mendadak di sebelahnya, Bibi Darmi menangkap basah dirinya dengan memegangi bahunya tanpa tedeng aling-aling.
“Kenapa?” tanya Bibi Darmi dengan suara dingin. “Takut apa kamu, Non?”
Mona merayapi dadanya, jantungnya berdebar-debar berdebar-debar tak keruan. “Ada setan di rumah ini, Bi. Ada setan di kamar Mas Gio!”
Tanpa mempertimbangkan sejenak, di lorong menuju anak-anak tangga, dia memeluk Bibi Darmi, seseorang yang ia cari-cari, seseorang yang ia harap bisa menolongnya sekarang.
“Bawa aku keluar dari sini, Bi. Aku bayar berapa pun yang Bibi mau!”
“Bawa keluar dari sini? Untuk apa?”
Mona menoleh untuk menyambut wajah Bibi Darmi yang mendinginkan pipinya. “Di sini ada setan, Bi! Aku takut, aku harus pergi dari sini secepatnya.”
“Setan?” Bibi Darmi menatapnya seolah-olah Mona sudah kehilangan akal sehat. “Kesetiaanmu pada Gio bagaimana? Apa kamu sudah meminta izin keluar dari sini?”
Mona menggeleng cepat-cepat seraya menoleh. “Di kamar ada setan, Bi. Perempuan, rambutnya... Rambutnya...”
Mona melangkah mundur setelah apa yang dilihatnya serupa dengan yang di kamar. Mona terkesima. Tidak bisa berkata-kata.
Sosok yang menyerupai Bibi Darmi tertawa cekakakan seraya mendongak. Mata putihnya menatap tajam Mona sebelum menariknya dengan cepat.
“Kamu baru menyadarinya?”
Mona menjerit histeris ketika kakinya tak mampu menolak tarikan kuat sosok itu. Ia menuruni anak tangga seperti ekor gaun yang terseret-seret dengan pasrah hingga tubuhnya terpelanting dengan kasar di lantai.
“Agrhh...” Mona merasa kaki dan tubuhnya remuk. Dan, tidak ada jalan keluar baginya sekarang. Kesakitan menjadi penderitaan yang dialaminya selagi hal-hal yang tidak logis terjadi.
Darah keluar dari hidungnya, ironisnya kekacauan yang terjadi saat koper-koper yang masih tertinggal di lantai dasar terlempar ke tembok setelah lolos dari tubuh Mona tidak membangunkan Bibi Darmi asli dan Alita di kamar pada tengah malam itu.
“Tidak akan ada yang keluar dari rumah ini. TIDAK ADA!”
Mona meringkuk di sebelah sofa, tubuhnya bergetar hebat. Dia selesai menjerit-jerit, meminta tolong. Namun suaranya seolah terperangkap dalam tenggorokan.
“Aku tidak tahu apa-apa, aku kalo ada salah, aku minta maaf.” Mona berkata lugu sambil merangkak menuju pintu.
“Tidak tahu apa-apa?” Sosok itu berkata dengan suara serak. Koper terakhir membentur tembok, pakaian-pakaian seksi bulan madu berhamburan ke tubuh Mona.
Mona mengangguk saat sosok menakutkan itu memutar kepalanya tanpa berbalik badan.
“Kamu tidak tahu apa-apa?”
Mona memberanikan diri menatapnya sejenak. Wajah itu rusak, kulit-kulitnya mengelupas. Air matanya bercampur dengan darah kering dari luka-luka di bagian kening, hidung dan mulut. Luka-luka itu beraroma amis dan gosong.
Sosok itu benar-benar buruk rupa dan baru pertama kali dia melihat makhluk seperti itu. Mona menggeleng sambil mendekap baju-bajunya. “Aku tidak tahu apa-apa, benar!” ucapnya berani. Dan persis ketika dia mulai merangkak bagai ayam lepas bertaji, tangan bertaji menyambar kakinya.
Mona tidak berusaha menunjukkan perlawanannya lagi, dia terseret-seret di ranah hampa yang dirasanya seperti sedang berjalan menuju kematian. Kegelapan timbul tenggelam di matanya. Perih, dan kelelahan luar biasa belumlah sirna sebelum fajar menyingsing.
-
“Mona... Mona!” Gio tergopoh-gopoh menuruni anak tangga selagi pagi telah membangunkannya dari mimpi indah. Tapi tubuh sang istri yang tergeletak di lantai dalam keadaan berdarah-darah itu tak pelak membuatnya panik dan bingung.
Gio berjongkok seraya meraba denyut nadi leher sang istri. “Mon... Mona..., apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa di sini? Bukannya tadi malam kita...”
Gio merasa ada yang tidak beres, tatapannya mengarah ke koper-koper yang berserakan, dan ceceran darah yang di lantai.
Pikirannya berlari ke mana-mana. Padahal semalam rasanya dunia milik berdua. Rasanya lebih hidup dan tentram. Akan tetapi saat itu juga, dia merinding.
“Bangun, Mona. Bangun...” Gio menepuk-nepuk pipinya, dia takut wanita itu mati. Nadinya lemah, napasnya pun sukar terdengar kupingnya. Gio mengguncang tubuh Miska dengan cemas.
“Mona...” Masih menggunakan baju tidur berkerah, Gio mengangkat tubuhnya.
“Bi... BIBI DARMI!” teriak Gio tak alang kepalang. “Bi... Bibi Darmi.” Ia melangkah ke kamar Alita. Kakinya menendang-nendang pintu, berharap dengan begitu perempuan tua itu segera bangun.
“Bi... ALITA... ALITA.”
Dalam beberapa menit yang membangkitkan keresahan-keresahan yang tidak Gio inginkan. Pintu terbuka perlahan.
Alita mengucek matanya yang masih mengantuk, “Papa...” Bibirnya langsung tertutup oleh seruan Gio.
“Ambilkan kunci mobil di kamar papa. Di laci biru! Cepat.”
Alita sekonyong-konyong menuruti perintah Gio. Dia bahkan tidak tahu kunci mobil mana yang harus diambil, dan karena banyaknya kunci mobil di laci. Alhasil... dia mengambil kunci mobil yang pertama kali dia lihat.
“Ini Papa.” seru Alita dari lantai dua.
Senang melihat Alita kembali, Gio segera memintanya pergi ke garasi bersamanya.
“Pencet gantungan kuncinya, Lita. Itu remote mobil!”
Mendengar itu, Alita melakukannya dan kelegaan di wajah Gio sirna. Alarm mobil yang menyala ada di barisan ketiga dari pintu garasi.
Gio meletakkan Mona ke lantai dengan raut wajah jengkel sambil mengumpat-umpat kebodohannya sendiri. Menyuruh Alita adalah tindakan sia-sia, anak perempuannya mana mungkin paham mobil mana yang siap di bawa keluar tanpa mempersulit diri memindahkan mobil lainnya.
“Kamu bangunkan Bibi Darmi sekarang dan nggak usah tanya-tanya Tante Mona kenapa. Papa pusing!” ucap Gio kesal.
Alita lagi-lagi mengangguk tanpa memalingkan wajahnya dari Mona.
“Tante Mona mau di bawa ke rumah sakit, Pa?” tanya Alita.
Gio membuka pintu garasi. Udara segar dari cuaca mendung yang masih membungkus suasana tak juga meredam emosinya.
Wajah Gio mulai mendidih meskipun bagi Alita dia tetap terlihat acuh tak acuh. “Cepat pergi ke kamarmu atau Bibi Darmi Papa pecat!”
Sepasang kaki mungil tanpa alas kaki itu berhasil meninggalkan garasi rumah secepat mungkin. Alita naik ke ranjang seraya membangunkan Bibi Darmi yang masih terlelap.
“Papa marah, Bi. Terus Tante Mona kepalanya banyak darah. Serem.”
Darah Bibi Darmi mulai mendesir cepat. Mimpi buruk rupanya masih berlanjut ke alam sadarnya yang belum sepenuhnya pulih.
“Pak Gio di mana sekarang, Non?” Suara Bibi Darmi serak dan ikal-ikal rambutnya yang sebagian telah menua acak-acakan. Alita tersenyum geli melihat itu, seperti singa katanya.
“Di garasi mobil, mereka mau ke rumah sakit!”
“Sebaiknya kita ikut, Non. Ayo cepat!"
Alita otomatis menuruni ranjang dengan cepat seolah perintah untuk cepat-cepat itu seperti peringatan dari marabahaya yang mengancam.
--
👍 great...
menegangkan, seru
say Miranda
duh punya berondong manise disanding terus, alibi jadi sekretaris pribadi nih...
next
jgn2 miranda jd tumbl bpknya sndri. krn thu miranda sdg skit hati.