Aluna, seorang penulis sukses, baru saja merampungkan novel historis berjudul "Rahasia Sang Selir", kisah penuh cinta dan intrik di istana kerajaan Korea. Namun, di tengah perjalanannya ke acara temu penggemar, ia mengalami kecelakaan misterius dan mendapati dirinya terbangun di dalam tubuh salah satu karakter yang ia tulis sendiri: Seo-Rin, seorang wanita antagonis yang ditakdirkan membawa konflik.
Dalam kebingungannya, Aluna harus menjalani hidup sebagai Seo-Rin, mengikuti alur cerita yang ia ciptakan. Hari pertama sebagai Seo-Rin dimulai dengan undangan ke istana untuk mengikuti pemilihan permaisuri. Meski ia berusaha menghindari pangeran dan bertindak sesuai perannya, takdir seolah bermain dengan cara tak terduga. Pangeran Ji-Woon, yang terkenal dingin dan penuh ambisi, justru tertarik pada sikap "antagonis" Seo-Rin dan mengangkatnya sebagai selirnya—suatu kejadian yang tidak pernah ada dalam cerita yang ia tulis!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: ketenangan yang Terusik
Sesampainya di istana, suasana yang menyambut kedatangan Seo-Rin dan Pangeran Ji-Woon tampak megah, tetapi ada ketegangan yang tak bisa diabaikan. Begitu mereka melangkah melewati gerbang utama, sejumlah pelayan menyambut dengan senyum formal, namun aura dingin terasa di antara barisan mereka. Di depan aula utama, Ratu sudah berdiri dengan tatapan yang sulit diterjemahkan. Senyum tipis menghiasi bibirnya, namun matanya memancarkan ketidakpuasan yang sangat kentara.
"Selamat datang kembali di istana, Seo-Rin," ucap Ratu, nadanya terdengar hangat tapi penuh sindiran halus. "Kabar tentang kehamilanmu tentu saja membawa berita bahagia, meskipun kuharap tak ada beban tambahan yang muncul dari kedatanganmu ini."
Seo-Rin membungkuk hormat. "Terima kasih, Yang Mulia. Saya akan melakukan yang terbaik untuk menjaga kesehatan, demi kebaikan istana ini."
Pangeran Ji-Woon tetap berdiri di samping Seo-Rin, berusaha menahan ketegangan yang muncul. Dia tahu bahwa ibunya tak pernah menyukai Seo-Rin dan hanya berpura-pura menerima demi situasi formalitas belaka.
Ratu melanjutkan dengan nada penuh sindiran, "Tentu, kau perlu menjaga dirimu. Kang-Ji sudah mengandung juga, dan sebagai putri mahkota, tentunya ia akan membutuhkan dukungan. Mungkin kau bisa belajar banyak darinya selama masa ini."
Ekspresi Seo-Rin tetap tenang, meski di dalam hatinya ia merasa tertusuk oleh setiap kata Ratu yang dirangkai begitu tajam. Namun, ia menunduk sopan dan menjawab, “Saya akan melakukan apa yang terbaik untuk istana ini, Yang Mulia.”
Pangeran Ji-Woon menatap ibunya dengan sorot tidak setuju, lalu mengangguk hormat tanpa menambahkan satu kata pun. Setelah itu, ia menggenggam tangan Seo-Rin, membawa istrinya pergi menuju paviliunnya.
Sesampainya di paviliun, Seo-Rin menghela napas panjang. Pangeran Ji-Woon menatapnya penuh perhatian, lalu berbisik lembut, “Maafkan ibuku, Seo-Rin. Ia memang sulit menerima siapa pun selain Kang-Ji. Tapi aku akan selalu berada di sisimu.”
Seo-Rin mengangguk pelan, berusaha tersenyum untuk mengurangi kegelisahannya. “Aku sudah terbiasa, Pangeran. Yang penting sekarang adalah menjaga kesehatan kita dan… keluarga kecil ini.”
Keduanya duduk di ruang utama paviliun, menikmati sejenak ketenangan yang begitu langka. Mereka tahu bahwa istana ini adalah lahan penuh intrik dan kebencian, namun dengan kehadiran Pangeran Ji-Woon di sisinya, Seo-Rin merasa lebih kuat untuk menghadapi apa pun yang akan datang. Meski Ratu terus mengawasi dengan tatapan tak suka, ia bertekad untuk bertahan—demi keluarga kecil yang mereka impikan bersama.
Seorang pelayan datang tergesa-gesa menuju paviliun Seo-Rin, menyampaikan pesan dari Ratu. Pangeran Ji-Woon diminta untuk segera menemui Kang-Ji di paviliunnya. Tanpa banyak berkata, Ji-Woon melirik Seo-Rin sejenak, memberikan tatapan yang meyakinkan bahwa dirinya akan segera kembali.
Di paviliun Kang-Ji, suasana begitu sunyi. Ketika Ji-Woon memasuki ruangan, ia mendapati Kang-Ji duduk di tepi tempat tidurnya dengan raut wajah yang tampak lelah. Ia sedang mengelus perutnya yang masih tampak rata, menatap kosong pada lantai.
“Kau memanggilku, Kang-Ji?” Ji-Woon bertanya dengan nada yang lembut, mencoba menyejukkan suasana.
Kang-Ji mengangkat pandangannya perlahan, memaksakan senyum. “Pangeran, aku meminta agar Anda mengunjungiku … hanya untuk mengobrol sejenak. Kehamilan ini, sejujurnya, membuatku merasa sangat sendirian … ”
Ji-Woon mengangguk, duduk di hadapannya dengan sabar. “Maafkan aku jika selama ini kurang memperhatikanmu, Kang-Ji. Kehamilan memang bukan hal yang mudah, dan aku tahu tekanan di istana membuatnya semakin berat. Aku akan lebih sering mengunjungimu jika itu bisa membuatmu merasa lebih baik.”
Kang-Ji tampak menyembunyikan kekecewaannya yang mendalam, lalu menghela napas. “Ratu mengkhawatirkanku, Pangeran. Ia merasa aku tidak mendapatkan perhatian yang cukup darimu … sebagai putri mahkota, ia berharap kehadiranku lebih dianggap. Kita tahu, keturunan yang kuharapkan adalah keturunan yang akan menjadi penerus istana ini.”
Ji-Woon mendengar ucapan Kang-Ji dengan penuh perhatian, meski hatinya berdebar cemas. Ia menyadari bahwa bukan hanya Kang-Ji, tetapi juga Ratu yang diam-diam mendorongnya untuk lebih fokus pada putri mahkotanya. Di sisi lain, hatinya telah terikat sepenuhnya pada Seo-Rin, dan ide untuk membagi kasih sayangnya bukanlah hal yang ia inginkan.
“Ketahuilah, Kang-Ji,” ujar Ji-Woon dengan nada pelan, namun tegas. “Aku akan bertanggung jawab penuh pada keluargaku. Aku berjanji untuk menjadi ayah yang baik bagi anak kita, dan aku juga akan selalu menjaga kebahagiaanmu. Namun, aku mohon … pengertianmu.”
Kang-Ji menunduk, menyembunyikan perasaan yang tak terungkap. Di dalam hati, ia tahu, kasih Ji-Woon tak pernah menjadi miliknya seutuhnya, dan ia menyadari bahwa Seo-Rin memiliki tempat spesial di hati Pangeran. Tetapi, demi ambisinya, Kang-Ji tak akan menyerah begitu saja. Meskipun perlahan, ia bertekad untuk meraih hati Ji-Woon, atau setidaknya mempertahankan posisinya yang berharga di mata Ratu.
Ji-Woon berdiri, menyentuh bahu Kang-Ji dengan lembut. “Aku akan selalu hadir untukmu, Kang-Ji. Istirahatlah, dan jangan pikirkan yang lain. Kesehatanmu sangat berharga bagi kita semua.”
Saat Ji-Woon berbalik untuk meninggalkan paviliun, Kang-Ji tiba-tiba mengulurkan tangan, menahan lengan Pangeran dengan tegas. Wajahnya yang semula tenang kini menunjukkan tekad yang mendalam, seolah ia takkan membiarkan kesempatan ini berlalu begitu saja.
“Pangeran, tunggu,” ucapnya, suaranya nyaris bergetar. Ji-Woon menatapnya dengan bingung, tak menduga Kang-Ji akan menghentikannya dengan begitu kuat.
Kang-Ji menatap lurus ke mata Pangeran, menyingkirkan seluruh keraguannya. “Aku tahu ada banyak yang kau pikirkan, dan mungkin hatimu tak sepenuhnya untukku,” katanya pelan tapi penuh perhitungan. “Namun, anak yang aku kandung ini adalah darah dagingmu, Pangeran. Keturunan yang selama ini diharapkan oleh istana. Dia layak mendapatkan kasih sayangmu… dan hanya dia seorang yang pantas mendapatkan tempat di hatimu sebagai pewaris.”
Mata Ji-Woon melembut, namun ia tetap merasa tersudut oleh desakan Kang-Ji. Dia ingin menenangkan hati putri mahkotanya, tetapi kejujurannya tak memungkinkan untuk memberikan janji yang sepenuh hati.
“Kang-Ji, kau harus mengerti … perasaan tak bisa dipaksa. Tapi anak kita, ya, dia akan mendapatkan cinta dan perhatian yang layak dari ayahnya. Kau dan aku akan selalu bertanggung jawab atas masa depannya.”
Kang-Ji menggenggam lebih erat, seolah kata-kata Pangeran tak cukup baginya. “Cinta itu bisa kau pelajari, Pangeran,” ujarnya, menekankan setiap kata. “Jika kau bersedia mencoba, untuk anak kita … aku yakin kita bisa menciptakan kebahagiaan yang layak.”
Ada jeda hening di antara mereka, hingga Ji-Woon akhirnya mengangguk pelan, memaksakan senyum demi ketenangan hati Kang-Ji. “Baiklah, aku akan berusaha,” jawabnya, meskipun dalam hatinya masih penuh keraguan.
Bersambung >>>