novel fantsy tentang 3 sahabat yang igin menjadi petualang lalu masuk ke akademi petualang dan ternyata salah satu dari mereka adalah reinkarnasi dewa naga kehancuran yang mengamuk akbiat rasnya di bantai oleh para dewa dan diapun bertekad mengungkap semua rahasia kelam di masa lalu dan berniat membalas para dewa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Albertus Seran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8: Rahasia yang Terungkap
Langit di atas Hutan Aether mulai berubah, awan-awan gelap yang bergulung kini berputar perlahan seperti pusaran misterius. Aric, Lyria, dan Kael melangkah dengan hati-hati, tetapi rasa lega dari keberhasilan mereka melawan bayangan masa lalu mulai terkikis oleh suasana mencekam di sekitar mereka.
"Ada sesuatu yang tidak beres," kata Kael, matanya tetap waspada saat memeriksa setiap bayangan dan suara. "Aku merasa... kita semakin mendekati sesuatu yang jauh lebih berbahaya."
Lyria menggigit bibirnya, menyusuri jalan setapak dengan hati-hati. Tongkat sihirnya masih bersinar redup, memberikan mereka sedikit penerangan. "Batu Aether pasti berada di tempat yang dilindungi," katanya pelan. "Kita harus siap menghadapi apa pun yang akan muncul."
Aric, yang berjalan paling depan, memeriksa sekeliling dengan penuh kewaspadaan. Namun, pikirannya masih sibuk memikirkan kata-kata Seraphine. "Bayangan yang lebih besar," gumamnya, mengingat peringatan yang diberikan wanita misterius itu. "Apa yang dia maksud dengan itu?"
Saat mereka terus berjalan, tiba-tiba terdengar suara derak aneh dari semak-semak. Ketiganya langsung waspada, senjata siap di tangan. Namun, sebelum mereka bisa bereaksi lebih jauh, sosok lain muncul dari balik pepohonan.
Sosok itu adalah seorang pria tua dengan rambut putih panjang yang berantakan, mengenakan jubah lusuh berwarna cokelat. Matanya, yang berwarna biru terang, tampak tajam meski wajahnya menunjukkan usia lanjut. Ia menatap ketiganya dengan senyum kecil yang penuh arti.
"Selamat datang di pusat Hutan Aether," katanya, suaranya serak tetapi penuh wibawa. "Aku sudah menunggu kalian."
Aric mengerutkan kening, menatap pria itu dengan penuh kewaspadaan. "Siapa kau?" tanyanya, pedangnya terangkat sedikit. "Dan kenapa kau menunggu kami?"
Pria tua itu hanya tertawa kecil, seolah-olah pertanyaan itu menghiburnya. "Aku? Ah, hanya seorang penjaga tua yang telah melihat banyak hal," katanya. "Namaku Eldric, dan aku di sini untuk membantu kalian... atau mungkin mengungkap rahasia yang kalian cari."
Lyria dan Kael saling berpandangan, merasa bingung. Lyria mengambil satu langkah maju, menatap Eldric dengan penuh rasa ingin tahu. "Rahasia apa?" tanyanya. "Dan apa yang kau tahu tentang Batu Aether?"
Eldric menghela napas, dan matanya bersinar dengan campuran kebijaksanaan dan kesedihan. "Batu Aether memang ada di hutan ini," katanya, "tapi kalian harus tahu, kekuatan yang kalian cari tidak selalu membawa kebaikan. Batu itu menyimpan sejarah kegelapan dan kehancuran."
Kael mengangkat alisnya, merasa tidak nyaman. "Apa maksudmu?" tanyanya. "Kami hanya ingin menyelesaikan ujian kami dan membuktikan diri sebagai petualang. Apa yang begitu berbahaya tentang batu itu?"
Eldric menatap mereka dalam-dalam, lalu berbalik dan memberi isyarat agar mereka mengikutinya. "Ikuti aku," katanya. "Ada sesuatu yang harus kalian lihat sendiri."
Meskipun ragu-ragu, Aric, Lyria, dan Kael mengikuti Eldric, berjalan lebih dalam ke jantung hutan. Udara di sekitar mereka semakin dingin, dan pepohonan yang mengelilingi mereka terasa semakin menekan. Setelah beberapa saat, mereka tiba di sebuah dataran luas yang dikelilingi batu-batu besar berlumut. Di tengah-tengah dataran itu, sebuah altar kuno berdiri, dan di atasnya, Batu Aether bersinar biru dengan kekuatan yang memukau.
"Itu dia," bisik Lyria, matanya membelalak. "Batu Aether yang legendaris."
Namun, Eldric mengangkat tangan, menghentikan mereka sebelum mereka bisa mendekat. "Jangan terlalu tergiur oleh keindahannya," katanya pelan. "Kekuatan Batu Aether tidak hanya memberikan kekuatan kepada siapa pun yang memegangnya, tetapi juga bisa membangkitkan kutukan yang telah lama terlupakan."
Aric menyipitkan matanya, merasa cemas. "Kutukan?" tanyanya. "Apa yang kau bicarakan?"
Eldric berbalik menatap mereka, dan ekspresinya menjadi lebih serius. "Batu Aether dulu digunakan oleh seorang dewa yang dikenal sebagai Dewa Naga Kehancuran," jelasnya. "Ia menghancurkan dunia ribuan tahun yang lalu karena dendamnya terhadap para dewa yang membantai rasnya. Batu itu menyimpan sebagian kekuatannya, dan siapa pun yang memilikinya bisa membangkitkan amarah sang dewa."
Kael merasa bulu kuduknya meremang. "Tunggu," katanya, melirik Aric. "Dewa Naga Kehancuran? Itu... legenda lama yang diceritakan saat kita masih kecil."
Aric tidak bisa mengabaikan rasa cemas yang tiba-tiba memenuhi dirinya. Ia merasakan sesuatu dalam dirinya yang mulai bangkit, sesuatu yang selama ini ia sembunyikan dari orang lain—mimpi buruk, suara-suara asing yang memanggilnya dalam tidurnya. "Apakah... apakah itu sebabnya aku merasa terhubung dengan tempat ini?" pikirnya, menggenggam pedangnya dengan tangan yang gemetar.
Lyria merasakan ketegangan di antara mereka, tetapi ia mencoba tetap fokus. "Jadi," katanya, menatap Eldric. "Apa yang harus kami lakukan? Kami harus menyelesaikan ujian ini."
Eldric mengangguk pelan. "Jika kalian ingin mengklaim Batu Aether, kalian harus siap menghadapi konsekuensinya," katanya. "Dan kau, Aric..." Pria tua itu menatap Aric dengan tatapan yang tajam, seolah bisa melihat ke dalam jiwanya. "Ada sesuatu dalam dirimu yang akan segera terungkap. Kebenaran yang telah tersembunyi selama ribuan tahun."
Aric terkejut, merasa ketakutan dan bingung. "Apa maksudmu?" tanyanya, suaranya serak.
Eldric hanya tersenyum kecil, tetapi senyum itu penuh dengan rahasia. "Kalian akan segera tahu," katanya, lalu melangkah mundur, membiarkan mereka berdiri di hadapan altar kuno. "Pilih dengan bijak, karena pilihan kalian akan menentukan masa depan kalian semua."
Aric, Lyria, dan Kael saling memandang, tahu bahwa keputusan besar ada di depan mereka. Batu Aether bersinar lebih terang, seolah-olah memanggil mereka, dan suara-suara misterius mulai berbisik di pikiran Aric, memanggilnya dengan nama yang telah lama terlupakan.
cerita sesuai keinginan Anda!