Jodoh adalah takdir dan ketetapan Tuhan yang tidak bisa diubah. Kita tidak tahu, siapa, di mana, dan kapan kita bertemu jodoh. Mungkin, bisa saja berjodoh dengan kematian.
Kisah yang Nadir ditemui. Hafsah Nafisah dinikahi oleh Rashdan, seorang ustaz muda yang kental akan agama Islam. Hafsah dijadikan sebagai istri kedua. Bukan cinta yang mendasari hubungan itu, tetapi sebuah mimpi yang sama-sama hadir di sepertiga malam mereka.
Menjadi istri kedua bertolak belakang dengan prinsipnya, membuat Hafsah terus berpikir untuk lepas dalam ikatan pernikahan itu karena tidak ingin menyakiti hatinya dan hati istri pertama suaminya itu. Ia tidak percaya dengan keadilan dalam berpoligami.
Mampukah Hafsah melepaskan dirinya dari hubungan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Windersone, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Pertama Ustaz Itu
🍃🍃🍃
Hafsah melangkahkan kaki bergantian keluar dari mobil Rashdan dengan sepasang mata memperhatikan bagian luar dari sebuah rumah yang merupakan rumah orang tua Rashdan yang berukuran luas dan tampak mewah. Tidak heran bagi Hafsah mereka bisa mendirikan pesantren, masjid, dan dikenal sebagai keluarga konglomerat.
"Ayo," ajak Rashdan, mendorong pelan punggung Hafsah dari samping agar melangkah, lanjut berjalan masuk ke dalam rumah.
"Tunggu, aku ...." Hafsah menggantungkan perkataannya dalam perasaan gugup dan merasa tidak enak hati yang tiba-tiba muncul di jiwanya.
Rashdan paham situasi yang dirasakan Hafsah. Tangan kanan gadis itu digenggam olehnya untuk pertama kalinya dan menuntun istri keduanya itu berjalan masuk ke dalam rumah, di mana pintu sudah terbuka lebar menunggu kedatangan mereka. Tangan mereka yang menyatu ditatap Hafsah cukup lama dengan kaki terus berjalan dalam perasaan kaget sampai akhirnya mereka berhenti di depan pintu rumah.
"Assalamualaikum, Umma, Abah," ucap Rashdan.
"Wa'alaikumussalam! Masuk, Nak," ajak Syahril, ayah pria itu yang juga merupakan seorang ustaz terkenal.
Buah tidak jauh jatuh dari pohonnya. Selain ilmu agama, paras yang dimiliki Rashdan juga disalin dari sang ayah.
Hafsah mengangkat pandangan dari tangan mereka dan mengalihkan pandangan ke depan. Kakinya lanjut berjalan mengikuti Rashdan yang mengajaknya menghampiri Syahril, menyalam tangan pria itu, dan duduk di sofa yang kosong, di mana Hafsah duduk di samping suaminya itu.
Hafsah merasa kaku duduk di sana, tidak terbiasa duduk di sofa yang mahal dan empuk itu bak bakpao yang langsung menciut ke bawah ketika digigit, membuat Hafsah terlihat sedikit kampungan di mata Ratna, ibu mertuanya yang duduk di sebelah meja.
Wanita paruh baya itu menatap Hafsah dengan mata menyelidik yang memunculkan perasaan tidak nyaman di hati Hafsah, membuatnya sadar mertua perempuannya itu tidak senang dengan kedatangannya. Namun, ia berusaha berpikir positif dan tidak menilai wanita paruh baya itu terlebih dahulu karena ini pertemuan pertama mereka.
"Kurang apa Halma sampai kamu menikah lagi?" tanya Ratna dengan judesnya tanpa menjaga perasaan Hafsah.
"Umma ...," tegur Syahril dengan lembutnya.
Cara Syahril menegur Ratna membuat wanita itu melunak, tahu sang suami marah dengan caranya berucap. Wanita itu meredam emosinya, menahan amarahnya keluar.
"Maaf, Hafsah. Umma memang sedikit temperamen orangnya," terang Syahril dengan bercanda agar suasana tidak terlalu menusuk jiwa Hafsah yang membuat gadis itu takut dan tegang.
Ratna melirik suaminya itu dengan raut wajah sedikit kesal. Langsung Syahril menggenggam tangan kiri Ratna, tersenyum sambil memberikan kode mata pada istrinya itu untuk bisa bersikap ramah, menghormati Hafsah. Namun, rasanya berat bagi Ratna untuk mengikuti keinginan suaminya. Jadi, ia mengambil jalan pintas dengan meninggalkan ruang tamu, beranjak masuk ke kamar untuk menghindari perasaan yang terasa pengap.
"Oh iya. Nak Hafsah guru seni di sekolah SMP Belas Raya, ya? Ash sudah menceritakannya.” Syahril sengaja mengalihkan fokus Hafsah dari Ratna dengan menanyai menantu keduanya itu.
“Ash?” Hafsah sedikit berpikir.
“Rashdan,” jelas Syahril.
Hafsah menahan senyuman yang hendak bersemi di bibirnya dengan mata melirik ke kanan, ke arah sang suami berada. Ia tidak menyangka, pria itu memiliki nama panggil khusus di rumah itu, Ash.
Rashdan menaikkan kedua alis dengan tatapan dinginnya kepada Hafsah. Gadis itu mengalihkan pandangan dari ustaz tampan itu dan kembali mengarahkan pandangan kepada Syahril dengan mengumbar senyuman.
“Assalamualaikum!"ucap seorang wanita berhijab syar'i warna merah muda yang tengah berdiri di pintu rumah.
Mereka tidak sadar dengan kedatangan wanita berwajah nan cantik itu. Mereka langsung melayangkan pandangan mengarahkan ke arah pintu, menatap wujud wanita itu yang merupakan Halma, istri pertama Rashdan yang saat ini tengah menggandeng tangan bocah laki-laki usia tiga tahun yang bernama Husein Rasyid, anak semata wayang mereka.
"Ini istrinya? Cantik sekali," ucap Hafsah di dalam hati, terhipnotis dengan wajah putih mulus pemilik badan tinggi yang mengumbar senyuman kepada mereka itu.
"Abah ...!" panggil bocah laki-laki itu, berlari ke arah Rashdan, menaiki pangkuan pria itu.
"Sayang." Rashdan membelai rambut Husein, lalu mengalihkan pandangan kepada Halma yang berjalan masuk menghampiri mereka, duduk di sofa yang tadi diduduki Ratna.
Begitu sempurnanya Halma di mata Hafsah, membuat gadis itu merasa dirinya tidak sebanding dengan istri tua suaminya itu, ia merasa Halma jauh lebih unggul dari dirinya, dari sisi manapun, terutama agama, termasuk dalam berpenampilan dan bersikap. Namun, mengapa juga Rashdan mau menikahinya? Itulah pertanyaan yang menyapa di benak Hafsah, ia tidak terlalu percaya dengan mimpi yang mengaitkan mereka saat ini dalam hubungan pernikahan itu.
"Kamu Hafsah?" tanya Halma, tersenyum ramah tanpa beban.
Hafsah menganggukkan kepala dengan senyuman ringan.
"Ash tidak salah memilih istri sepertimu, cantik dan berbakat. Dia sudah banyak cerita padaku," ucap Halma, masih tersenyum santai.
Senyuman Halma membuat Hafsah bingung. Mengapa madunya itu tidak tampak terbebani dengan kehadirannya? Beberapa asumsi mulai mendarat di benak Hafsah sampai mengira mungkin mereka tidak saling mencintai. Namun, asumsi itu ditepikan setelah melihat wujud bocah laki-laki yang ada di pangkuan Rashdan. Cukup lama Hafsah memperhatikan wajah keluarga kecil itu sebelum dimasukin oleh dirinya.
Ekspresi bingung Hafsah mudah diterjemahkan oleh Halma, wanita itu tahu gadis itu bingung dengan sikap dan tingkah santainya. Namun, kenyataannya, perasaan takut akan kehilangan Rashdan disembunyikan olehnya karena tidak ingin membuat Rashdan terbebani dan membuat suaminya itu merasa tidak enak hati berpoligami. Istri mana yang rela secara lahir dan batin merelakan suaminya menikahi wanita lain? Namun, Halma menyadari mimpi yang sempat diceritakan suaminya itu sesuatu yang terbaik, yang saat ini berkaitan dengan situasi yang tidak baik, yang mereka hadapi. Apakah itu? Nanti.
"Halma wanita yang kuat. Dia bisa bersikap biasa saja. Padahal, aku tahu kalau perasaannya hancur saat ini," ucap Rashdan, berkata dalam hati sambil menatap Halma dengan wajah prihatin.
Meskipun bersikap santai, biasa saja, Halma tidak mampu membohongi sang suami. Pria itu dengan mudahnya bisa membaca cara istri pertamanya itu bertingkah.
"Jangan menatapku begitu," ucap Halma dengan suara kecil bersama senyuman.
Rashdan tersenyum dan mengalihkan pandangan kepada Syahril dan Hafsah.
Rasa merasa bersalah kembali singgah di hati Hafsah, merasa menjadi orang ketiga di antara hubungan mereka, membuatnya ingin lepas dari hubungan pernikahan bersama Rashdan secepat mungkin agar keluarga kecil itu bahagia seperti sebelumnya yang diyakini olehnya pasti mereka bahagia..
"Kenapa Hafsah?" tanya Halma setelah melihat Hafsah berada dalam beban pikiran.
"Aku mau buang air kecil. Kamar mandinya di mana?" tanya Hafsah, berbohong demi menghindari mereka untuk sesaat.
"Aku ajak kamu ke sana. Ayo," ajak Halma.
Halma berdiri dengan senyuman, senang hati menemani gadis itu, mengantarkannya ke kamar mandi. Penilai Hafsah saat itu, seorang Halma bagaikan malaikat yang berhati baik. Cara wanita itu bersikap dan tutur katanya yang lembut membuat Hafsah semakin merasa bersalah dan semakin memendam perbandingan yang tidak mungkin tersejajarkan olehnya dengan posisi wanita itu saat ini.
Hafsah ikut berdiri dan mengikuti Halma berjalan menaiki tangga yang sempat membuat gadis itu mengerutkan dahi karena bingung. Sebelumnya ia beranggapan kamar mandi ada di dapur. Akan tetapi, ia malah di bawa menuju lantai dua rumah itu. Kedua pria yang duduk di sofa ruang tamu mengerti dengan tingkah Halma. Satu sisi Syahril tersenyum karena senang dan sisi lainnya Rashdan merasa cemas dengan perasaan ibu dai anak semata wayangnya itu.