Kisah ini menceritakan hubungan rumit antara Naya Amira, komikus berbakat yang independen, dan Dante Evander, pemilik studio desain terkenal yang perfeksionis dan dingin. Mereka bertemu dalam situasi tegang terkait gugatan hak cipta yang memaksa mereka bekerja sama. Meski sangat berbeda, baik dalam pandangan hidup maupun pekerjaan, ketegangan di antara mereka perlahan berubah menjadi saling pengertian. Seiring waktu, mereka mulai menghargai keunikan satu sama lain dan menemukan kenyamanan di tengah konflik, hingga akhirnya cinta tak terduga tumbuh di antara mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Darl+ing, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Prewedding
Satu jam kemudian, Naya berlari masuk ke rumahnya. Ia segera menuju kamar, membuka lemari pakaian, dan menyiapkan gaun berwarna krem lembut yang telah ia pilih untuk pemotretan prewedding mereka. Gaun itu dirancang sederhana namun elegan, dengan detail renda halus di bagian leher dan punggung yang terbuka. Naya mengenakannya dengan cepat sambil sesekali memandangi dirinya di cermin, memastikan setiap bagian tampak sempurna.
Pikiran tentang Dante dan pertemuan mereka yang intens pagi ini masih berkecamuk di benaknya, namun Naya berusaha keras menyingkirkannya untuk sementara. Hari ini adalah tentang dirinya dan Arfan. Ini adalah momen yang seharusnya indah, dan Naya tidak ingin membiarkan masalah pekerjaan merusaknya.
Setelah selesai berdandan, Naya mendengar bunyi klakson dari luar jendela rumahnya. Ia melongok keluar dan melihat Arfan berdiri di samping mobil SUV yang mereka sewa untuk perjalanan ke pegunungan. Pria itu mengenakan kemeja putih bersih yang dipadukan dengan celana khaki, terlihat santai namun tetap tampan. Rambutnya yang hitam dipotong rapi, dan senyumnya yang lebar menyambutnya dari kejauhan.
“Siap, sayang?” teriak Arfan dari bawah.
Naya tersenyum lebar dan melambaikan tangan. “Siap!”
Ia mengambil tas kecilnya dan bergegas keluar. Begitu sampai di bawah, Arfan langsung memeluknya erat dan mengecup keningnya lembut. "Kamu cantik banget," bisiknya sambil menatap Naya dari ujung kepala hingga kaki.
Naya tersipu, meskipun mereka sudah lama bersama, pujian dari Arfan selalu membuatnya merasa istimewa. “Kamu juga tampan,” balasnya sambil mencubit lengan Arfan ringan.
Arfan membuka pintu mobil untuk Naya dan mereka pun meluncur menuju pegunungan. Perjalanan itu cukup panjang, namun suasana di dalam mobil terasa hangat dan menyenangkan. Mereka menghabiskan waktu dengan bercanda, membicarakan rencana pernikahan mereka, dan membayangkan masa depan bersama.
“Aku tahu hari ini berat buat kamu,” kata Arfan tiba-tiba, suaranya lebih serius. “Tapi aku percaya kamu bisa melewati semuanya. Kamu kuat, Naya.”
Naya menoleh dan menatap Arfan dengan perasaan terharu. “Terima kasih, Fan. Aku memang mengalami banyak tekanan belakangan ini, terutama dengan masalah hak cipta itu. Tapi aku akan berjuang untuk karyaku. Aku nggak bisa membiarkan orang lain mengambilnya begitu saja.”
Arfan mengangguk paham. “Aku selalu ada di sini untuk mendukungmu. Dan aku yakin, apa pun yang terjadi, kita akan melewatinya bersama.”
Naya merasakan kehangatan di hatinya mendengar kata-kata itu. Kehadiran Arfan adalah pengingat bahwa di tengah semua tekanan dan tantangan, ia tidak sendiri. Ada seseorang yang selalu siap mendukungnya tanpa syarat.
Setelah beberapa jam berkendara, mereka akhirnya tiba di lokasi pemotretan, sebuah pegunungan yang indah dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Langit sore mulai memancarkan warna oranye keemasan, sementara angin sepoi-sepoi berhembus lembut di antara pepohonan. Fotografer mereka, Raka, sudah menunggu di lokasi, lengkap dengan peralatan kamera dan tim kecil yang siap membantu.
“Wah, kalian berdua terlihat luar biasa,” puji Raka begitu melihat Naya dan Arfan. “Cahaya matahari sore ini sempurna untuk pemotretan. Ayo kita mulai sebelum matahari tenggelam.”
Mereka mulai berpose di berbagai titik yang indah, dari padang rumput hijau yang luas hingga di pinggir tebing yang memperlihatkan pemandangan lembah di bawahnya. Arfan menggenggam tangan Naya dengan erat, dan setiap kali mereka saling menatap, senyum mereka tidak bisa disembunyikan. Fotografer sering kali meminta mereka untuk berpose lebih romantis, namun kenyataannya, mereka tak perlu diarahkan terlalu banyak. Cinta yang mereka rasakan begitu alami dan tulus, memancar melalui setiap gerakan dan tatapan.
Namun, di balik semua momen bahagia itu, di sudut kecil pikiran Naya, bayangan Dante Evander dan masalah yang dihadapi terus menghantui. Tapi untuk sekarang, ia mencoba mengesampingkannya, membiarkan dirinya tenggelam dalam momen berharga ini bersama Arfan.
Malam itu, Naya dan Arfan memutuskan untuk menginap di sebuah vila kecil di dekat pegunungan, tak jauh dari lokasi pemotretan mereka. Vila kayu itu sederhana namun nyaman, dengan perapian kecil yang membuat suasana hangat di tengah suhu malam yang dingin. Di luar, bintang-bintang bertaburan di langit gelap, menciptakan pemandangan yang memukau. Naya membayangkan hari esok, di mana mereka akan melakukan sesi pemotretan dengan gaun pengantin yang telah disiapkan dengan sempurna.
Di meja makan, Naya dan Arfan menikmati hidangan sederhana yang disiapkan oleh koki vila. Sup hangat mengepul di hadapan mereka, dan aroma rempah-rempah memenuhi udara. Naya merapatkan sweaternya, berusaha menahan dinginnya angin malam yang sesekali berhembus masuk dari celah-celah jendela.
“Enak banget, ya, suasananya,” kata Naya sambil tersenyum, menatap Arfan yang duduk di depannya. “Kapan lagi kita bisa menikmati malam seindah ini?”
Arfan tersenyum hangat, menyesap kopinya. “Iya, tenang banget. Jarang-jarang kita bisa lepas dari kesibukan seperti ini.”
Saat percakapan mereka mulai menghangat, ponsel Arfan tiba-tiba berdering. Suara nada panggilan yang memecah kesunyian malam membuat Naya mengerutkan kening sedikit. Arfan melirik layar ponselnya dan wajahnya sejenak berubah serius.
“Bentar ya, sayang,” katanya sambil berdiri. “Aku harus angkat telepon dari klien dulu. Penting.”
Naya mengangguk, meski dalam hatinya ia sedikit merasa terganggu. Ia sudah terbiasa dengan kesibukan pekerjaan Arfan, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa momen-momen seperti ini adalah saat di mana ia berharap bisa menikmati waktu bersama tanpa gangguan. Meski begitu, Naya memutuskan untuk menahan perasaan itu. Toh, pemotretan besok lebih penting, dan ia tahu betapa pentingnya pekerjaan Arfan.
Arfan melangkah keluar ke balkon, meninggalkan Naya sendiri di meja makan. Suara pintu kaca geser terdengar lembut saat ia menutupnya. Naya mengambil sesendok sup dan mencoba mengalihkan perhatian dari rasa penasarannya. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa ia sedikit merasa aneh; Arfan tidak biasanya menerima telepon di tengah waktu pribadi seperti ini, apalagi dengan nada serius seperti tadi.
Di luar balkon, Arfan menjawab telepon dengan suara rendah. Dari tempat duduknya, Naya samar-samar mendengar suaranya, tapi ia tidak berniat mencuri dengar. Hingga beberapa saat kemudian, sebuah nada suara yang berbeda terdengar dari Arfan.
“Sayang, maaf aku baru bisa jawab. Lagi sama Naya,” ujar Arfan dengan suara lembut dan mesra.
Naya langsung terdiam. Tubuhnya membeku, sendok yang ia pegang jatuh ke dalam mangkuk dengan suara kecil. Apa yang baru saja ia dengar?
Ia menegakkan tubuh, matanya menatap lurus ke arah balkon di mana Arfan masih berbicara. Jantungnya berdegup kencang, mendadak perutnya terasa mual. Apa maksud Arfan dengan ‘sayang’? Apakah ia tidak salah dengar?
Hatinya bergolak antara penasaran dan takut, tapi nalurinya membuatnya tetap mendengarkan. Suara Arfan kembali terdengar.
“Iya, aku tahu, maaf banget belum bisa nemuin kamu minggu ini,” suara Arfan terdengar jelas, meski ia masih berusaha menundukkan suaranya. “Tapi kamu kan tahu aku lagi sibuk persiapan ini… Nanti setelah pemotretan prewedding ini selesai, aku akan pastikan kita ketemu.”
Naya mencengkeram meja, berusaha mengendalikan perasaannya yang semakin berkecamuk. Setelah pemotretan prewedding ini selesai? Apa maksudnya? Siapa orang yang dia sebut ‘sayang’ di telepon itu? Sejak kapan Arfan berbicara dengan seseorang dengan nada seperti itu selain kepadanya?