Kisah Aghnia Azizah, putri seorang ustadz yang merasa tertekan dengan aturan abahnya. Ia memilih berpacaran secara backstreet.
Akibat pergaulannya, Aghnia hampir kehilangan kehormatannya, membuat ia menganggap semua lelaki itu bejat hingga bertemu dosen killer yang mengubah perspektif hatinya.
Sanggup kah ia menaklukkan hati dosen itu? Ikuti kisah Nia mempelajari jati diri dan meraih cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renyah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9. Deep Talk
Erika menemukan Malik dan Aghnia di tengah bazar, mereka berdua tengah bercanda, Erika merasa panas melihat kedekatan dua sejoli itu. Gadis itu mulai menjalankan aksinya.
"aaawww.." Aghnia mengaduh kesakitan, seseorang dibelakang menjambak jilbabnya, gadis itu memegang puncak kepalanya, menahan agar jilbabnya tak lepas.
Malik melihat Erika menarik jilbab Aghnia, pria itu menyingkirkan tangan Erika dari jilbab Nia. Matanya menatap nyalang Erika.
"Dasar perebut gebetan orang. Sadar diri tukang tikung" umpat Erika menuduh Aghnia.
Kerasnya suara Erika membuat beberapa pasang mata menatap kearah mereka.
Aghnia merapikan jilbabnya dengan santai, membiarkan gadis dengan wajah blesteran dan tak menggunakan jilbab itu menghina dirinya. Gadis itu memperhatikan Erika, ia sama sekali tak mengenal wanita yang sedang mengomel ini.
"Erika berhenti! Malu maluin aja" bisik Malik. Pria itu mengepalkan tangannya geram.
Aghnia memandang Malik, gadis itu tau jika Malik sangat malu terlebih sekarang mereka menjadi tontonan gratis.
"Mbak nggak malu menuduh orang sembarangan? Dengan mbak bertingkah seperti ini, sama aja mbak mempermalukan diri mbak sendiri" telak Aghnia, gadis itu tersenyum manis menatap wajah Erika. Tidak ada rasa takut sama sekali di wajah Aghnia.
"Lihat! Semua pasang mata melihat ke arah mbak" imbuh Aghnia. Gadis itu melipat kedua tangannya di depan dada.
Erika memandang ke segala arah, banyak pasang mata memandangnya, bahkan ada yang berbisik dan terang terangan menggunjing dirinya. Wajahnya memerah malu. Gadis itu menghentakkan kakinya kesal, menunduk lalu berjalan menabrak pundak Aghnia, berlari keluar area bazar.
Malik memandang Aghnia, melihat respon gadis disampingnya itu setelah kegaduhan yang terjadi. Aghnia mengendikkan bahu tak acuh.
"Pulang yuk" ajak Aghnia, gadis itu dengan cepat mengapit lengan Malik.
Malik menggelengkan kepalanya. Heran dengan tingkah Aghnia yang suka memeluk lengannya tiba tiba. Pria itu menyetujui keinginan aghnia untuk pulang.
"Kukira kamu ngajak ke bazar, mau nyari buku buat kuliah" ucap Malik memecah keheningan.
"Emang aku bilang mau nyari buku buat kuliah?" Tanya balik Aghnia, gadis itu menelisik wajah Malik.
"Udah tua Nia, masih aja baca novel" ledek Malik, pria itu melepas pelukan tangan Aghnia di lengannya. Lalu menggenggam telapak tangan gadis itu.
"Hangat" batin Aghnia, seperti ada aliran listrik kecil yang menyetrum telapak tangan aghnia. Gadis itu tersenyum memandang tangannya yang berada di genggaman Malik.
"Emang ada larangan buat wanita semester akhir yang mau skripsi dilarang baca novel? Nggak kan?" Cecar Aghnia. "Bahkan kakek kakek yang pernah aku temui juga masih suka baca komik Sinchan" imbuh Aghnia tak mau kalah.
Malik berdecak. Prempuan memang pintar mencari alibi dan berbagai alasan lainnya agar terlihat benar.
"Hidup jangan terlalu serius Malik, kita juga butuh yang namanya hiburan" ujar Nia.
"Hiburan kok malah beli novel sad ending, hiburan macam apa itu" celetuk Malik.
Aghnia bersungut, gadis itu menginjak kaki Malik. Membuat Malik tertawa terbahak bahak. Lucunya kaum wanita ketika mereka kalah dalam beradu argumen, mereka akan menggunakan kekuatan tenaganya untuk membalas.
"Hidup ini pahit Malik, jadi butuh pemanis" ucap Aghnia lagi.
"Kamu sudah manis Nia. Nggak perlu pemanis tambahan" telak Malik. Pria itu mengusap telapak tangan Aghnia yang ia genggam.
Kini giliran Aghnia yang tersipu. Ia tak mengira mulut Malik bisa mengeluarkan banyak kosakata, ia kira Malik tipe lelaki yang susah didekati dan memilih menutup mulutnya sepanjang hari.
Sesampainya di parkiran, Aghnia melihat Risti bersender di mobilnya, sedang memainkan ponsel. Ia melepaskan genggaman tangannya dengan Malik. Berbahaya jika sampai ketahuan dan Risti melapor ke Abahnya.
Malik mengernyit melihat tingkah Aghnia. Ia mengikuti arah pandang gadis disampingnya itu, kemudian mengangguk paham. Pria itu sedikit tahu tentang Aghnia dan keluarganya setelah ia menjadi saksi atas kasus Aghnia.
"Aku duluan ya Nia" pamit Malik.
"Trimakasih sudah menemani" ucap Aghnia. Gadis itu tersenyum, melambaikan tangan pada Malik.
Aghnia berlari menghampiri Risti. Menepuk pundaknya berniat membuat Risti terkejut.
Risti menatap Aghnia datar, tidak kaget sama sekali.
"Kalian pacaran?" Todong Risti, gadis itu memasukkan ponselnya ke saku kemeja yang ia kenakan.
"Eh. Kamu tadi lihat, itu kita baru dekat aja kok" jujur Aghnia.
"Jangan macam macam lagi Aghnia. Aku nggak akan mengadu ke Abah asal kamu tau batasan. Terserah kamu mau pacaran atau hanya dekat, asal kamu pahami batasan. Ingat Nia!" Terang Risti dengan wajah serius.
"Iya iya, wajahnya jangan kaku kaku dong. Takut nih" goda Aghnia. Risti mendengus dan membuang muka.
Mereka berdua memasuki mobil dan melajukan ke arah kontrakan. Tidak ada percakapan dalam mobil, keduanya saling diam.
Risti sibuk dengan tablet yang ada di tangannya, berisi beberapa judul yang akan ia pilih dalam menyusun skripsi. Dari tiga orang, Ristilah yang lebih dahulu memulai skripsi, Risti ingin segera mendapatkan gelar dan bisa merasakan hawa kebebasan yang sesungguhnya.
"Jangan pernah terlena dengan dunia Nia, dunia hanya sementara" celetuk Risti.
Aghnia memandang Risti sekilas lalu kembali memperhatikan jalan di depannya. Gadis itu mencerna ucapan Risti.
"Bukannya kamu juga ikut menikmati suasana diskotik?" Tanya Nia, gadis itu tak trima jika hanya dirinya yang dihakimi.
"Tentu. Makanya aku mengingatkanmu. Jika bukan karena teguran yang Allah sampaikan lewat Abah, mungkin aku masih terbelenggu dengan nikmat yang ditawarkan syaithon" jelas Risti. Ia mematikan tabletnya. Memandang wajah sahabat di sampingnya. Menghela nafas panjang.
"Temukan jati dirimu Nia, agar kamu tidak terombang ambing oleh tipuan dunia" imbuh Risti.
"Bagaiman cara menemukan jati diri?" Tanya Nia penasaran. Karena selama ini ia sering mendengar pengertian jati diri, pencarian jati diri dari banyak pihak. Namun dirinya tetap tak tahu harus memulai darimana.
"Kamu butuh ketenangan Nia. Lalu tekad untuk mengenal dirimu sendiri. Dengan begitu kamu bisa menyusun tujuan dan rencana kedepan. Bahkan kamu bisa menilai perasaanmu sendiri. Mulailah dengan memperbaiki sholat terlebih dahulu Nia" terang Risti. Mampu membuat Nia bungkam seketika.
"Selama ini kita datang ke diskotik, berjoget bahkan memakai pakaian mini didasari oleh rasa penasaran, dan itu tidak bisa disebut sebagai menemukan jati diri. Kita memaksakan diri kita untuk mencoba hal baru dan berusaha menyukainya hingga akhirnya beneran suka. Padahal dalam prakteknya kita tidak benar benar menyukainya bahkan beberapa kesempatan kita merasa nggak nyaman. Contoh saja seperti kasus Bimo" Risti mencoba menguraikan.
"Jadi, benar apa yang dibilang Abah, sudah selesai masa bermain kita Nia. Kita harus kembali, mengharap petunjuk Tuhan agar kita bisa menemukan apa yang kita cari" ajak Risti.
"Kenapa? Kenapa kamu tiba tiba berubah dengan cepat Ris?" Heran Nia.
"Aku? Kamu pernah dengar kita akan meninggal sesuai dengan kebiasaan kitakan Nia. Aku tak ingin mati dalam keadaan sedang bermaksiat" telak Risti. Mampu membuat jantung Nia bergetar.