Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
"Mas, sejak makan tadi Mbak Nada cemberut terus, kenapa ya?" tanya Ayu setalah turun dari mobil.
"O,ya," jawab Pandu. Dia sama sekali tidak peka dengan istrinya. Dia terlalu asyik dengan adiknya yang baru datang ke rumahnya.
"Mbak Nada marah sama aku ya?" ujarnya dengan memasang wajah sedih.
Pandu memegang kedua pundak Ayu, "Kenapa marah? Kamu tidak melakukan apa-apa." Pandu menenangkan adik perempuannya.
"Kamu istirahat gih, besok Mas anterin kamu ke kampus," katanya sambil mengusap kepala Ayu.
Pandu menutup pintu kamarnya dengan sedikit keras. "Nada," panggilnya dari suara keras lalu pelan ketika melihat Nada sedang salat.
Pandu menahan amaranya yang sudah di ujung ubun-ubun, ia memilih mengambil wudhu untuk salat isya terlebih dahulu.
Nada yang lebih dulu selesai langsung naik ke ranjang, dan menyelimuti tubuhnya sampai dada. Dia memiringkan tubuhnya agar tidak berhadapan dengan suaminya.
"Nada aku mau bicara," kata Pandu sembari melipat sarungnya.
Nada tidak merespon, dia pura-pura tidur. Pasti dia hanya akan membicarakan adik perempuannya itu.
"Nada, aku tahu kamu cuma pura-pura tidur," katanya dengan menggoyangkan tubuh Nada pelan.
Nada membalikan tubuhnya, lalu duduk. "Ada apa?" ketus Nada. Wajahnya malas, hatinya terasa seperti di remas-remas.
"Kamu, kenapa cemberut saja? Kasihan kan Ayu menjadi tidak nyaman," katanya dengan wajah kesal.
"Kamu sangat memikirkan perasaan adikmu, apa kamu pernah memikirkan perasaanku?" geram Nada, suaminya terus memikirkan perasaan orang lain tapi tidak memikirkan dirinya.
"Ya ampun, Nada, kamu kenapa lagi?" Pandu mendengus lalu mengacak-acak rambutnya.
"Mas! Kamu tuh tidak peka sama sekali, mendingan kamu sekarang keluar dari kamar ini. Aku muak melihat kamu!" Nada mendorong tubuh Pandu agar turun dari ranjangnya.
"Kamu berani mengusir aku? Mau jadi istri durhaka?" Pandu berkacak pinggang.
Nada menghela napas, ia kemudian kembali naik ke ranjangnya. Dia tidak mungkin melawan suaminya, dia takut durhaka karena surganya istri ada pada suami.
Setelah menikah Nada merasa hidupnya tidak lebih bahagia. Justru dia sering merasa tidak dianggap. Dia merasa sebelum menikah Pandu jauh lebih perhatian.
Namun, sekarang dia lebih sering membuatnya bersedih yang berujung dengan menangis.
Pandu melirik Nada yang bahunya bergetar, "Maaf, aku terlalu kasar ya?" katanya sembari mendekat sembari mengusap punggung Nada.
Pandu lelaki yang sering goyah pendiriannya jika soal keluarga. Dia sangat menyayangi sang istri, tapi juga tidak bisa mengabaikan keluarganya.
Nada diam tak menggubris, meskipun Pandu memeluk dan juga membujuknya.
Dia anak bungsu yang sangat disayang oleh keluarganya. Tidak ada yang pernah membentaknya, ketika dibentak hatinya rasanya hancur, dadanya dongkol.
...----------------...
"Selamat pagi, Mbak," sapa Ayu saat Nada keluar dari kamarnya.
"Pagi," jawabnya dengan senyum hambar.
Dia masih tidak kesal jika ingat sikap dia dengan suaminya. Memang sangat konyol karena dia cemburu dengan adik iparnya sendiri.
"Eh, Ayu, kamu tidak perlu menyiapkan sarapan untuk kita. Ada bibi," kata Pandu sembari menghampiri adiknya.
Dia mengusap kepala Ayu, sedangkan tersenyum manja kepada Pandu.
"Ini kan sudah kebiasaan aku di rumah," katanya sembari duduk di samping Pandu.
"Kamu memang anak yang rajin," puji Pandu.
"Sangat beruntung ya, sumimu nanti," sindir Nada dengan mengambil makanan lebih dulu.
Permintaan maaf dari Pandu sia-sia saja, dia tetap melakukan hal yang sama ketika bersama dengan keluarganya.
Ayu tersenyum kecut, dia merasa perkataan Nada bukan sebuah pujian.
"Pastilah, Ayu kan sangat rajin, pinter masak dan bebenah rumah," Pandu kembali memberikan pujian kepada adik perempuannya.
Pandu tidak pernah menyadari semua perkataanya itu sangat menyakiti perasaan sang istri.
"Mas Pandu bisa aja. Mbak Nada juga tidak kalah hebat. Aku juga ingin seperti Mbak Nada," puji Ayu. Dia memang ingin menjadi wanita karir seperti Nada.
Dia akan merasa keren bisa menjadi seorang bos, dan lebih sukses dari kakak iparnya.
"Baiklah, kamu bisa kok seperti Mbakmu itu. Makanya kuliah yang benar," nasihat Pandu kepada adiknya.
"Siap komandan," katanya sembari hormat.
"Buruan habiskan, Mas anterin kamu ke kampus," katanya dengan meneguk susu hangat.
"Mas, kamu kan janji hari ini mau anter aku periksa kandungan," kata Nada.
"Memangnya hari ini?" tanya Pandu. Dia lupa kalau sudah berjanji akan mengantar Nada periksa kandungan.
"Kamu lupa lagi?" dengus Nada dengan melipat kedua tangannya di dada.
Selalu saja Pandu lupa jika membuat janji dengan Nada, sedangkan dengan orang lain dia selalu ingat.
"Bagaimana kalau kita ganti hari saja, besok, aku akan menemanimu," kata Pandu seenaknya mengganti jadwal periksa.
"Mana bisa, aku sudah berjanji sama dokter kandunganku. Ke kampusnya saja yang diundur," ujar Nada.
Dia pikir melihat-melihat kampus bisa lain hari, toh Ayu sudah mendaftar secara on line.
"Aku ke kampus saja sendiri, Mas Pandu temani mbak Nada," kata Ayu. Dia tidak enak melihat wajah Nada yang mulai kecut.
"Janganlah, kamu kan masih baru di kota ini, bagaimana kalau nyasar," ujar Pandu. Dia tidak mengizinkan adik perempuanya pergi sendiri.
"Sayang, kamu bisa kan pergi sendiri dulu. Kamu kan sudah tahu jalan area sini," kata Pandu, dia meminta pengertiannya kepada sang istri.
Hati Nada semakin dongkol, dia terus menomor duakan dirinya. Pandu tidak pernah khawatir dia pergi sendiri dengan keadaan hamil tua.
Nada mendorong piring, lalu masuk ke kamarnya. Dia memegangi perutnya yang terasa mulas.
"Sayang, bisa tidak kamu itu tidak egois," kata Pandu dari ambang pintu.
"Aku, egois?" katanya sambil tertawa. "Kau antar saja adikmu itu. Tapi, aku minta uang untuk ke dokter," katanya sembari membalikan badan.
Ia mengulurkan tangan, dia meminta jatah bulanan sekaligus uang periksa.
"Kamu kan sudah punya uang, kenapa minta aku lagi?" ujar Pandu dia tidak mau mengeluarkan uang untuk istrinya.
"Mas, aku kan cuma minta hakku. Kamu sudah beberapa bulan tidak memberiku uang bulanan," kata Nada.
Awalnya dia pikir Pandu tidak memberikan uang karena untuk tabungan anaknya nanti. Namun, setelah dia tahu uang itu diberikan kepada ibu dan adiknya membuat dia kembali meminta jatah bulanannya.
"Aku sedang tidak punya uang, uangku habis untuk biaya kuliah Ayu," Pandu keceplosan sudah membiayai semua keperluan adiknya.
"Kamu memang tidak mengangapku ada ya? bisa-bisanya kamu membiayai adikmu tanpa bicara sama aku dulu." Nada geleng-geleng kepala.
"Itu sudahlah, itu kan juga uangku sendiri bukan uangmu," dalih Pandu dia selalu mengatakan jika semua yang dia keluarkan untuk keluarganya adalah hasil kerjanya.
"Kalau kamu memang bisa membiayai adikmu, aku minta jatahku," katanya dengan menahan dongkol di hatinya.
Pandu mengambil dompetnya, ia memberikan uang 500 ribu di tangan Nada. "Cukup kan?"