Novel ini terinspirasi dari novel lain, namun di kemas dalam versi berbeda. Bocil di larang ikut nimbrung, bijaklah dalam memilih bacaan, dan semua percakapan di pilih untuk kata yang tidak baku
-Entah dorongan dari mana, Dinar berani menempelkan bibirnya pada mertuanya, Dinar mencoba mencium, berharap Mertuanya membalas. Namun, Mertuanya malah menarik diri.
"Kali ini aja, bantu Dinar, Pak."
"Tapi kamu tau kan apa konsekuensinya?"
"Ya, Saya tau." Sahutnya asal, otaknya tidak dapat berfikir jernih.
"Dan itu artinya kamu nggak boleh berenti lepas apa yang udah kamu mulai," kata Pak Arga dengan tegas.
Bagaimana kelanjutan kisahnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon An, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Dinar terkejut melihat siapa yang datang. Dia, adalah Vano. Pria tampan itu berjarak tidak jauh dari Dinar dan Pak Arga. Vano diam sambil menatap sang istri.
Jujur Dinar gemetar, sambil menatapnya. Wanita itu meneguk saliva dengan kesulitan, sementara yang dia lihat suaminya mendekatinya.
"Mas..."
"Mas sekarang tau."
"Mas, itu gak kayak apa yang-"
"Gulai ayam?" Mendengar suaminya mengatakannya, Dinar tampak tercengang.
"Gu-gulai?"
"Iya. Kamu masak gulai ayam kan? Mas hapal kali sama baunya. Wanginya sampai kamar kita, Nara. Ah, Mas jadi lapar banget nih."
Ternyata, suaminya menegur karena masakan Dinar? Seketika wanita itu menoleh ke arah Pak Arga yang tampak santai, tidak terganggu apapun oleh kedatangan Vano.
"Ya Tuhan, dupan satu ini sungguh gila." Kelakarnya dalam hati.
Dinar mendekati suaminya, tersenyum ke arahnya, "Iya Mas, Nara masakin Mas gulai ayam."
Memang, sudah lama sekali dia tidak memasak menu yang satu ini untuk suaminya,
Tangan Vano terulur, sambil mengelus puncak kepalanya, "Makasih, sayang. Kamu selalu memperhatikan Mas."
"Hihi.., sama-sama Mas, yaudah ayok kita duduk di meja makan. Lagi pula udah siap."
"Kamu tolong panggilin Arin sama Latifa, buat makan malam sama-sama."
Senyumnya mendadak luntur. Kenapa harus ada calon pelakor itu di saat dia sedang bicara dengan suaminya, Fikirnya.
Dinar hanya mengangguk saja. Lalu, setelah itu dia pergi dari sana menaiki tangga untuk memanggil adik iparnya dan tentu juga dengan Latifa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
"Rin, ini Mbak. Arin.., " Ketukan pertama, pintu langsung terbuka. Arin tersenyum sambil membukakan pintu untuknya.
"Eh eh, Mbak Dinarku datang? Kenapa Mbak?"
Saat Dinar lirik ke dalam, kebetulan ternyata ada Latifa yang sedang duduk di kasur Arin. entah mereka sedang apa tadinya? Dia sendiri tidak tau, padahal jiwa keponya meronta-ronta.
"Itu, makan malam udah siap. Mbak manggil kamu sama.., perempuan itu buat turun."
"Oh okey, siap Mbak, Mbak duluan aja. Nanti aku sama Latifa nyusul habis ini."
Dinar mengangguk. "Segera, Mas kamu sama Bapak udah nunggu. Gak enak biarkan mereka nunggu lebih lama."
"Iya Mbak."
"Yaudah, kalau gitu Mbak turun duluan ke bawah ya?"
"Em, iya Mbak."
*
*
Saat Dinar turun, di meja makan, Pak Arga dan suaminya sedang berbicara.
"Kamu harus mikirkan balik."
"Vano gak bisa ninggalin istri Vano terus menerus Pak. Kasihan."
Dinar yang mendengarnya merasa penasaran. Dia mendekati suaminya, sambil membuka piring untuknya.
"Kenapa Mas? Keliatan serius kali." Celotehnya pura-pura tidak tau.
Pak Arga menatapnya, "Vano gak tega meninggalin kamu, Din. Untuk waktu yang cukup panjang."
"Ninggalin aku gimana?" Dinar melayani suaminya dengan baik, sambil mendengarkan Bapak mertuanya berbicara.
"Bulan depan, ada kapal baru datang."
"Lalu?"
"Berhubungan sama kapal baru mau datang, itu artinya Mas harus netap selama beberapa bulan, untuk persiapan, sebelum kapal ini berfungsi di dermaga, Ra."
"Sampai kapan lamanya mas mau pergi?"
"Entahlah, tapi kalau mas tebak, biasanya tiga sampai lima bulan."
Raut wajahnya berubah. Kenapa begitu lama sekali? Apa begini rasanya menikah dan merasa sendirian? Kenapa Dinar merasa sesak.
Arin menuruni tangga bersama dengan Latifa. Adik iparnya itu mengambil duduknya di depan suaminya. Sementara Latifa, wanita itu mengambil duduk di sebelah suaminya.
Dinar melihatnya menghentikan kegiatannya. Dinar menatap wanita itu dengan tidak suka. Latifa yang merasa di tatap, menggaruk tengkuknya.
"Kenapa Mbak? Kenapa natap saya kayak gitu?"
"Ya Tuhan.., perempuan kodok satu ini!" Geram hati Dinar.
Arin mengerjapkan matanya, "Aduh Fah, lo bisa pindah gak? Itu kursinya Mbak Dinar di samping Mas Vano. Sini, lo di sebelah gue!"
Latifa, melihat bangkunya sejenak, lalu kembali menatap ke arah Dinar, "Oh maaf Mbak, maaf. Saya benar-benar gak tau, maaf."
Pak Arga menghela napas, "Udah. Cuman perkara bangku aja. Udah lah, gak usah di ributin."
Latifa akan bangkit, namun, Pak Arga menahannya. "Fa, gak masalah. Duduk aja. Biar Dinar duduk di sebelah Arin. Kamu gak keberatan kan, Din?" Tanya Pak Arga.
Omg hello! bagaimana bisa Dinar tidak keberatan disaat pria yang berstatus suaminya itu malah duduk di samping perempuan lain? Apalagi di depan matanya sendiri? Pak Arga.., Pak Arga.
Dinar membuang wajahnya kembali ke bawah mengambil gulai untuk suaminya.
"Duduk aja. Gak masalah. Cuman duduk aja, gak sampai ganti posisi, kenapa harus marah?"
Dinar langsung duduk di samping Arin dengan perasaannya yang dongkol. Keheningan pun terjadi setelah itu. Dinar kembali menatap ke depan. "Dimakan, Kenapa cuman diam?"
Barulah semua mulai meneruskan aktivitas makan malam, namun dengan keheningan.
...BERSAMBUNG, ...