Anin akhirnya menemukan alasan yang mungkin menjadi penyebab suaminya bersikap cuek terhadapnya. Tidak lain adalah adanya perempuan idaman lain yang dimiliki suaminya, Kenan.
Setelah berbicara dengan sang suami, akhirnya dengan berbagai pertimbangan, Anin meminta suaminya untuk menikahi wanita itu.
" Nikahilah ia, jika ia adalah wanita yang mas cintai," Anindita Pratiwi
" Tapi, aku tidak bisa menceraikanmu karena aku sudah berjanji pada ibuku," Kenan Sanjaya.
Pernikahan Anin dan Kenan terjadi karena amanah terakhir Ibu Yuni, ibunda Kenan sekaligus ibu panti tempat Anin tinggal. Bertahannya pernikahan selama satu tahun tanpa cinta pun atas dasar menjaga amanat terakhir Ibu Yuni.
Bagaimana kehidupan Anin setelah di madu? Akankah ia bisa menjaga amanah terakhir itu sampai akhir hayatnya? Atau menyerah pada akhirnya?
Happy reading 🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sasa Al Khansa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MAT 5 Bersikap Adil
Menjaga Amanah Terakhir (5)
Kenan hanya diam saat diingatkan tentang pernikahannya dengan Anin yang tanpa resepsi. Tapi, sekalipun begitu, karyawan serta kenalan bisnisnya sebagian besar sudah tahu kalau dia sudah menikah. Karena Kenan pernah mengajak Anin pada beberapa acara.
" Tak usah merasa bersalah, lagipula kak Anin juga sudah tak mau mengadakan resepsi. Udah basi juga kan? Setahun lebih," celetuk Reina.
Kenan bungkam. Walau tak suka dengan ucapan Reina, tapi itu kebenarannya. Sudah satu tahun.
" Ken, kamu tahu konsekuensi punya dua istri?,"
Kenan diam. Ia tahu tanggung jawabnya besar.
" Yanga paling utama adalah kamu harus adil antara keduanya. Karena itu pertanggungjawabannya berat."
Kenan mengangguk.
" Yakin bisa adil, kak? Yang satu kakak nikahi karena amanah almarhumah Tante Yuni, yang satu kakak nikahi karena kakak mencintainya. Dari alasan nikah saja, udah berat sebelah. Udah pasti lah tidak akan bisa adil,"
" Rein, kalau tidak bisa diam. Kamu masuk kamar saja," tegur Sang ayah
Reina hanya manyun. Ia hanya mengeluarkan unek-uneknya saja. Apa salahnya?
Orang seperti sepupunya itu harus di beri peringatan keras. Bukan nasihat-nasihat lembut yang belum tentu didengar juga
" Ok, Rein diam," dengan membuat gerakan tangan seolah sedang mengunci mulutnya.
Sayang kalau ia harus ke kamar dan tidak tahu apa-apa tentang yang dibicarakan orang tua dan sepupunya itu.
" Apa benar, kamu mencintai wanita itu sementara tidak dengan Anin?" Ardi jadi penasaran juga. Apa selama satu tahun bersama dengan Anin hati Kenan tidak terketuk.
Ah, harusnya jawabannya kan jelas. Kalau Kenan sudah jatuh hati pada Anin, tidak mungkin ia tetap menjalin kasih dengan Laras kan?
" Kenan sendiri tidak yakin, Om,"
Jawaban Kenan membuat Najma gemas pada sang keponakan. Bagaimana bisa ia tidak tertarik pada gadis sebaik Anin.
Ardi menghembuskan nafasnya.
" Ken, Om akan lihat selama satu bulan kedepan. Jika kamu tidak bisa adil, Om dan Tante adalah orang pertama yang akan meminta kamu dan Anin untuk berpisah,"
Jeduarr
" Tapi, Om..." Ada perasaan tidak rela jika ia harus melepaskan Anin. Tapi, kenapa? Apa alasan ia tak rela? Cinta kah?
" Ken, jangan sampai kamu terus mendzalimi Anin. Saat istrimu hanya Anin seorang kamu mendzaliminya dengan tetap berhubungan dengan wanita lain, lalu saat dia memberimu izin untuk menikah, lantas kamu tetap mendzaliminya?,"
Glek
Kenan hanya menelan salivanya kasar. Ia tahu, Anin sangat disayang oleh keluarganya.
" Kami mungkin tidak berhak ikut campur urusan rumah tangga kalian. Tapi, kami juga wajib mengingatkan saat kamu mulai lalai,"
Berbagai nasihat diberikan. Baik Ardi maupun Najma merasa mereka memiliki kewajiban untuk mengingatkan sang keponakan. Jangan sampai semua berakhir penyesalan.
Keduanya paham kenapa ibunda Kenan menjodohkan Kenan dengan Anin. Namun, hati tak bisa berubah begitu saja. Apalagi kini, mereka pun tak mungkin memaksa Kenan bercerai dengan istri barunya yang notabene kekasihnya sebelum menikahi Anin.
Sepanjang perjalanan pulang, Kenan terus terngiang ucapan om dan tantenya. Juga ucapan Reina yang memang sangat menohok tapi, benar adanya.
" Apa aku sangat kejam selama ini pada Anin?," monolognya.
Ia merasa sudah berusaha sebaik mungkin berbuat baik pada istrinya itu. Tapi, ia memang belum bisa memberikan hatinya.
desahan berat terdengar. Kenan sengaja memarkirkan mobilnya di pinggir jalan sebelum pulang ke rumah istri keduanya.
Rumah yang sudah mereka beli tadi siang. Bersyukur keadaan rumah sudah siap huni.
Kenan membandingkan apa yang sudah ia berikan pada Laras dan Anin. Benar, ia merasa ia tak adil.
Ia dan Laras membeli rumah baru yang di atas namakan Laras. Sebagai hadiah pernikahan untuknya. Sementara Anin, tidak ia belikan dan malah tinggal di rumah milik almarhumah ibunya. Yang mana, masih atas nama sang ibu.
Untuk nafkah batin pun, ia lalai. Anin yang sudah satu tahun ia nikahi belum pernah ia sentuh sama sekali. Sementara Laras, baru beberapa jam ia nikahi, sudah ia berikan nafkah batin. (ini author ganti ya. Baru Nemu kata yang pas.)
Kenan bertekad untuk memperbaiki hubungan dengan Anin. Apalagi ancaman dari sang Om tidak main-main.
Ia tak mau melepaskan Anin. Ia sudah nyaman dan terbiasa dengan keberadaan gadis itu. Ia tak ingin menyesal jika harus melepaskan perempuan pilihan sang ibu.
Walaupun bingung akan mulai dari mana. Tapi, Kenan akan berusaha bersikap adil pada keduanya.
" Mulai dari rumah saja," monolog Kenan.
Setelah merasa sudah cukup dengan segala kerumitan pemikiran yang ia rasakan, Kenan melanjutkan perjalanannya.
...******...
" Sayang, kamu tidak masak?," tanya Kenan pada Laras yang terlihat tetap bersantai di dalam kamar setelah mereka melakukan shalat subuh berjamaah.
Saat ia tinggal dengan Anin, Anin pasti langsung pergi ke dapur untuk memasak sarapan bagi mereka.
" Oh, itu. Kita pesan saja ya, Mas. Kita kan belum belanja. Belum ada apapun di dalam kulkas," jawab Laras mencari alasan.
Sebenarnya, Laras tidak pandai memasak. Makanan yang pernah ia bawa dengan mengatasnamakan masakannya tempo hari, bukanlah benar-benar masakannya. Melainkan makanan buatan pembantunya di rumah orang tuanya.
Namun, ia bersyukur hari ini masih bisa mengelak dengan alasan tidak ada bahan makanan.
" Ya, sudah kita pesan saja," jawab Kenan kemudian.
Walaupun sedikit kecewa karena sudah terbiasa dengan masakan yang dibuat istri pada menu sarapannya, Kenan juga tidak bisa memaksa karena kemarin mereka memang belum sempat berbelanja.
" Mau sarapan apa, yang?," tanya Kenan pada sang istri.
Ah, lihatlah. Panggilan saja Kenan begitu mesra pada istri keduanya. Berbeda dengan panggilannya pada Anin. Tidak ada yang istimewa. Hanya nama saja.
" Bubur ayam saja, mas. Lagi mau bubur," jawab Laras sambil memainkan ponselnya.
Kanan pun memilih menu sesuai keinginan sang istri. Lalu ia memesan sarapan untuknya.
" Nanti, pulang dari hotel, aku jemput kamu di rumah sakit ya, kita sekalian belanja bulanan. Supaya kedepannya kita tidak pesan sarapan seperti ini. Aku terbiasa makan buatan rumah soalnya," jelas Kenan.
" Ya," jawab Laras.
Ia hanya meng iyakan saja dulu keinginan suaminya. Untuk besok-besok, ia akan mencari ide lagi untuk menghindar.
Atau mungkin ia akan jujur? Entahlah. Laras masih menimbang-nimbang apa yang akan ia lakukan esok saat suaminya minta di buatkan makanan untuk sarapan.
Stelah memesan makanan, Kenan mengirim pesan pada Anin. Ia akan merealisasikan tekadnya yang ingin bersikap adil pada kedua istrinya.
Assalamu'alaikum. Nin, siang ini aku jemput ya. Kita makan siang bersama sekalian ada yang ingin aku bicarakan.
Pesan pun dikirim.
Di sebrang sana, Anin cukup terkejut. Setelah satu tahun menikah, ini pertama kalinya ia mendapatkan pesan dari suaminya. Biasanya ia dulu yang mengirimkan pesan.
Yang menakjubkan adalah, pesan itu berisi ajakan makan siang bersama.
" Apa ada hal penting ya? Tumben kirim pesan duluan. Mungkin maslah katering yang aku janjikan untuk resepsi pernikahan mereka," monolog Anin.
Menurut Anin, hal penting yang terpikir olehnya hanyalah masalah resepsi pernikahan mereka yang katanya akan dilakukan Minggu depan.
TBC