seorang gadis "bar-bar" dengan sikap blak-blakan dan keberanian yang menantang siapa saja, tak pernah peduli pada siapa pun—termasuk seorang pria berbahaya seperti Rafael.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lince.T, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dibalik bayangan
Keesokan harinya, suasana vila Rafael terasa lebih tenang, namun jauh dari kata aman. Para penjaga berpatroli lebih sering, dan senjata-senjata tersembunyi dipersiapkan dengan matang. Liana berdiri di balkon lantai dua, memandang ke arah taman yang kini dipenuhi dengan kamera pengintai dan pagar listrik. Dunia Rafael penuh dengan kekerasan, tetapi anehnya, ia merasa nyaman di tengah kekacauan ini.
“Lo nggak tidur?” suara Rafael tiba-tiba terdengar dari belakang.
Liana menoleh, mendapati Rafael berdiri dengan tangan di saku celana, wajahnya terlihat lebih lelah dari biasanya. Luka di pelipisnya sudah diperban, tetapi sorot matanya tetap tajam.
“Gue nggak bisa tidur,” jawab Liana jujur. “Terlalu banyak yang gue pikirin.”
Rafael berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. “Ini semua nggak gampang. Gue paham kalau lo merasa terbebani.”
“Gue cuma nggak ngerti,” gumam Liana. “Kenapa lo nggak pernah menyerah? Lo bisa aja lepas dari semua ini, mulai hidup baru di tempat lain. Tapi lo malah tetap bertahan.”
Rafael tersenyum kecil, tetapi ada kepedihan di matanya. “Gue lahir di dunia ini, Liana. Dunia yang keras dan nggak kasih pilihan lain. Kalau gue pergi, itu artinya gue menyerahkan keluarga gue dan semua orang yang gue lindungi ke tangan musuh. Gue nggak bisa melakukan itu.”
Liana terdiam, mencoba memahami apa yang Rafael rasakan. Ia tidak bisa membayangkan hidup dengan beban sebesar itu, tetapi ia bisa melihat kesungguhan di balik kata-kata Rafael.
---
Di ruangan lain, Marco sedang berdiskusi dengan beberapa anak buah Rafael. Mereka memeriksa peta kota, mencari tahu pergerakan terbaru Darius.
“Dia pasti punya rencana cadangan,” ujar Marco sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di meja. “Darius nggak akan tinggal diam setelah apa yang kita lakukan semalam.”
Seorang pria bertubuh besar mengangguk. “Bos, ada informasi bahwa Darius sedang merekrut orang-orang baru. Mereka bilang dia akan memperkuat markas utamanya di sisi barat kota.”
Marco menghela napas. “Kalau itu benar, berarti dia sedang bersiap untuk perang besar. Kita harus bergerak sebelum dia terlalu kuat.”
Saat Rafael masuk ke ruangan, semua orang berhenti berbicara. Ia menatap peta di meja dengan ekspresi serius.
“Darius mungkin berpikir dia punya keuntungan, tapi dia salah,” ujar Rafael dengan suara tegas. “Kita akan membuat dia menyadari bahwa dia sudah bermain terlalu jauh.”
---
Sementara itu, Liana memutuskan untuk berjalan-jalan di taman belakang vila. Ia butuh waktu untuk berpikir, mencoba mencerna semua hal yang telah ia lalui sejak bertemu Rafael. Namun, langkahnya terhenti ketika seorang pria muda mendekatinya.
“Lo Liana, kan?” tanya pria itu dengan suara pelan.
Liana mengerutkan kening. “Iya. Lo siapa?”
“Nama gue Adrian,” jawabnya. “Gue salah satu orang kepercayaan Rafael.”
“Jadi, kenapa lo ngomong sama gue?”
Adrian melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang mendengar. “Gue cuma mau kasih peringatan. Dunia ini nggak seperti yang lo kira. Rafael mungkin terlihat kuat, tapi dia juga punya musuh di mana-mana. Lo harus hati-hati.”
Liana menatap Adrian dengan curiga. “Maksud lo apa?”
Adrian mendekat, menurunkan suaranya. “Ada orang di dalam kelompok ini yang mungkin nggak sepenuhnya setia. Kalau lo dekat sama Rafael, lo bisa jadi target. Gue cuma mau lo waspada.”
Sebelum Liana sempat bertanya lebih jauh, Adrian pergi begitu saja, meninggalkan Liana dengan pikiran yang semakin kalut.
---
Malam itu, Liana memutuskan untuk berbicara dengan Rafael. Ia masuk ke ruang kerja Rafael, mendapati pria itu sedang memeriksa dokumen-dokumen penting.
“Rafael, gue perlu ngomong,” ujar Liana.
Rafael menoleh, alisnya terangkat. “Ada apa?”
Liana menceritakan apa yang dikatakan Adrian, mencoba menahan rasa cemas yang mulai menyeruak. Rafael mendengarkan dengan saksama, wajahnya berubah tegang.
“Adrian bilang begitu?” tanyanya, suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya.
“Iya. Gue nggak tahu apa maksudnya, tapi gue pikir lo harus tahu,” jawab Liana.
Rafael mengangguk pelan, lalu berdiri. “Terima kasih udah kasih tahu gue. Tapi jangan terlalu khawatir. Gue akan urus ini.”
Namun, Liana bisa melihat bahwa Rafael sedang memikirkan sesuatu. Ia tahu pria itu tidak akan membiarkan informasi sekecil apa pun terlewat begitu saja.
---
Di balik semua itu, ada sesuatu yang Rafael sembunyikan. Ia tahu bahwa kelompoknya tidak sepenuhnya solid. Di dunia kriminal seperti ini, pengkhianatan adalah hal yang biasa. Namun, Rafael tidak menyangka bahwa ancaman itu bisa datang dari dalam.
“Kalau ini benar, gue harus bertindak cepat,” gumam Rafael sambil menatap ke luar jendela.
Ia tidak tahu siapa yang bisa ia percayai, tetapi satu hal pasti: ia tidak akan membiarkan siapa pun menghancurkan apa yang telah ia bangun.
Malam itu, di tengah bayang-bayang pengkhianatan, Rafael bersumpah untuk melindungi orang-orang yang ia pedulikan—termasuk Liana, yang tanpa ia sadari, mulai menjadi pusat dunianya.
Malam semakin larut, namun ketegangan di vila Rafael belum mereda. Rafael duduk di ruang kerjanya, memikirkan semua informasi yang baru saja ia dapatkan dari Liana. Pengkhianatan adalah hal terakhir yang ia butuhkan saat ini, terutama ketika Darius tengah mempersiapkan serangan besar.
“Adrian memang anak baru, tapi dia bukan tipe orang yang asal bicara,” pikir Rafael dalam hati. “Kalau dia sampai memberikan peringatan, pasti ada sesuatu yang dia tahu.”
Ia memanggil Marco ke ruangannya. Ketika tangan kanannya itu masuk, Rafael langsung berbicara tanpa basa-basi.
“Kita punya masalah di dalam,” ujarnya.
Marco mengerutkan kening. “Masalah apa?”
“Seseorang mungkin sedang bermain di dua sisi. Gue mau lo selidiki setiap orang yang ada di dalam lingkaran kita, termasuk yang paling dekat sekalipun. Jangan biarkan apa pun luput,” perintah Rafael tegas.
Marco mengangguk, meskipun wajahnya terlihat khawatir. “Kalau benar ada pengkhianat, ini bisa jadi bencana besar, Bos.”
“Makanya, kita nggak boleh lengah,” balas Rafael. “Kita harus tahu siapa yang bisa kita percaya dan siapa yang harus kita singkirkan.”
---
Sementara itu, Liana mencoba mengalihkan pikirannya dengan membantu para staf di dapur vila. Ia tidak suka merasa tidak berguna, terutama ketika semua orang di sekitarnya tampak sibuk mempersiapkan diri untuk perang.
Namun, pikirannya terus kembali pada percakapan dengan Adrian. Kata-kata pria itu terus terngiang di telinganya. “Lo harus hati-hati.” Tapi hati-hati terhadap siapa?
“Liana, lo nggak apa-apa?” tanya salah satu staf dapur.
Liana tersentak dari lamunannya. “Iya, gue baik. Cuma... banyak yang gue pikirin.”
Staf itu tersenyum kecil. “Hidup di sini memang nggak gampang. Tapi kalau lo dekat sama Rafael, lo aman. Dia nggak pernah biarin orang-orang yang dia peduliin terluka.”
Liana terdiam, memikirkan ucapan itu. Ia tahu Rafael adalah pria yang kuat dan melindungi semua orang di sekitarnya. Tapi siapa yang melindungi Rafael dari ancaman yang mungkin datang dari orang-orang terdekatnya?
---
Di tempat lain, Adrian berjalan melewati lorong-lorong vila dengan wajah serius. Ia merasa tidak nyaman setelah memberikan peringatan kepada Liana, tetapi ia tahu itu hal yang benar untuk dilakukan.
Adrian memasuki ruangan kecil di ujung lorong, di mana seorang pria bertubuh besar sedang menunggunya.
“Lo ngomong sama dia?” tanya pria itu dengan suara rendah.
“Iya. Gue pikir dia perlu tahu,” jawab Adrian tanpa ragu.
Pria itu menghela napas panjang. “Lo tahu ini berbahaya, kan? Kalau Rafael tahu lo terlibat, lo bisa habis.”
“Aku nggak peduli,” kata Adrian tegas. “Gue nggak akan diam aja kalau sesuatu yang buruk bakal terjadi. Gue lebih pilih mati daripada biarin pengkhianat menghancurkan kelompok ini.”
---
Ketika malam semakin larut, Rafael berdiri di balkon kamarnya, memandang ke arah taman yang gelap. Angin malam berembus lembut, tetapi pikirannya penuh dengan badai.
Liana tiba-tiba muncul di belakangnya, membawa dua cangkir teh panas. “Lo kelihatan butuh ini,” katanya sambil menyerahkan salah satu cangkir.
Rafael menerima teh itu dengan anggukan kecil. “Makasih.”
Mereka berdua berdiri dalam diam untuk beberapa saat, menikmati keheningan malam.
“Lo kelihatan lelah,” kata Liana akhirnya.
Rafael tersenyum tipis. “Banyak yang harus gue pikirin. Tapi itu udah biasa.”
Liana menatapnya dengan penuh perhatian. “Lo tahu, kalau lo butuh seseorang buat dengerin, gue ada di sini.”
Kata-kata itu membuat Rafael terkejut. Tidak banyak orang yang menawarkan dukungan tulus padanya, apalagi di dunia seperti ini.
“Makasih, Liana,” jawab Rafael pelan. “Gue nggak tahu kenapa lo masih di sini, tapi gue senang lo ada.”
Liana tersenyum, meskipun ia tidak yakin apa yang ia rasakan. Ada sesuatu tentang Rafael yang membuatnya ingin tetap tinggal, meskipun ia tahu bahaya yang mengintai.
Namun, di balik semua itu, ancaman baru sedang mendekat, dan mereka berdua tidak tahu bahwa malam ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.