Tutorial membuat jera pelakor? Gampang! Nikahi saja suaminya.
Tapi, niat awal Sarah yang hanya ingin membalas dendam pada Jeni yang sudah berani bermain api dengan suaminya, malah berakhir dengan jatuh cinta sungguhan pada Axel, suami dari Jeni yang di nikahinya. Bagaimana nasib Jeni setelah mengetahui kalau Sarah merebut suaminya sebagaimana dia merebut suami Sarah? Lalu akankah pernikahan Sarah dengan suami dari Jeni itu berakhir bahagia?
Ikuti kisahnya di dalam novel ini, bersiaplah untuk menghujat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lady ArgaLa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5.
Di kediaman Sarah - Bima.
Ctarr
Ctarr
Ctarr
Sabetan demi sabetan ikat pinggang di terima Sarah di tubuhnya, dia tak bisa melawan dan hanya meringkuk di sudut kamar sambil menutupi wajahnya.
Tangisan sudah tak lagi sesenggukan seperti tadi, sudah habis tenaganya walau hanya untuk menangis.
"Dasar wanita s*alan! Berani-beraninya kamu berboncengan dengan laki-laki lain hah? Apa kamu tau kalau kamu jadi omongan orang? Mau di taruh mana muka aku sebagai suami kamu hah? Mereka bilang aku suami yang gak berguna karna biarin istrinya pergi sendiri di tengah malam buta. Senang kamu kan? Senang kan? Puas kamu?" hardik Bima sambil terus menyabetkan ikat pinggang di tubuh ringkih Sarah.
"Am- ampun, Mas. Sakit," lirih Sarah di sela isakannya.
Seluruh tubuhnya sudah memerah, bahkan beberapa ada yang tampak sudah mulai lebam keunguan. Remuk rasanya seluruh tubuhnya saat ini, namun jangankan untuk lari untuk bernafas saja dia sudah kesulitan.
"Rasakan ini! Biar ini jadi pelajaran buat kamu supaya otak kamu yang kerdil itu bisa belajar berfikir. Apa akibat dari setiap perlakuan kamu," umpat Bima dengan wajah merah menahan amarah.
Terbayang di benaknya bagaimana pagi tadi saat dia tengah menikmati udara pagi seorang ibu-ibu yang merupakan tetangga mereka mendekatinya dengan tergopoh-gopoh, Bu Leha namanya.
"Heh, Bima. Kamu itu laki-laki macam apa sih? Masa tega banget kamu biarin istrimu tengah malam buta pergi keluar sendirian? Apa nggak kasian kamu sama dia? Padahal Sarah itu baik banget, nggak pernah saya liat dia marah sama kamu. Selalu nurut kalo di bilangin, kok bisa sih kamu setega itu sama dia? Huh, kalo suami saya kayak kamu udah saya pulangin kali ke orang tuanya."
Bima memejamkan matanya, darahnya serasa kembali mendidih setiap mengingat setiap ucapan Bu Leha padanya pagi tadi.
Ctarr
Ctarr
Ctarr
Dengan membabi buta Bima terus menyabetkan ikat pinggangnya ke seluruh tubuh Sarah, bahkan kepalanya tak luput dari sabetannya.
Ctarrr
Sabetan terakhir mendarat dengan mulus dan sangat keras di lengan Sarah.
Brugh
Sarah ambruk tak sadarkan diri, sedangkan Bima menjatuhkan ikat pinggangnya dengan nafas tersengal.
Sedetik kemudian, segaris senyum miring terbit di bibir Bima.
"Ha ... haha ... ha ... hahahaha." Bima tertawa dengan air mata turut jatuh dari matanya, di ikuti tubuhnya yang turut lunglai dan jatuh terduduk di lantai.
"Aaarrrggghhhhhh!" jerit Bima sambil memegangi kepalanya.
"Astaghfirullah, Sarah!" jerit Bu Leha yang kebetulan datang hendak bertamu dan malah mendengar jeritan Bima dari dalam rumah.
"Sarah! Sarah! Kamu nggak papa?" Bu Leha menepuk pipi Sarah berulang kali namun Sarah sama sekali tak merespon.
Matanya sembab dan tubuhnya yang dingin dan penuh luka membuatnya tampak mengenaskan.
"Laki-laki biad*b kamu, Bima! Kamu apakan Sarah hah? Jawab!" Bu Leha menatap tajam pada Bima yang kini hanya termenung sambil menatap Sarah yang terkulai lemas di pangkuan Bu Leha.
Bu Leha terus berusaha menyadarkan Sarah, namun nihil Sarah sama sekali tak merespon apapun dan tubuhnya semakin dingin.
Bu Leha meletakkan Sarah sebentar ke lantai, dan berlari ke rumahnya untuk memanggil suami dan anak lelakinya yang masih remaja.
Mereka bertiga tergopoh-gopoh masuk ke rumah Bima untuk menolong Sarah, Bima bahkan sama sekali tak merespon saat mereka melewatinya sambil membopong tubuh Sarah.
"Kamu ingat ini, Bima! Kalau sampai terjadi sesuatu pada Sarah. Saya akan jadi saksi kunci bagaimana kebiadaban kamu sama dia, dan saya yakin kamu pasti akan di penjara karna kasus KDRT," tegas Bu Leha sebelum berlalu meninggalkan Bima yang termenung seorang diri.
****
Sesampainya di rumah sakit, Bu Leha dan keluarga segera menyerahkan Sarah untuk di tangani. Tim dokter bergerak cepat dan membawa tubuh lunglai Sarah ke UGD.
"Kali ini kenapa lagi, Ma?" tanya Pak Hasan.
"Mama nggak tau pastinya, Pa. Cuma semalem mama gak sengaja liat Sarah pergi naik motor sendirian tengah malam buta. Terus pulangnya di anterin laki-laki dan gak lama kedengaran suara ribut-ribut dari rumah mereka," sahut Bu Leha sambil duduk di kursi tunggu di sebelah putranya yang masih duduk di bangku SMA itu.
"Kasian ya Mbak Sarah, Ma. Badannya luka luka semua tadi Ardi lihat," ucap Ardi, putra semata wayang Bu Leha dan Pak Hasan.
Pak Hasan duduk di sebelah Ardi dan menepuk-nepuk punggungnya.
"Iya, kasian sekali. Nanti kamu kalau sudah waktunya menikah, tolong jadi suami yang lemah lembut sama istri ya. Jadikan ini contoh supaya kamu nantinya nggak mudah bersikap kasar ke istri kamu."
Ardi mengangguk lemah. "Insyaallah, Pa. Ardi akan jadi suami yang baik dan penyayang kayak Papa kalau besar nanti."
"Woh iya, dong. Papa gitu loh, Papa idaman semua ibu-ibu di dunia," tukas Pak Hasan menyombongkan diri.
Bletak
Sebuah jitakan maut jatuh tepat di pelipis Pak Hasan.
"Ampun, Ma." Pak Hasan mencebik sambil mengusap pelipisnya yang nyut-nyutan.
"Idaman ibu-ibu ya?" Bu Leha menatap horor pada suaminya sambil *******-***** kedua tangannya sendiri.
"Nggak loh," gumam Pak Hasan mengkeret.
Ardi tertawa lepas. "Ahahahah, Susis rupanya."
Bu Leha dan Pak Hasan mengerutkan keningnya bingung. "Susis apa Ar?"
"Suami takut istri!" gelak Ardi sambil memegangi perutnya.
Ceklek
Pintu UGD terbuka, serta merta Ardi menghentikan tawanya dan gegas mereka menghampiri dokter laki-laki yang baru saja keluar.
"Keluarga pasien?" tanya dokter itu.
Bu Leha menggeleng pelan. "Bukan, Dok. Kamu tetangganya."
Dokter itu tampak mengerutkan keningnya, namun karna tak ingin banyak bertanya akhirnya dia menjelaskan saja hasil pemeriksaannya.
"Kondisi pasien saat ini sangat lemah, dan ada beberapa bagian tulangnya yang retak. Apa ini penganiayaan? Kenapa kondisinya bisa seperti itu?" cecar dokter itu.
Bu Leha menggelengkan kepala lagi. "Entahlah, Dok. Kami hanya tetangganya, tak berani terlalu berasumsi mencampuri urusan rumah tangga orang lain."
" Baiklah, kalau begitu sementara pasien harus di rawat inap dulu agar kami bisa mengontrol kondisinya. Silahkan lengkapi administrasinya dulu ya, Bu. Atau bisa bantu menghubungi keluarganya untuk menyelesaikan administrasi." Dokter berlalu kembali masuk ke dalam ruangan UGD.
Bu Leha menatap suaminya bingung.
"Bagaimana ini, Pa?"
"Kenapa kita nggak telepon Bima saja, Ma? Dia kan suaminya?" cetus Pak Hasan.
Bu Leha menggeleng. "Nggak, Pa. Dia yang membuat Sarah seperti ini sekarang, kalau dia juga datang ke sini bisa jadi nanti malah Sarah histeris kalau liat dia. Sarah pasti trauma kan, Pa?"
"Lalu bagaimana solusinya, Ma?"
Bu Leha tampak berjalan pelan menjauh sambil berpikir, Pak Hasan mengikutinya dari belakang karna menunggu jawaban. Sedangkan Ardi memilih kembali duduk di kursi tunggu.
"Hemmm bagaimana menurut Papa kalau ...."
.