Sekar Arum (27) ikut andil dalam perjanjian kontrak yang melibatkan ibunya dengan seorang pengusaha muda yang arogan dan penuh daya tarik bernama Panji Raksa Pradipta (30). Demi menyelamatkan restoran peninggalan mendiang suaminya, Ratna, ibu Sekar, terpaksa meminta bantuan Panji. Pemuda itu setuju memberikan bantuan finansial, tetapi dengan beberapa syarat salah satunya adalah Sekar harus menikah dengannya dalam sebuah pernikahan kontrak selama dua tahun.
Sekar awalnya menganggap pernikahan ini sebagai formalitas, tetapi ia mulai merasakan sesuatu yang membingungkan terhadap Panji. Di sisi lain, ia masih dihantui kenangan masa lalunya bersama Damar, mantan kekasih yang meninggalkan perasaan sedih yang mendalam.
Keadaan semakin rumit saat rahasia besar yang disembunyikan Panji dan adik Sekar muncul kepermukaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DENAMZKIN, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RENCANA
Keesokan paginya, Panji berangkat ke kantor, perusahaan milik ayahnya yang bernama Kencana Company. Dia duduk di meja kerjanya dan menyalakan laptop. Malam sebelumnya cukup kacau, dia menghabiskan waktu di ruang kerjanya dan membereskan kekacauan yang ditinggalkan Sekar. Dia menghilang entah ke restoran atau mungkin ke rumah ibunya untuk menenangkan diri. Siapa peduli?
"Pak Panji?"
Panji mendongak ke arah pintu kantornya, yang memang sengaja dibiarkan terbuka.
"Ya, Tika?" tanyanya pada sekretarisnya.
"Pak Heri ada di sini untuk bertemu Anda. Saya sudah memintanya menunggu di ruang rapat, dan ayah Anda juga sudah menunggu Anda sepanjang pagi," jawab Tika sambil tersenyum sopan.
Panji bersandar di kursinya sambil menghela napas. Ketika Tika hendak berbalik meninggalkan ruangan, Panji memanggilnya kembali.
"Tika?"
"Ya, Pak?"
"Masuklah dan tutup pintunya. Saya punya beberapa hal untuk di kerjakan, lebih baik jika tidak ada gangguan."
"Baik," jawab Tika hati-hati sambil menutup pintu.
Panji merogoh dompetnya dari saku belakang dan mengeluarkan kartu kredit.
"Ini kartu kredit saya," katanya, mengangkat kartunya agar Tika bisa melihat. "Pergilah ke toko perhiasan dan ambilkan pesanan saya."
Tika mengangguk sambil menerima kartu itu. "Baik, Pak."
"Beri tahu mereka bahwa kamu sekretaris saya dan kamu datang untuk mengambil pesanan saya," lanjut Panji sambil melipat tangannya di meja. Dia melirik foto istrinya yang terletak di atas meja, sebagai pengingat apa yang sedang dia perjuangkan.
"Pastikan juga reservasi untuk minggu ini tetap terkonfirmasi, dan cek apakah mereka memiliki jaringan internet yang memadai untuk saya bekerja selama di sana." Dia menambahkan, "Setelah itu, pergilah ke toko bunga di sudut jalan dan kirimkan buket mawar putih untuk istri saya, lengkap dengan kartu ucapanya.'"
"Baik, Pak," jawab Tika sambil mencatat semua perintah itu di buku catatannya.
"Tolong panggilkan ayah saya masuk," kata Panji sambil membungkuk sedikit ke meja.
"Oh, dan pastikan kamu kembali sebelum rapat pukul dua siang. Saya akan membutuhkan kamu untuk mencatat selama rapat." Dia membuka dokumen di mejanya dan memeriksanya sebentar.
"Baik," jawab Tika pelan.
"Dan Tika?" tambah Panji sambil mengalihkan pandangan dari file di depannya.
"Ya, Pak?"
Panji menatap Tika dengan senyum lembut. "Kamu boleh makan siang gratis dimanapun sebagai ucapan terima kasih atas bantuanmu."
"Terima kasih, Pak Panji," jawab Tika sambil mundur perlahan untuk meninggalkan kantornya.
"Tolong biarkan pintunya tetap terbuka," kata Panji sambil melihat kembali dokumen di mejanya.
"Baik, Pak," balas Tika sebelum menghilang dari pandangannya.
Panji kembali ke laptopnya, membuka e-mail, dan memeriksa kotak masuknya. Dia menghela napas, lalu meraih buku catatan dan pena.
"Selamat pagi," sapa sebuah suara. Panji mendongak dan melihat Wibowo, ayahnya berdiri di ambang pintu dengan senyuman.
"Saudaramu bilang bahwa rapat dengan para investor kemarin tidak berjalan lancar?"
"Setengah saudara," koreksi Panji sambil kembali menatap layar laptop, bibirnya tersenyum kaku. Ibu Panji meninggal saat melahirkannya, meninggalkan ayahnya, untuk merawatnya—atau lebih tepatnya, menyerahkan pengasuhan kepada staf rumah tangga karena Wibowo lebih sering sibuk menjalankan perusahaannya atau bersenang-senang.
Ketika Panji berusia lima tahun, Wibowo pulang membawa satu keluarga lengkap dan memindahkan mereka ke rumahnya di Jogja. Meskipun Panji adalah anak kandung satu-satunya dari Wibowo Pradipta, dia selalu berada di urutan kedua setelah istri barunya, Maya, dan anak-anak tirinya, Bayu dan Sinta.
"Apa yang terjadi di rapat?" tanya Wibowo sambil duduk di salah satu kursi di depan meja Panji. "Apakah kamu perlu bantuan?"
Tentu saja, itulah yang selalu ayahnya inginkan—mengambil alih. Panji menyembunyikan senyum tipisnya sambil mengetuk buku catatannya dengan pena.
"Tidak, semuanya baik-baik saja. Hanya saja Sekar belum terbiasa dengan cara kita menjalankan bisnis," jawab Panji sambil melirik ayahnya. "Aku sudah menjelaskan padanya tadi malam. Aku pastikan, lain kali dia akan lebih siap."
"Panji," kata ayahnya sambil menghela napas dan merapikan kerah bajunya.
"Apa kamu yakin ingin terjun ke bisnis restoran ini? Ayah paham niatmu tulus, tapi kamu bisa membelikannya restoran lain. Lagi pula, dia tidak benar-benar membutuhkan penghasilan."
Panji bersandar di kursinya. "Di situlah masalahnya. Dia tidak mau restoran lain, dia hanya mau yang ini," jawabnya sambil mengetukkan pena di meja.
"Proses perbaikannya berjalan lancar. Kita sudah sering melakukan ini dengan perusahaan lain, jadi aku tidak melihat alasan kenapa kita tidak bisa melakukannya dengan restoran ini." Panji mengernyit sedikit sambil melirik jam dinding. Dia tidak ingin membuat Pak Heri menunggu terlalu lama, tetapi dia tahu tidak bijak untuk terburu-buru saat berbicara dengan ayahnya.
"Masalahnya, industri makanan selalu berubah," kata ayahnya dengan dahi berkerut. "Kita biasa memperbaiki perusahaan besar, bukan bisnis kecil. Aku sudah memberimu izin untuk mengelola usaha pribadi di luar, tapi di sini kita fokus pada tujuan besar, bukan proyek kecil di lingkungan sekitar."
Inilah perbedaan pandangan mereka. Ayahnya selalu membidik yang besar, seperti bulan, dan membiarkan bintang-bintang kecil memudar. Sementara itu, Panji melihat nilai dalam perbaikan tidak hanya perusahaan besar tetapi juga properti perumahan bersama bisnis di sekitarnya. Dia mengetukkan pena di buku catatannya dan kembali melirik jam.
"Itulah kenapa aku sedang mempelajarinya," kata Panji sambil menunjuk tumpukan buku yang ada di sudut mejanya.
"Baiklah," jawab ayahnya dengan nada skeptis.
"Lihat saja, kalau kamu berhasil, aku akan mempertimbangkan proposalmu untuk memperluas perusahaan. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Jika kamu tanya pendapat ayah, ayah rasa kamu hanya membuang-buang waktu."
"Aku mengerti," jawab Panji sambil bersandar di kursinya. "Apakah ada hal lain?"
"Ada. Maya mengadakan sarapan besok pagi. Tiket penerbanganmu sudah siap, dan dia ingin membahas detail tentang pesta ulang tahun pernikahan kami."
Panji mengangguk tanda mengerti dan menghela napas.
"Aku akan memeriksa jadwal istriku untuk memastikan dia bisa ikut."
"Bagaimana kabar menantu favoritku? Bahagia, kan? Lebih bagus lagi jika dia sedang hamil haha.." tanya ayahnya jenaka.
Panji menaikkan alis, memikirkan anak-anak. Kebisingan, keributan, waktu, dan uang yang harus dikeluarkan membuatnya hampir merinding.
"Kami belum membahas soal anak," jawabnya singkat. Lagipula, mereka bahkan belum tidur di ranjang yang sama.
"Perempuan seperti dia pasti ingin punya anak. Dia mengingatkanku pada ibumu," kata ayahnya dengan senyuman kecil. "Ibumu pasti akan menyukainya."
"Aku yakin," kata Panji dengan ekspresi muram, menatap ke mejanya. Sejak ayahnya bertemu Sekar, ayahnya kembali menempatkan orang lain di atas dirinya. Biasanya hal itu akan membuat Panji kesal, tetapi untuk alasan tertentu kali ini tidak begitu mengganggunya. Dia tumbuh tanpa figur ayah, tinggal di rumah di mana dia merasa lebih seperti tamu daripada penghuni. Saat akhirnya pindah keluar, itu menjadi salah satu momen terbaik dalam hidupnya. Namun, tinggal bersama Sekar sering kali membangkitkan perasaan serupa.
Panji mengabaikan rasa tidak nyaman itu, menggenggam pena dengan kedua tangannya, sambil menatap logo Kencana Company yang terukir di pena itu. Dia menundukkan pandangannya, menghindari kontak mata dengan ayahnya, sambil mencari cara untuk mengakhiri pembicaraan.
Ayahnya terus bersikeras agar dia bekerja di perusahaanya, sesuatu yang ditentangnya selama bertahun-tahun. Panji tidak ingin dikenal sebagai "anak bos" yang hanya menerima bantuan. Sebaliknya, dia berhasil mengelola beberapa bisnisnya sendiri dengan sukses, bahkan saat bekerja untuk ayahnya. Namun, kenyataannya, Panji sedang menunggu waktu yang tepat. Dia ingin memiliki perusahaan ayahnya, tetapi tidak untuk melanjutkannya. Dia ingin membongkarnya, menjualnya bagian per bagian kepada penawar tertinggi, hanya untuk mendapatkan kepuasan karena akhirnya mendapatkan perhatian penuh dari ayahnya.
Pernikahannya juga bagian dari rencana itu. Panji perlu membuktikan bahwa dia bisa untuk meyakinkan ayahnya. Dia perlu mengalihkan perhatian ayahnya dari niat utamanya dan memastikan semua orang tidak melihat apa yang dia rencanakan. Dan cara terbaik untuk menyembunyikan sesuatu adalah dengan memberikan perhatian pada hal lain yang tampak lebih jelas.
Saat dia membuat kesepakatan dengan Bu Ratna, Panji merasa dirinya jenius. Awalnya, dia memang memiliki niat baik terhadap Sekar ketika pertama kali melihatnya. Tapi, dalam hal moralitas, dia lebih tertarik pada keuntungan dari restorannya. Bank sudah mengancam akan menyita restoran dan rumah mereka, yang akan membuat mereka kehilangan segalanya. Itu menempatkan ibu mertua dan keluarganya dalam posisi tidak bisa menolak tawarannya.
Panji membeli utang bank untuk restoran itu dengan imbalan akta kepemilikannya. Dia juga membeli rumah mereka dengan syarat Ratna menyerahkan putri sulungnya sebagai istrinya. Panji membutuhkan istri dan rencana bisnis, kebetulan Ratna memiliki keduanya.
Ketika tidak ada lagi yang dibicarakan, ayahnya bergumam memberikan pujian singkat lalu pamit pergi. Setelah ayahnya keluar dari ruangan, Panji berdiri dari kursinya, membetulkan kancing jasnya, dan melangkah keluar dari kantor untuk menemui Pak Heri, yang masih menunggunya.
jangan lupa mampir di novel baru aku
'bertahan luka'